Mereka yang tidak mengenal hakikat doa dan
dampak edukatif dan sikologis yang dihasilkannya akan senantiasa melontarkan
berbagai macam sanggahan terhadap masalah ini.
Terkadang mereka mengatakan bahwa doa
merupakan faktor yang melumpuhkan manusia, karena tatkala mereka seharusnya
melakukan usaha, memanfaatkan sains dan tekhnologi, serta mengisi kesuksesan
yang dicapai, doa malah membuat orang menengadahkan tangan dan meninggalkan
semua usahanya.
Terkadang pula mereka mengatakan, “Pada
prinsipnya, apakah berdoa bukan berarti ikut campur dalam pekerjaan-pekerjaan
Allah? Padahal kita mengetahui bahwa apapun yang menurut Allah baik untuk
dilakukan, maka Dia pasti akan melakukannya. Dia mempunyai rasa kasih sayang
kepada kita. Dia lebih mengetahui kebaikan untuk diri kita dibanding diri kita
sendiri. Oleh karena itu, mengapa kita harus menginginkan sesuatu dari-Nya
setiap saat?”
Di saat lain
mereka mengatakan, “Selain dari semua yang telah tersebut di atas,
bukankah doa justru bertentangan dengan
keridhaan dan penyerahan diri pada kehendak Allah?”
Mereka yang melontarkan kritikan dan sanggahan
semacam ini sebenarnya telah lalai dengan kenyataan sikologis, sosial, budaya,
pendidikan, dan aspek spiritual doa dan ibadah. Karena pada dasarnya, untuk
meningkatkan kemauan dan menghilangkan segala kegelisahan, manusia membutuhkan
kehadiran sebuah tempat yang bisa dijadikan media untuk menyandarkan dan
menggantungkan kepercayaannya. Dan doalah yang akan menyalakan pelita harapan
ini dalam dirinya.
Masyarakat yang melupakan doa dan ibadah,
pastilah akan berhadapan dengan reaksi yang tidak sesuai dengan psikologi
sosial.
Dan sebagaimana yang dilontarkan oleh salah
satu psikolog terkenal, “Ketidaaan ibadah dan doa di tengah-tengah suatu bangsa
sama artinya dengan kehancuran dan keruntuhan bangsa tersebut. Sebuah
masyarakat yang telah membunuh rasa butuh kepada doa dan ibadah biasanya tidak
akan pernah terlepas dari keruntuhan dan kemaksiatan. Tentu saja, jangan kita
lupakan bahwa beribadah hanya di pagi hari dan menjalani sisa waktu yang ada
seperti seekor binatang liar yang membunuh sana-sini tidak ada manfaatnya
sedikitpun. Ibadah dan doa harus dilakukan secara terus-menerus,
berkesinambungan, pada setiap kondisi, dan melakukannya dengan penuh khidmat
sehingga manusia tidak akan kehilangan pengaruh kuat dari ibadah dan doa ini.”
Mereka yang setuju dengan dampak negatif yang
ditimbulkan oleh doa, tidak memahami hakikatnya. Karena doa bukanlah berarti
kita menyingkirkan dan melepaskan tangan dari segala media eksternal dan
faktor-faktor alami, lalu menggantikannya dengan berdoa. Maksud dari doa adalah
setelah melakukan segala usaha dalam mengunakan seluruh fasilitas yang ada,
lalu ketika kita telah menemukan jalan buntu dan tangan kita tidak memiliki
kemampuan lagi, barulah kita berdoa untuk menghidupkan semangat harapan dan
gerak dalam diri kita dengan memberikan perhatian dan menyandarkan diri kepada
Allah swt. Lalu kita memohon bantuan dari Sebab Utama Yang Tak Tebatas ini.
Oleh karena itu, doa dikhususkan pada
persoalan-persoalan yang menemui jalan buntu, bukan sebagai sebuah faktor yang
menggantikan faktor-faktor natural.
“Selain akan memberikan ketenangan, doa juga
akan menghidupkan gairah batin dalam aktifitas otak manusia, dan terkadang pula
akan menggerakkan hakikat kepahlawanan dan keperkasaan. Doa akan menampakkan
karakternya dengan indikasi-indikasi yang sangat khas dan terbatas dalam diri
setiap orang. Doa akan menampakkan kejernihan pandangan, keteguhan perbuatan,
kelapangan dan kebahagiaan batin, wajah yang penuh keyakinan, dan potensi
hidayah. Demikian juga, ia menceritakan tentang bagaimana menyambut sebuah
peristiwa. Ini semua merupakan wujud sebuah hazanah harta karun yang
tersembunyi di kedalaman ruh kita. Dan di bawah kekuatan ini, hatta orang-orang
yang mempunyai keterbelakangan mental dan minim bakat sekalipun, akan mampu
menggunakan kekuatan akal dan moralnya dan mengambil manfaat yang lebih banyak
darinya. Ironisnya, di dunia kita ini sangatlah sedikit orang-orang yang
mengenal hakikat doa.”
Dari penjelasan di atas, menjadi jelas pula
jawaban atas sanggahan yang mengatakan bahwa doa tidaklah sejalan dengan
kerelaan dan pasrah kepada kehendak Allah swt. Karena sebagaimana yang telah
kami jelaskan, doa merupakan usaha untuk mencari kemampuan mendapatkan berkah
yang lebih banyak dari-Nya.
Dengan kata lain, dengan perantara doa,
manusia akan menemukan perhatian yang lebih banyak untuk memahami berkah Allah
swt. Jelas bahwa usaha untuk mencapai kesempurnaan yang lebih banyak adalah
penyerahan diri pada hukum-hukum penciptaan itu sendiri, bukan malah menjadi
satu hal yang bertentangan dengannya.
Selain itu semua, doa merupakan ibadah,
kerendahan hati, dan penghambaan. Dengan perantara doa, manusia akan menemukan
perhatian baru terhadap Dzat Allah. Sebagaimana seluruh ibadah mempunyai
pengaruh yang mendidik, doa pun mempunyai pengaruh yang demikian pula.
Dan apabila dipertanyakan, “Doa berarti
campur tangan di dalam pekerjaan Allah. Padahal, Allah akan melakukan apapun
yang menurut-Nya bermaslahat”, mereka tidak memperhatikan bahwa karunia Ilahi
akan berikan berdasarkan kelayakan yang dimiliki oleh setiap orang. Semakin
besar kelayakan seseorang, maka ia akan mendapatkan karunia Allah secara lebih
banyak pula.
Kita melihat Imam Ash-Shadiq dalam salah satu
hadis berkata, “Di sisi Allah swt. terdapat sebuah kedudukan di mana seseorang
tidak akan sampai ke sana tanpa melakukan doa.”
Salah seorang ilmuwan mengatakan, “Ketika
kita melakukan doa, maka –sebenarnya- kita menciptakan hubungan dan interaksi
dengan sebuah kekuatan tak terbatas tempat bergantungnya seluruh makhluk.”
Ia melanjutkan, “Saat ini, di dalam
psycomedis yang merupakan ilmu modern, segala sesuatu diajarkan sebagaimana
para Nabi telah mengajarkannya. Mengapa? Karena di dalam psycomedis ini telah
ditemukan bahwa doa, shalat, dan iman yang kuat terhadap agama akan
menghilangkan kegelisahan, ketegangan, dan ketakutan-ketakutan yang merupakan
penyebab dari separuh kegundahan-kegundahan yang ada.”
Belum ada tanggapan untuk "FILOSOFI DOA"
Post a Comment