Jika awan telah menghitam dan gelap,
menarilah butiran hujan dalam cakrawala. Tetes hujan pecah di permukaan bumi
dan rindu menyapa bagai tanah kering yang merindukan air. Di sini aku masih
termenung menatap titik-titik bening itu menetes tak beraturan. Menyatu dan
mengalir menyapu kotoran di permukaan tanah. Kasarnya tanah akan menjadi licin
karena alirannya yang tak kenal dan mengenal apa dan siapa di hadapannya.
Mengalir mengikuti hukumnya berjalan dari tempat tinggi hingga ke tempat paling
rendah berbaur dalam birunya laut.
Mataku masih masih menatap tajam dalam hujan.
Secangkir kopi hitam terus ku genggam. Aku menghirup pahitnya lewat bibir yang
tak bisa berkata, bisu tak melontarkan keluh dan kesah hati. Pahitnya yang
berirama dengan kerinduan, seakan menyayat hati. Hitam kopi itu tidaklah
mengusik sekali pun terkandung pahit. Rindu ini juga tak mengusik sekali pun
pahit dalam menahannya.
Pahit yang tak akan terungkap dengan kata,
sekali pun para pecinta hendak menggambarkan dalam kata indah. Di sini sore dalam
hujan dengan secangkir kopi menemani sepi yang tak berujung, titik hujan jatuh
entah di mana berujung. Pahitnya seakan
tak terbatas oleh senyum. Apalah jadinya jika semua hanya berbatas kata namun
tak menyisakan jejak.
Kopi pahit yang hitam dalam gelas tergenggam
erat dalam jemari yang nyaris kaku karena dingin. Rindu yang pahit tak berbatas
hanya dalam genggaman hati walau mengalir deras entah d imana akan berhenti.
Biarlah hujan itu tawar namun menyisakan jejak di tanah yang kering. Namun
rindu tidaklah menyisakan jejak karena tak cukup dalam kata. Tak akan ku tolak
kerinduan sekali pun menyakiti tak akan ku tolak hujan sekali pun membanjiri, tak
akan ku tolak secangkir kopi sekali pun hitam dan pahit.
Belum ada tanggapan untuk "RINDU, KOPI, DAN HUJAN"
Post a Comment