SAMPAH HATI


Akhirnya ku bercermin dalam kerinduan ini. Aku hanya senantiasa menatap benda mati yang terus tersenyum manis tanpa tahu kenyataan dari wujud benda mati itu. Khayalan hanyalah pelipur lara semata dari getirnya keinginan hendak menyentuh hatimu. Sedikit menyebarkan cahaya agar kau memberi lirikan wajah itu tanpa merasa terbebani.

Sadarlah dalam kerinduan ini kau hanya berada di ujung lidah, jauh dari mata yang tak bisa memandang dirimu dalam kenyataan. Sadarlah dirimu hanyalah ujung pena yang mengukir di atas kertas-kertas putih kehidupan. Kau hanya kubuat laksana tinta yang tak pernah bisa di hapus lagi. 

Namun ujung lidah itu kelu dan kaku tak bergerak bebas, terkatung-katung dalam fenomena kewajaran hati. Ucapan-ucapan itu telah hilang bersama angin yang membuyarkan asap-asap yang coba hadir membelai dirimu. Tapi lihatlah Cinta itu tak jelas sekalipun bisu. Hanya rindu yang tak bergerak dan tak berucap lalu yang kutemukan hanyalah kehampaan.

Namun lihatlah ujung pena senantiasa bergores namun akhirnya patah juga atau akan kehabisan tinta. Ukiran-ukiran itu hanya terselip dalam ungkapan semata tak mampu mengukir aku dalam jiwamu. Kertas hidupku kini berwarna namamu dan benda mati wajahmu. Namun yang kudapat hanya coretan laksana sampah terbuang kedalam sampah batinmu.

Maka hati siapa yang tak akan meronta dengan derita yang menyayat ketika ungkapan indah dan ukiran lembut hanya terbuang di sudut-sudut sampah hatimu. Bagimu aku hanya angin berlalu yang berbaur bersama debu. Ketika debu itu hadir kau menutup muka dengan penutup kesucianmu. Ya.., aku sang pembuat sampah akan terus berjalan pada kaki tak bergerak yang secara tak sadar hanya menambah sampah yang berarti bagiku namun tidak pada dirimu.

Hati ini mungkin telah berkarat hingga buta tentang aku dan dirimu, yang hanya hadir sebagai tamu dunia tak bertuah dengan berbagai mimpi dan ketidakabadiannya. Tahukah kau jika kepunyaan kita hanyalah ketidakpunyaan. Ketidakpunyaanku akan hatimu yang tak terbuka sedikit saja untuk sampah ini agar bermakna.

Hatiku dan hatimu mungkin tak akan saling bertatap walau melihat. Hati kita hanya kepunyaan dari yang hak atas dirinya. Jika aku sanggup mengitarimu saja bisa jadi kaulah yang hakiki bagiku. Namun lihatlah Rindu ini hanya diam menatap laksana patung. Ujung lidah berucap pena tergerak dalam ukiran-ukiran. Namun dinding kesucian hati tak sedikitpun memancarkan berkas cahaya agar aku nampak dalam kegelapan.

Sudahilah sampah-sampah ini hanya memenuhi beban lubang hati. Hanya melengkapi kepengecutan yang di benci. Hanya sinisme rindu yang hadir begitu saja, perlahan tak sadar dinding hati berbuah coretan-coretan yang membuatnya berkarat. Bisa jadi dia suci bisa juga akan kotor dan harus di bersihkan.

Kini aku mencari belati, belati yang sulit namun harus kuraih. Ingin kubersihkan dinding hati ini dari setiap ungkapan dan goresan. Sekalipun tak akan murni seperti dulu bekas-bekas tentang dirimu akan tetap ada. Bekas-bekas yang akan melahirkan harapan akan dirimu yang menafikkan buah karya debu kerinduan.

Sadarlah aku menatapmu dengan hati tapi aku tak sadar hingga buta pada hatiku sendiri. Karat-karat ini laksana lumut yang perlahan menantang dinding hati untuk menguasainya. Namun akarnya telah menembus dengan kedalam lubang kecil yang aku sendiri tak memahaminya. Biarlah ku cabut semua yang menantang itu. Biarlah bekas akarnya masih ada namun itulah harapan. Harapan., satu-satunya yang bisa menghidupkan.

Kaulah yang terucap dan terukir di sudut-sudut hati, memenuhi untaian kehidupan malang seorang yang tak berarti dan tak berpunya. Namun akulah yang tak pernah kau baca di dalam rintihan sudut-sudut sepi dan kesunyian gelap malam.  

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "SAMPAH HATI"

Post a Comment