Kemarau hanya beberapa bulan membuat banyak orang bergumam dan berbicara dengan berbagai keluhan. Panas, kering, dan berdebu adalah keadaan berbanding lurus dengan musim tanpa hujan ini. Awan indah berwarna putih yang menahan cahaya matahari seakan bagai mimpi di siang bolong.
Sebuah kota yang dulu menjadi rebutan penjajah dan penduduk asli kini sangat merasakan musim gurun ini. Jalan-jalan yang di penuhi kendaraan, udara penuh polusi hasil pembuangan mahluk besi itu. Panas dan kering itulah yang terasa di sela-sela bangunan tinggi bertingkat dengan berbagai warna.
Manusia-manusia di kota ini juga beragam. Sangat mudah di dapatkan agamawan yang terlihat alim. Kriminalistas yang mencekam setiap orang yang mencari keamanan. Kelompok-kelompok manusia terpelajar berjenjang dengan berbagai komsumsi buku dan pengetahuan hingga mereka yang tak tahu apa-apa kecuali berfikir apa yang harus dimakan esok dan hari ini.
Kini kemarau namun entah jika lawan musim yang akan datang berkuasa. Kota ini akan berubah drastis. Dari kering dan panasnya suasana gurun yang mengurung berubah menjadi laksana kubangan dan rawa genangan air. Kering dan panas rupanya tak berbanding lagi dengan lawannya. Hujan turun, tanah kering tak dapat menampung jutaan debit air dari langit.
Bergumam dan mengeluhlah ribuan orang tentang banjir, basah, dan dingin. Keluhan yang berbeda di setiap musim yang berbeda. Tanah tidaklah salah hingga tak meresap air dari langit. Penutup tanahlah biang masalah. Kota ini seakan membenci pemandangan tanah di telapan kaki mereka. Menutupnya dengan semen keras yang sulit di tembus air.
Bertahun-tahun dari kini dan akan datang tanah mungkin akan menjadi pemandangan langka. Musim berganti yang seimbang memberi efek pada tanah. Kini sama saja, kemarau tiba semen keras tetap tak berubah dia panas dan kering. Hujan turun semen tak menyerap air tapi lebih sering mengusirnya ketempat rendah.
Puluhan tumbuhan saksi hidup kota ini harus tetap tenang menyaksikan kebisingan, kering, panas, dan polusi. Akar-akar mereka tetap bertahan dengan semen menghalangi air makanan mereka yang jatuh dari langit.
Sebuah kota yang dulu menjadi rebutan penjajah dan penduduk asli kini sangat merasakan musim gurun ini. Jalan-jalan yang di penuhi kendaraan, udara penuh polusi hasil pembuangan mahluk besi itu. Panas dan kering itulah yang terasa di sela-sela bangunan tinggi bertingkat dengan berbagai warna.
Manusia-manusia di kota ini juga beragam. Sangat mudah di dapatkan agamawan yang terlihat alim. Kriminalistas yang mencekam setiap orang yang mencari keamanan. Kelompok-kelompok manusia terpelajar berjenjang dengan berbagai komsumsi buku dan pengetahuan hingga mereka yang tak tahu apa-apa kecuali berfikir apa yang harus dimakan esok dan hari ini.
Kini kemarau namun entah jika lawan musim yang akan datang berkuasa. Kota ini akan berubah drastis. Dari kering dan panasnya suasana gurun yang mengurung berubah menjadi laksana kubangan dan rawa genangan air. Kering dan panas rupanya tak berbanding lagi dengan lawannya. Hujan turun, tanah kering tak dapat menampung jutaan debit air dari langit.
Bergumam dan mengeluhlah ribuan orang tentang banjir, basah, dan dingin. Keluhan yang berbeda di setiap musim yang berbeda. Tanah tidaklah salah hingga tak meresap air dari langit. Penutup tanahlah biang masalah. Kota ini seakan membenci pemandangan tanah di telapan kaki mereka. Menutupnya dengan semen keras yang sulit di tembus air.
Bertahun-tahun dari kini dan akan datang tanah mungkin akan menjadi pemandangan langka. Musim berganti yang seimbang memberi efek pada tanah. Kini sama saja, kemarau tiba semen keras tetap tak berubah dia panas dan kering. Hujan turun semen tak menyerap air tapi lebih sering mengusirnya ketempat rendah.
Puluhan tumbuhan saksi hidup kota ini harus tetap tenang menyaksikan kebisingan, kering, panas, dan polusi. Akar-akar mereka tetap bertahan dengan semen menghalangi air makanan mereka yang jatuh dari langit.
Belum ada tanggapan untuk "Kota"
Post a Comment