KEJUJURAN SECANGKIR KOPI

Lelaki itu termenung melihat pemandangan dari jendela kamarnya. Sejenak dia berfikir untuk segera membuang jauh semua ingatan yang mengganjal di hatinya. Siang itu seperti beberapa hari yang telah di lewatinya. Malas, membuat dirinya tak ingin melangkah keluar dari kamar kecuali untuk sesuatu yang dianggap perlu saja.

Dia masih ingat saat bersama dengan wanita yang dia sayangi. Hari-hari dilewatinya dengan perhatian dan komunikasi hingga 2 kali dalam seminggu bertemu di taman kota. Enam bulan berlalu hubungan mereka retak tanpa alasan yang jelas. Seakan tak ada lagi ruang untuk melanjutkan hubungan pacaran hingga dia harus mendesak apa penyebab hingga yang jelas hubungannya harus kandas begitu saja.

Daun pohon diluar kamarnya melambai tertiup angin. Beberapa ekor burung melompat dari satu dahan ke dahan lain. Sesekali berkicau, lelaki itu sedikit berburuk sangka jika burung-burung itu sedang membicarakan dirinya yang sudah berhari-hari termenung di tempat dan jendela yang sama.

Rasa bosan kini menghampiri dirinya, lelaki itu melangkah menuju dapur dan membuat secangkir kopi. Kembali ke kamarnya sambil menikmati kopi dia melihat burung-burung tadi sudah tiada di dahan pohon. Entah kemana namun hatinya sedikit senang karena burung-burung yang dianggap sedang membicarakan dirinya kini tak lagi ada hingga buruk sangkanya juga hilang.

Setelah lama mendesak akhirnya kekasihnya menjelaskan jika sudah menjalin hubungan dengan laki-laki lain. Butuh satu minggu untuk mencari informasi jika laki-laki itu adalah seorang yang lebih dari dirinya. Itulah yang membuat kasihnya harus bertepuk sebelah tangan. Dia hanya pasrah tak bisa berbuat apa-apa terhadap pilihan orang lain.

Kopi itu diminumnya sedikit, tapi rasa pahit dari kopinya seakan mengganggu perasaannya. Rasa pahit itu seakan menambah kerisauan hatinya. Ditambahkan lagi sesendok gula namun tetap sama, pahit itu tetap terasa di lidahnya. Hingga akhirnya karena jengkel kopi itu di tumpahkan melalui jendela. Tinggallah ampas kopi pada cangkir yang di pegangnya.

Setelah menumpahkan air kopi, lelaki itu tertegun. Dia berdiri menatap tumpahan kopi diatas tanah. Hatinya bergumam kepadanya "Apa salahnya kopi itu hingga kau tumpahkan, bukankah kopi itu memang hitam dan pahit adanya, hanya karna wanita yang kau anggap menghianatimu kini kopi itu menjadi pelampiasan".


Merasa berdosa, lelaki itu kembali kedapur untuk membuat secangkir kopi. Setelah itu kembali lagi ke jendela tempatnya merenung. Dia meneguk kopi itu mencoba menyerap rasa pahit pada lidahnya agar tak lagi terasa mengganggu. Matanya melirik ke meja belajar dimana beberapa buku bacaan tersusun rapi. Dia ambil satu buku dan di bacanya dengan tenang sambil sesekali meneguk kopi.

Setengah jam membaca buku itu dia menggeleng-gelengkan kepala seakan merasa ada yang salah pada dirinya. Mengapa dia masih begitu mengharapkan sesuatu yang telah meninggalkannya. Apa yang akan di laluinya kedepan bisa jadi lebih berat dari yang alaminya sekarang, harusnya dia melupakan kejadian yang membuat risau hatinya selama dua minggu.

Kini kopi yang dia buat tidak lagi mengganggu. Tegukan kopi dan buku yang di bacanya seakan menghipnotis pikirannya. Kopi hitam pahit dan sedikit manis itu seakan menjadi inspirasi. Secangkir kopi hitam dan pahit lebih jujur tentang dirinya. Seperti apapun tetaplah kopi tidak pernah berubah, tetap hitam dan pahit.

HP berdering, sebuah pesan masuk. Pesan itu dari mantan kekasihnya yang ingin bertemu dan kembali menjalin hubungan. Rupanya hanya berlangsung dua minggu kisah cinta sang mantan hingga akhirnya kandas.

Sembari meneguk kopi dan meletakkan buku dia membalas pesan mantan kekasihnya "saya tidak lagi risau dengan tidak adanya dirimu, parasmu sungguh baik dan indah tapi hatimu palsu tak seindah penampakan dirimu, aku telah menemukan sebuah hidup di pagi ini dalam secangkir kopi yang lebih jujur dari dirimu, dia hitam dan pahit tapi jujur tentang dirinya sangat berbeda dengan dirimu, sudahlah cari yang lain yang lebih dariku, biar saya tetap menjadi diriku seperti kopi ini yang tetap menjadi dirinya".     

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "KEJUJURAN SECANGKIR KOPI"

Post a Comment