GURU HONOR : DIMANAKAH NURANI MEREKA?

Malam kelima Ramadhan dan shalat tarwih telah usai. Jalan raya yang tadinya penuh dengan orang-orang kini tampak lenggang. Sesekali kendaraan lewat dan dipinggir jalan dapat di temui sekelompok remaja dan anak muda berkumpul.

Malam yang dingin namun langit berbintang motor ku gas melaju menuju rumah seorang teman. Lama tak mampir hanya untuk sekedar berbagi cerita dan berbicara tentang perkembangan kehidupan.

"Kawan tidak adakah pekerjaan yang bisa saya dapatkan untuk sampingan?" Kawanku bertanya

"Saya juga cari pekerjaan walau sudah ada pekerjaan kawan" jawabanku sedikit bercanda

"Saya mulai jenuh walau saya sadar betapa mulianya menjadi seorang guru" katanya melemas sambil menatap kegelapan malam

"Ada apa, bukankah beberapa hari ini pendataan ulang honorer di dinas dan setiap SK disahkan, bukankah itu petanda baik" kataku mencoba memancing dia bercerita lebih banyak

Akhirnya meluncurlah keluhan-keluhan seorang guru honorer yang mengajar agar ilmunya tak sia-sia namun senantiasa di permainkan dan tak diperhatikan. Sekolahnya kini hanya menggajinya 3000/ jam untuk jasa mengajarnya hal itu menjadi miris baginya.

Negara dalam tahapan berupaya meningkatkan mutu pendidikan, namun pendapatan honorer sangat jauh di bawah standar kehidupan. Sederhana hitungan yang dia berikan jika dalam seminggu harus mengajar sebanyak 6 jam maka dalam 1 bulan hanya mendapatkan 75 ribu.

75 ribu dengan tanggung jawab yang sama dengan guru PNS mencerdaskan generasi bangsa. Mendidik di bawah tekanan harapan-harapan yang nyaris kosong. Harapan untuk terangkat menjadi PNS, harapan untuk mencerdaskan murid, tekanan sumber kehidupan yang tak jelas.

Dia heran melihat rekan-rekannya sesama guru yang berlomba-lomba mengambil jam pelajaran hanya untuk mengejar sertifikasi. Namun di tengah tingginya jam terbang mengajar bukan lagi memperhitungkan sejauh mana ilmu yang di berikan dapat di serap siswa hanya sekedar memperbanyak jam agar uang sertifikasi bisa di dapatkan.

"Jika orientasi sudah uang maka apakah fikiran mereka masih ingin mencerdaskan muridnya, mereka juga sangat tidak manusiawi mengambil jam mengajar honorer agar mendapatkan lebih banyak uang di tengah status mereka yang sudah PNS" katanya panjang lebar.

Dia kembali termenung kemudian melanjutkan ceritanya tentang pengesahan SK di dinas. Ratusan honorer harus berjuang mati-matian mengumpulkan berkas untuk di sahkan. Bagi guru honor disekitar ibu kota tak masalah namun bagi guru yang jauh di pedalaman mereka harus menempuh jarak di jalan-jalan becek berbatu, cuaca tak menentu, dalam keadaan berpuasa, dan mengeluarkan biaya.

Namun yang menyakitkan hatinya sebagai seorang guru honorer yang tidak pernah di perhatikan oleh pemerintah adalah untuk mengambil pengesahan SK harus membayar 50.000 kepada pegawai dinas. Dia tunduk dan mengeluh tentang hati nurani manusia di tempatnya tinggal.

PNS dengan gaji yang jelas, berbagai tunjangan, demi uang tak peduli lagi bahkan orang jauh di bawah dari mereka harus di gepak. Demikian yang terjadi di dinas harus mewajibkan 50.000 untuk setiap orang tak peduli itu honor atau bukan. Ratusan guru dan 50.000 setiap orang entah sudah berapa puluh juta pungutan haram di bulan ramadhan.

"Sangat teriris hatiku saudara melihat orang-orang yang telah bertahun-tahun menghonor, ketika meminta kebaikan hati pegawai dinas itu agar tidak membayar 50.000 karena ekonomi yang terjepit tapi pegawai itu tidak peduli"

"Entah dimana hari nurani orang-orang itu kami yang sudah di gaji jauh di bawah standar, tak di hargai, tak di perhatikan malah kami kembali di peras" katanya dengan wajah yang berkerut seakan menahan emosi.

Aku juga tak tahu harus berkata apa jika menyuruhnya sabar mustahil sabar dalam berdiam diri di atas penindasan. Jika menyuruh melawan maka siapa akan mau kehilangan pekerjaan. Akupun merasa berdosa melihat itu dengan mata kepala kejadian pungli di dinas namun tak melakukan apa-apa. Aku dan mereka yang tertindas sama-sama menggunting keadilan.

Sayup-sayup kalimat itu terukir dalam fikiran,

"penindas dan yang tertindas tak melawan maka sama-sama menggunting keadilan" ~Imam Ali bin Abi Thalib

"Jika kau melihat kemungkaran maka ubahlah dengan tangan, jika tak bisa ubahlah dengan bibir, jika tak bisa maka ubahlah dengan hati dan itulah selemah-lemah iman" ~Rasulullah


Kita telah sama-sama menggunting keadilan atas kerusakan di daerah ini dan kita nyaris tak memiliki iman karena hanya mampu mengusap dada dan menjadikannya beban fikiran.

Postingan terkait: