Malam pertama di Bulan Ramadhan seperti
biasanya mesjid bukan hanya menjadi tempat untuk shalat tapi juga menjadi reuni
bagi kami teman sekampung yang telah lama terpisah oleh jarak.
Saat bertemu dan berjabat tangan dengan
tenang berdiri menatap mesjid yang kini sudah berubah total. Berbeda saat kami
masih kecil dulu sewaktu duduk di bangku SD dan SMP. Saya membayangkan tatapan
semua teman lamaku mengingat hal yang sama. Saat-saat yang mungkin sulit untuk
di lupakan.
Lebih dari 10 tahun lalu, seperti pada
malam-malam Ramadhan sebelumnya. Kali ini Ramadhan bertepatan dengan musim buah
durian. Selepas shalat isya anak-anak seumuran kami langsung berlari keluar
mesjid. Tak cukup dalam hitungan menit suara kami yang memenuhi depan mesjid
langsung menghilang begitu saja.
Kami telah berada dalam kebun, menjelajahi
buah durian milik orang lain. Hanya dengan penerang korek dan daun kelapa
kering kami berjalan menuju kebun durian yang ditinggal pergi tarwih oleh
pemiliknya. Hanya beberapa langkah sudah ada 5 yang terkumpul.
Setelah menjelajah 5 kebun dan berhasil
terkumpul durian hasil jelajah di buka untuk dinikmati secara berjamaah. Saat
itu fikiran lebih senang mencari durian dan memakannya daripada dengar ceramah
yang bikin mengantuk di dalam mesjid.
Sayup-sayup suara penceramah menutup
ceramahnya. Saatnya kami harus bergerak cepat sebagian durian kami sembunyikan
dengan daun, kemudian dalam remang cahaya obor daun kelapa kami berlari-lari di
jalan setapak kebun menuju mesjid tak ubahnya gerombolan bersenjata.
20 orang berlari dalam gelap memang lebih
banyak celakanya, ada teman yang kepalanya terbentur di dahan pohon, ada yang
jatuh karena kaki tersangkut akar dll. Paling beruntung yang memegang obor,
berlari paling depan bagai pembawa api Olympiade.
Tepat waktu dan sesuai target kami tiba di
tempat berwhudu dalam keadaan berkeringat kemudian mencuci tangan dengan sabun
di WC (sebenarnya bukan sabun tapi pembersih lantai) agar bau durian bisa di
hilangkan. Jika saja ketahuan tangan kami berbau durian maka si-punya durian
akan marah.
"Allaaaahu akbar" kata imam memulai
shalat tarwih. Shalat pertama di lalui dengan tenang, namun saat shalat kedua
kami 30 anak yang berjejer dalam 1 shaf mencium bau durian entah udara dari
mulut siapa yang tak kenal waktu hingga harus membuang angin sendawa durian
tidak pada tempatnya.
Hingga akhirnya satu orang teman
terkikik-kikik menahan tawa di ikuti yang lainnya. Setelah salam orang-orang tua
dan pemuda melirik kebelakang menatap tajam pada kami yang tertunduk menahan
tawa dalam hati. Lalu tiba-tiba salah seorang mencubit kami satu persatu.
Shalat ketiga kembali aroma durian menyapu
hidung. Kali ini kami sambil menyelam minum air. Ada yang menahan tawa sambil
menutup mulut dengan tangan, ada yang menggigit kerah baju, bahkan ada yang
mengaku harus menggigit lidahnya. Bahu-bahu kami bergetar namun senyap tak ada
suara bagaikan pasukan Kopasus yang bergerak dalam senyap.
Tarwih usai, kebiasaan kami adalah paling
cepat keluar sambil berlari di iringi tawa mengingat kejadian tadi sambil
saling menuduh untuk mencari kambing hitam yang bersendawa aroma durian.
"Untung tidak musim durian" kata
seorang teman lamaku yang kini bekerja sebagai pelaut. Kami tertawa kecil
mengingat kejadian yang sudah lebih dari 10 tahun itu. Masih untung di beri
umur hingga berkumpul di bulan suci ini dan kembali tertawa mengingat masa lalu.