Ramadhan pada malam-malamnya yang mulia.
Mesjid-mesjid berdatangan orang-orang dengan baju takwa dan ceramah-ceramah
islami disampaikan melalui mimbar hingga terlempar melalui pengeras suara.
Akrab dengan masa kecil kami dan mesjid
kampung yang setiap malamnya menerima amanah menjadi pewara di mimbar atau
menjadi pembaca ayat suci Al qur'an. Duduk rapi menatap kedepan sambil mengisi
buku amaliyah ramadhan untuk mencatat nama penceramah dan judul ceramahnya.
Berselang mesjid menjadi hening ketika ayat
Al qur'an dilantunkan oleh seorang gadis kampung. Tiba-tiba terdengar suara
yang tak asing, sebuah kaleng bekas tempat oli di geser ke setiap jamaah. Benda
ini di sebut "celengan", dalam perjalanannya masuklah rupiah demi
rupiah sebagai infak.
Bagi kami anak-anak mengantongi uang koin 50
rupiah hingga 100 rupiah adalah kebanggaan sendiri. Ketika celengan bergeser
dibarisan kami bunyi "teng" terdengar oleh seisi mesjid sebuah uang
koin bergaung keras kedalam celengan. Bukan main bangganya kami yang masih
kecil sudah bisa berinfak.
Masa itu kami anak-anak sekolah, uang koin
50-100 rupiah masih laku hanya dengan 500 rupiah kami sudah kenyang bukan main
dengan berbagai makanan yang bisa di beli saat beristirahat.
Bangga itulah yang kami rasakan, namun ada
suara yang lebih membanggakan kami hingga pada keluarga kami. Ketika salahsatu
dari kami naik keatas mimbar menjadi seorang pewara atau melantunkan ayat-ayat
Al qur'an yang dengar orang-orang sekampung. Sekalipun awalnya gemetar namun
lama kelamaan kami terbiasa dengan mimbar, puluhan jamaah dan mick di depan
bibir yang mengeluarkan suara penuh wibawa dan agak terburu-buru.
Masih dalam bulan Ramadhan jika malam mesjid
adalah tempat berkumpul maka siang diawal ramadhan kami tahu Ramadhan adalah
masa berperang suara. Jika mesjid penuh suara mengaji dan ceramah kami masuk
kedalam kebun menebang bambu yang besarnya sebesar paha anak remaja. Sudah
dapat di tebak kami membuat sebuah mercon bambu.
Tingkah laku kami bagaikan tentara yang
keluar dari kebun memikul peluru rudal yang akan di tembakkan pada musuh. Hanya
bermodalkan 3000 rupiah untuk membeli minyak tanah, pahat untuk melubangi
bambu, dan kayu untuk melubangi bagian tengah bambu terciptalah rudal perang
kami yang hanya bisa mengeluarkan suara keras.
Sorepun tiba, masih ada lagi satu suara yang
sangat akrab di bulan Ramadhan saat kami kecil. Mesjid kembali ramai oleh suara
kami yang membaca Al qur'an dengan ilmu tajwid di bimbing oleh seorang guru.
Namun jika kami sudah di suruh menghafal surah-surah pendek dalam Al qur'an
maka mesjid akan berubah menjadi laksana pasar.
Surah pendek itu harus kami hafal dan di isi
pada buku amaliyah ramadhan untuk di perlihatkan pada guru agama. Jika saja ada
yang kosong kami pergi tarwih dan hafalan surah pendek tidak melewati angka 15
maka tunggulah sebuah bambu akan menerpa betis kami untuk menambah daging betis
dan berwarna merah.
Selepas tarwih tiba saatnya rudal kami
keluarkan. Tidak main-main 10 mercon berjejer di pematang sawah. Moncong kami
arahkan ke kampung sebelah. Tetangga desa kami hanya diantarai hamparan sawah
sejauh 1 km. "Duuaaaaaaarrrrrr" suara pertama peperangan di mulai
berturut-turut hingga 10 kali. Setelah itu lubang di tiup dengan setangkai tongkat
yang ujungnya terbakar api dan diarahkan kelubang mercon suara kembali
menggelegar "duuaaaaaarrrrr".
Tak mau kalah kampung sebelah juga terdengar
suara tembakan, namun hanya 5 kali saja. Kami tertawa mengejek tetangga kampung
karena mercon mereka sedikit dan kami merasa kepunyaan kami lebih keras.
Kepongahan kami tak ubahnya tentara Nazi Jerman menembaki kota-kota di Eropa
dalam perang dunia II.
Aku tersentak sebuah petasan melayang dan
berhamburan cahayanya di udara. Seketika orang tua keluar mesjid dan marah-marah
karena suara petasan itu tepat diatas mesjid.
Jika dulu kami bangga dengan suara uang koin
yang jatuh kedalam kaleng, maka lihatlah hari ini jika suara itu masih ada maka
akan menjadi bahan tertawaan. Uang koin 500 rupiah kini tak lagi berlaku.
Tak ada lagi cahaya pelita, api di pematang
sawah, tertawa bangga oleh suara-suara tembakan mercon ke kampung sebelah. Kini
cahaya dan suara itu berganti dengan petasan lempar atau melayang di udara
dengan cahaya indah. Tak ubahnya Rudal TomHawk AS menghantam Irak.
Beberapa tahun lalu keluar aturan kepolisian
melarang mercon berbunyi, di ikuti menghilangnya minyak tanah dari pasaran.
Namun kami harus heran mengapa petasan yang selalu membuat kaget bahkan meledak
bukan pada tempatnya manusia-manusia bersenjata bernama polisi tak bisa
melarangnya.
Mesjid kini sepi dari suara anak-anak yang
berlomba-lomba menghafal surah pendek dan belajar membaca Al qur'an dengan
tajwid. Jikapun ada hanya di sekolah dalam waktu seminggu selama bulan ramadhan
saja.
Suara-suara kebanggaan itu telah berakhir
masanya. Tak ada lagi suara koin yang masuk kedalam kaleng, musnah sudah
suara-suara mercon dengan minyak tanah, sudah tak ada lagi suara anak-anak yang
membuat mesjid laksana pasar. Suara itu ada masanya dan itu adalah masa kecil
Ramadhan kami di kampung.