Salah satu efek dari pendidikan tinggi adalah
kurangnya minat kaum terpelajar dan terdidik kembali ke desa untuk membangun
desanya, hingga desa kekurangan orang-orang produktif untuk mengembangkan desa
dan menghadapi perubahan global. Karena kurangnya orang-orang produktif maka
sangat mudah masyarakat desa di giur oleh godaan material seperti orang-orang
pendatang yang membeli lahan dan menyulapnya menjadi sebuah tempat yang dapat
merubah lingkungan, budaya, bahkan penduduk asli mengjadi pengemis di tanah
kelahiran sendiri.
Fenomena kalangan pelajar dengan gelar-gelar
S1, S2, S3 hingga S Teler yang tidak mau lagi mengolah tanah dan memanfaatkan
sesuai perkembangan global kiranya perlu difikirkan baik-baik pula. Kecuali
saat ini banyak yang ingin menjadi pendamping desa, menjadi bagian dari program
sarjana pendamping desa, menjadi pendamping PKH hanya karena ada kepastian gaji
dan besarnya bayaran yang di dapatkan sebagai pendamping. Sangat jarang di
temukan kalangan terpelajar yang merubah desa dari modal nol dan konsep-konsep
perkuliahan untuk mengembangkan desa, turun langsung mengelola dan memberi
penyadaran untuk menghadapai tantangan zaman.
Kaum terdidik dan terpelajar yang pernah
mengeyam pendidikan di pendidikan tinggi lebih senang bergelut konsep-konsep
melangit dan mimpi-mimpi perubahan, lebih senang berada di tengah hiruk pikuk
dunia yang ramai dengan persoalan yang menumpuk-numpuk difikirannya dan
mimpi-mimpi materi serta kemapanan sosial. Jika di minta untuk kembali pada
orang tua yang membanting tulang diatas tanah mereka sendiri dan menerjemahkan
ribuan konsepnya agar teraplikasi langsung entah apa tindakannya.
Desa sebagai kaki atau pondasi suatu negara
mesti di kuatkan terlebih dahulu untuk menguatkan bangunan suatu negara.
Tanggung jawab itu bukan hanya dari konsep-konsep kaum terpelajar tapi juga
keinginan dan keikhlasan mereka turun tangan langsung.
Berlomba-lomba menjadi pendamping tanpa
sebuah pandangan mengglobal, arah dan analisa pengembangan masyarakat dalam
menghadapi tantangan zaman terlebih jika hanya melihat tingginya gaji sebagai
pendamping maka layak kiranya di pertanyakan mau dibawa kemana masyarakat yang
abda dampingi.
Bisa juga hal serupa kita lontarkan
pertanyaan pada banyaknya masyarakat kelas menengah yang meraih gelar-gelar di
universitas dan kampus-kampus perguruan tinggi, dengan gelar dan pengetahuan
anda mau di apakan untuk masyarakat.? Sebaiknya jangan terlalu materialis dalam
memandang itu semua, jika terpelajar dan intelektual mulailah pengabdian dengan
keinginan kuat dan ide yang sesuai zaman untuk menghadapi tantangan zaman.
Ilmu pengetahuan pada manusia yang selalu
kita ibaratkan dengan Padi semakin berisi semakin merunduk jangan hanya di
fahami sebagai manusia yang semakin berilmu maka semakin dia rendah hati. Tapi
seorang yang benar-benar berilmu makasemakin dia mendekatkan diri pada
orang-orang lemah yang berada di bawahnya untuk mengangkat drajatnya. Jika saja
seseorang berilmu selalu merasa rendah diri namun masih menjauh dari kalangan
kaum lemah, fakir, miskin, dan orang tertindas maka sama saja kerendahan hati
secara bersamaan adalah ketinggian hatinya