APA YANG SALAH DENGAN BERFILSAFAT KITA



Malam, kembali membuka lembaran-lembaran buku filsafat. Susunan kalimatnya telah sering terbaca walau kadang terlupakan hingga akhir harus kembali membuka buku-buku yang bisa di katakan pembahasannya cukup memeras fikiran.

 Pertengahan membaca buku saya jadi teringat dengan komentar salahsatu senior saya di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang kini sudah alumni. Senior saya ini kini menjalankan gerakannya lewat dialog-dialog publik dan membangun sekolah dengan konsepnya sendiri dan konsep-konsep beberapa alumni HMI lainnya.

Suatu hari sore yang cerah di halaman rumahnya sembari menikmati secangkir kopi dia mengajak saya berdiskusi tentang persoalan pekembangan gerakan mahasiswa utamanya di HMI. Entah mengapa pembahasan kami justru mengarah pada filsafat dan kenyataannya pada kemandekan dunia gerakan mahasiswa yang kini cenderung individualis, elitis, bahkan tak sedikit menjadi (maaf) pelacur gerakan.

Pembahasan tak sampai disitu bahkan seakan membuka bab baru tentang kondisi para aktivis yang masih setia memegang idealismenya. Idealisme yang sangat mustahil tanpa landasan filosofis dan itu mesti di awali dari belajar filsafat terlebih dahulu.

Satu komentarnya yang tidak bisa saya lupakan dan saya cenderung membenarkannya. Sayapun tak punya jawaban dan tanggapan setelah dia mengucapkannya.

 "Para aktivis yang intelek, mengenal seni berfikir, bahkan dapat menjelaskan filsafat untuk menemukan hakekat baik filsafat barat, filsafat islam hingga mengembangkan filsafat sesuai dengan zamannya. Hal itu adalah hal yang membanggakan sebagai sebuah perkembangan ilmu pengetahuan namun ada hal yang mengherankan disaat mereka mengkritik konsep materialisme dan memahami hakekat serta nilai dari materi harusnya di dunia nyata mereka adalah orang yang ahli dalam mentaktisi materi. Tapi kenyataan berbeda mereka justru selalu terbentur pada hal-hal yang sifatnya materi, pekerjaan, biaya untuk menjalankan rencana, bahkan masalah pernikahan. Ada yang salah dari cara kita berfilsafat".

Jika para pengkaji dan pembawa materi filsafat yang notabenenya adalah kaum intelektual maka penjelasan tentang hakekat dan nilai materi haruslah berbanding lurus dengan cara mereka mentaktisi materi untuk kehidupan.

Pisau analisis berfikir bukan semata untuk menemukan kebenaran pada konsep-konsep ilmu yang berkutat di alam fikiran. Namun pisau analisis berfikir atau seni dalam berfikir harus bisa di gunakan dalam meraih materi dengan cara-cara yang benar.

Mungkinkah apa yang terjadi saat ini dapat menarik benang merah mengapa orang-orang yang idelis rata-rata terbentur pada persoalan materi. Diskusi kami cenderung hanya menduga-duga karena tak ada penelitian yang kami lakukan.

 Warung kopi cenderung ramai dengan diskusi-diskusi kaum intelektual dengan berbagai tema dan wacana namun kenyataannya gaya-gaya elitis yang dinampakkan cenderung tidak sebanding dengan pemenuhan materi hingga tak sedikit menjadi seperti yang dikatakan "melacur" idealisme.

Siapa yang tak mengenal sejarah para Filosof yang mampu mendirikan sekolah-sekolah dengan ribuan murid, bahkan mampu merubah peradaban, menggerkan manusia kearah yang lebih maju, posisi mereka bukanlah berada pada posisi kekurangan materi.

Lalu mengapa kebanyak orang-orang yang mempelajari filsafat ketika tak mampu bertahan pada kondisi tekanan materi harus menjerumuskan diri ataukah sebaliknya ketika mencoba bertahan harus selalu kekurangan materi hingga idealisme yang senantiasa melahirkan ide-ide cemerlang harus terhambat.

Mungkinkah ada yang salah dengan cara kita berfilsafat dan mengaktualisasikannya dalam kenyataan. Saya juga belum bisa menjawabnya.

Postingan terkait: