CERITA DI SEBUAH WARUNG KOPI

Hujan rintik-rintik turun di sore hari, suaranya riuh berjatuhan di atap seng sebuah rumah. Awaluddin salah satu pemuda yang tinggal di dalam rumah itu tampak berbaring di atas ranjangnya. Tiba-tiba HP yang sejak tadi bisu berdering, tampak sebuah pesan dari teman lamanya "dimana kawan saya baru datang, saya tunggu di warkop ya.., kita cerita-cerita".

Tanpa berfikir panjang Awaluddin bangkit mengganti celana dan mengenakan jaketnya. Tak lama motor yang di kendarainya meluncur di atas aspal yang basah. Tiba di warkop dia di sambut hangat temannya yang bernama Alfin. Temannya ini masih kuliah di jurusan kedokteran, tujuh tahun kuliah dokter umum kini harus di lanjutkan dengan mengambil dokter spesialis penyakit dalam.

Alfin telah memesan secangkir kopi susu di minumnya sembari menghisap rokok yang asapnya mengepul-ngepul. Awaluddin pun memesan kopi hitam dengan sedikit campuran gula, karna lebih senang rasa pahit. Suasana sore dengan gerimis serta dingin sangat cocok untuk secangkir kopi hangat.

"Apa aktifitas sekarang kawan, masih seperti dulukah suka turun jalan demo" kata Alfin pada Awaluddin.

Pertanyaan ini terlontar karena Alfin tahu betul dunia mahasiswa Awaluddin yang aktif dalam dunia advokasi dan aksi massa semasa kuliah. Organisasi, diskusi, megaphone dan kantor pemerintahan menjadi teman akrabnya.

"Hanya aktifitas biasa saja, belajar, diskusi, membantu orang tua, dan sekali-kali aktif di kegiatan" jawab Awaluddin.

"Berhentilah begitu kawan, kita harus hidup senang tidak mengapa, kalau seperti itu terus kapan kita menikmati hidup yang manis, masa' harus terus bergelut dengan kepahitan hidup" kata Alfin.

"Kamu kenapa suka kopi padahal sudah tahu rasanya pahit?" Awaluddin balik bertanya.

"Karna bisa menghilangkan ngantuk dan memberi tenaga, apalagi dengan campuran gula atau susu maka akan terasa manis" jawab Alfin.

"Sama halnya dengan saya, kepahitan hidup seperti yang kau sebutkan juga berguna bagi saya dan orang lain dan bagi saya secara bersamaan itu adalah manisnya hidup karna bisa membuat saya bahagia, begitu juga kopi itu sudah tahu rasanya pahit tapi banyak yang suka karena dengan gula atau susu manis maka pahit dan manis ada secara bersamaan itulah yang menjadi keistimewaannya" kata Awaluddin.

Alfin terdiam sambil menatap kopi, rokoknya terus di hisap dan asapnya kembali mengepul di udara. Dia meminum sekali lagi kopi susu miliknya dan mengecap-ngecap mencoba memisahkan rasa pahit dan manis pada lidahnya.

Di luar gerimis masih saja menyirami bumi. Sesekali kendaraan lewat dengan kaca tertutup dan pengendara motor yang menutupi dirinya dengan jas hujan. Cerita berlanjut dengan berbagai macam pembahasan hingga sampai pada kebijakan kenaikan harga BBM.

"Kenaikan BBM itu punya efek yang bagus kawan, karna akan di ganti dengan pelayanan kesehatan, pendidikan, dan kesejahteraan bagi masyarakat" kata Alfin menjelaskan.

"Buktinya apa dan dengan cara apa" kata Awaluddin.

"Dengan kartu yang akan di bagikan pada masyarakat itu bisa memudahkan masyarakat mendapatkan pelayanan" kata Alfin.

Awaluddin terdiam mencoba berfikir tentang sesuatu, rokok yang dipermainkan di jarinya dia hisap dan dihembuskan asapnya. Tiba-tiba dia tersenyum dan meneguk kopi hitam miliknya.

"Apakah kartu adalah jawaban dari semua itu, dan ketika kartu terbagi semua langsung seperti yang di harapkan?" Tanya Awaluddin.

"Iya kawan, masyarakat terlalu sempit berfikir coba bayangkan jika pelayanan kesehatan, pendidikan dan dengan kartu sejahtera itu masyarakat bisa menerima kompensasi kan lebih enak" jawab Alfin dengan nada optimis.

"Sudah pernahkah kamu ketemu masyarakat yang miskin dan kekurangan, bagi kamu yang keluarga mampu dan berkecukupan 10.000 perliterpun bensin tidak masalah kamu kuliah saja habis berapa puluh juta seperti tidak ada beban" kata Awaluddin.

"Jangan selalu mengukur orang lain dengan ukuran diri sendiri kawan, dan jangan mudah sekali membenarkan perkataan para politisi, kartu kesehatan di bagi apakah masyarakat dapat pelayanan yang baik di RS, buktinya bangsal hawanya sangat panas, berdesakan lebih-lebih mereka yang tinggal di pedalaman sangat jarang diperhatikan" tambah Awaluddin.

Alfin terdiam sebagai mahasiswa kedokteran dia tidak bisa membantah karna melihat kenyataan dibeberapa RS tempat dia praktek. Memang terlihat perbedaan yang mencolok. Suasana bangsal yang di penuhi pasien masyarakat ekonomi lemah menjadikan suasananya terkadang tak mendukung kesehatan.

"Kartu untuk pendidikan, lalu bagaimana dengan siswa dan sekolah-sekolah yamg pedalaman, setiap hari siswa berjalan kaki beberapa kilometer di jalan berbatu dan berdebu, panas dan becek jika hujan belum lagi karna jarang di awasi guru-gurunya jarang masuk apakah itu pelayanan? Jangan katakan pelayanan meningkat karena kartu jika infrastruktur tidak merata" kata Awaluddin panjang lebar .

Mereka terdiam sejenak masing-masing tunduk memandang ke arah meja sesekali kepala melirik keluar menatap gerimis yang belum reda. Langit semakin hitam dan gelap karena waktu yang tak akan kompromi.

“tapi kita tidak bisa terus menerus berburuk sangka kawan dalam kondisi masyarakat dan negera kita yang sudah kritis seperti ini, para politisi itu semua akan sampai pada titik jenuh juga nantinya dan sadar hingga dengan program pemerintah ini akan ada perubahan” Alfin kembali membuka percakapan.

“kalau begitu silahkan tanya pada orang tua dan kakek nenek kita mana lebih mereka senangi era Suharto atau sekarang, kondisi negara yang kritis dengan kepentingan yang tak pernah hilang akan membuat negera ini berubah, tapi ingat perubahan adalah kepastian tapi apakah perubahan yang penuh kepalsuan terus yang harus kita hadapi” kata Awaluddin mendebat

“sama dengan kopi yang kau minum sekalipun sudah bercampur susu yang manis, kau apakan pun akan terasa pahitnya, seperti apapun kau berfikir positif namun masih yang itu saja bermain dalam sistem pemerintahan maka akan sama saja hasilnya sekalipun zaman berubah” Awaluddin kembali berpanjang lebar.

“lalu apakah kau masih akan terus mau hidup seperti ini selalu memikirkan orang banyak sementara kau tak pernah tahu akan seperti apa kita kedepannya dan semua yang pernah kau fikirkan?” kata Alfin.

“bro lihatlah hidup kita selalu statis, ada masanya sakit dan pahit ada masanya sehat dan manis seperti yang selalu kau katakan namun manis dan pahitnya hidup jika menyatu dalam diri kita akan menjadi pelajaran berharga kelak dan disitu kemanusiaan kita di ukur, lihatlah kopi susu minuman kesukaanmu kopi yang pahit bercampur susu yang manis ketika menyatu kau sangat senang meminumnya bukakah itu terasa perfect, sama juga dengan yang kau katakan kesempurnaan manusia ketika dia sudah menyatu dengan jodohnya” kata Awaluddin mengingatkan.

Alfin kembali terdiam dia seakan tak berkutik terus mendapat singgungan lewat secangkir kopi susu yang diminumnya. Kini dia berfikir tentang dirinya yang selalu hidup berkecukupan bahkan kuliah dengan biaya yang tidak sedikit namun kadang tidak memikirkan orang lain di bawahnya karena sibuk belajar untuk mengejar cita-citanya menjadi seorang dokter.

Tak terasa sudah dua jam mereka duduk di warkop bercerita diselingi perdebatan ringan. Sayup sayup diantara suara hujan suara mesjid kini memanggil untuk mengingatkan waktu magrib sudah hampir tiba. Sebagai pertanda juga bagi Awaluddin dan Alfin unutk mengakhiri pertemuan mereka.

“sudah magrib kawan, sepertinya kita sudah harus kembali kerumah, oh ya kesini naik apa?” kata Awaluddin.

“iya kawan, tadi saya di antar mobil tapi tolong kali ini antar saya dengan motor ke rumahku” kata Alfin

“tapi kamu tidak pakai jaket, kalau kehujanan bisa sakit” kata Awaluddin

“biarlah kawan saya dokter pasti bisa saya tangani, itulah hasil yang manis dari pahitnya belajar di jurusan kedokteran selama bertahun-tahun, kini saya mau merasakan kepahitan orang-orang yang kehujanan tanpa jaket mungkin dengan manis pahit yang saya rasakan saya bisa memahami kehidupan orang lain” jawab Alfin.

Tertawa merekapun meledak, pelayan warkop dan beberapa pengunjung yang masih duduk sedikit heran melihat mereka. Setelah membayar tagihan dua gelas kopi mereka menaiki motor di tengah hujan yang seakan tak ada tanda akan reda.

Di belakang Awaluddin, Alfin duduk sambil menyilangkan tangan di dada dia tertunduk merapatkan kepala ke belakang Awaluddin. Kini dia merasakan hujan tetes hujan seakan menusuk kulit dan membasahi bajunya, dan hawa dingin hingga ke tulang. Dia membayangkan orang-orang yang tak seberuntung dirinya termasuk teman yang sedang menggandengnya. Tiba-tiba guntur membuyarkan fikirannya dia mengangkat wajahnya untuk lebih merasakan hujan.

Postingan terkait:

3 Tanggapan untuk "CERITA DI SEBUAH WARUNG KOPI"

  1. Luar biasa. Sukak
    Penasaran si Awaluddin ini!.

    ReplyDelete
  2. Agen Slot Terpercaya
    Agen Situs Terpercaya


    88csn Menyedikan Permaianan Online
    - Sportbook
    - Live Casino
    - Slot Game
    - Poker
    - Tembak Ikan

    Segera Bergabung Dengan Kami :

    Contact Kami:
    WA : 081358840484
    BBM : 88CSNMANTAP
    Facebook : 88CSN

    ReplyDelete