Jejak Jepang di Matano

Jepang menjajah Indonesia selama tiga setengah tahun, antara 1942-1945, dalam waktu yang relatif singkat itu telah banyak meninggalkan berbagai pengaruh di Indonesia. Salahsatu peninggalan Jepang yang sampai hari ini masih berbekas di masyarakat Indonesia adalah teknik bercocok tanam.

Seperti yang ditulis Yusran Darmawan dalam tulisannya yang berjudul “Jejak Jepang di Sawah Kita”. Yusran menjelaskan tentang sejumlah insinyur yang didatangkan Jepang  untuk meningkatkan produksi pertanian di Jawa yang mengajarkan teknik menanam padi pada garis-garis lurus dengan jarak tertentu. Tujuannya tidak lain adalah persiapan pakan dalam menghadapi pasukan sekutu pada Perang Fasifik. Kisah ini ditemukannya dalam buku Kuasa Jepang di Jawa: Perubahan Sosial di Pedesaan 1942-1945 yang ditulis Aiko Kurasawa.

Jika Yusran menceritakan tentang teknik menanam padi yang di ajarkan oleh insinyur Jepang, maka di Matano Jepang juga memiliki jejak yang sampai hari ini masih dilakukan masyarakat. Salahsatu warga yang menjadi saksi hidup penjajahan Jepang di Matano menjelaskan, Jepang pertamakali datang pada tahun 1942. Berbeda dengan Belanda yang sebelumnya menjajah Indonesia, Jepang lebih disenangi karena beberapa hal: mengajarkan masyarakat cara menanam sayuran dan umbi-umbian, cara menggunakan senjata dan perang, dan menerapkan aturan pemilikan tanah secara kolektif (komunal).

Teknik menanam sayuran dan umbi-umbian yang diajarkan Jepang adalah menggemburkan tanah dengan cangkul dan membuat bedeng untuk menanam sayuran dan ubi. “Dulu kami kalau menanam sayuran dan ubi, awalnya lahan dibersihkan dengan membabat, setelah itu dibakar, kayu-kayu yang tidak terbakar habis kami kumpulkan, lalu dibuat lubang kecil dan kemudian ditanam” kata Amran salahsatu saksi hidup penjajahan Jepang di Matano.

Mulanya tanah digemburkan dengan menggunakan cangkul. Setelah itu bedeng dibuat memanjang dengan lebar kira-kira selebar tangan orang dewasa. Di antara setiap bedeng dibuat jalan yang akan dilalui untuk menyiram tanaman. Bagi masyarakat teknik menanam dengan bedeng adalah hal yang baru.

Teknik menanam sayuran dan ubi dengan menggemburkan tanah dan bedeng hingga hari ini masih dilakukan masyarakat Matano. Sementara untuk padi, pada masa itu padi sawah belum terlalu banyak ditanam karena masyarakat masih menanam padi ladang.

Kepemilikan tanah pada masa kerajaan dan penjajahan Belanda berdasarkan pada tanah yang pernah dikelola. Pada masa itu masyarakat masih hidup dengan ladang berpindah-pindah, setiap tanah yang ditinggalkan telah menjadi milik yang telah mengelola. Sekitar 5-6 tahun pemiliknya akan kembali datang untuk menggarap. Di masa penjajahan Jepang diterapkan suatu aturan tentang pengelolaan tanah secara kolektif (komunal). Pada masa itu masyarakat mengelola lahan secara bersama dan hasilnya dibagi bersama kepada seluruh masyarakat. Walau sebagian besar diambil oleh Jepang untuk kepentingan perang. Masyarakat tetap bebas berkebun dan berladang dan menyimpan hasil pertaniannya.

“walaupun ada aturan tanah kolektif dari Jepang tapi tanah-tanah kami yang ada di pegunungan selama berkebun dan berladang berpindah masih kami hafal tempatnya dan itu masih milik kami yang pernah mengelolanya”

Penjelasan laki-laki berusia senja ini berlanjut tentang daerahnya sejak dulu dikenal sebagai penghasil besi. Saat Belanda masih berkuasa dan membuat sejumlah jalan, terdapat hampir 100 rumah pandai besi di pinggir danau. Selain itu untuk perlindungan serangan musuh sejak dulu Matano telah memiliki dua senjata berbentuk meriam. Khawatir masyarakat bakan memberontak maka saat itu ada pelarangan untuk beraktifitas para pandai besi, saat itulah perdagangan besi di Matano mulai hilang.

Berbeda yang dilakukan  Jepang, untuk tujuan perang melawan sekutu dan mempertahankan daerah jajahan masyarakat Matano sempat mengayomi pendidikan militer. Seperti baris-berbaris, penggunaan senjata api, latihan berperang, tidak adanya larang untuk menggunakan bahasa sehari-hari, hingga mewajibkan sebuah lagu berbahasa Jepang bagi masyarakat.

“Jepang itu agak bagus” ucapnya singkat.

Dari tulisan Yusran Darmawan dan cerita masyarakat Matano kita bisa mengambil kesimpulan tentang kemajuan dan pengaruh Jepang di masalalu hingga saat ini. Penjajahan Jepang di Indonesia memiliki dampak fositif yang hari ini masih dirasakan masyarakat Indonesia, bidang sosial, pertanian, militer, dan budaya.


Kemajuan jepang juga ditunjukkan pada dunia dengan menjadi spirit bagi bangsa-bangsa di Asia. Kemenangan perang Jepang atas Rusia pada 1905 telah memunculkan semangat bangsa-bangsa di Asia untuk merdeka dari penjajahan bangsa Eropa, yang beberapa tahun sesudahnya lahirlah Boedi Utomo pada 5 mei 1908 yang diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Pasca Kekalahan pada Perang Dunia II Jepang kembali bangkit menjadi negara yang terdepan di bidang teknologi, otomotif, juga pertanian. Bangsa Indonesia mungkin perlu banyak belajar dari Negeri Sakura ini.*

http://www.sureq.org/2016/11/jejak-jepang-di-matano.html

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Jejak Jepang di Matano"

Post a Comment