Hidup didunia yang memiliki substansi
heterogenitas (keberagaman) ternyata masih tabu dan tidak disadari oleh
sebagian manusia. Manusia-manusia tersebut ‘alergi’ dengan perbedaan defenitif
dan determinitik yang menghiasi dunia. Kealergian tersebut termanifestasi dalam
berbagai tindakan, mulai dari penghinaan, intimidasi, pengucilan, bahkan
pembunuhan. Mulai dari perang teori yang menyayat nalar, hingga perang fisik
yang menuntut hilangnya nyawa. Objek alergiisme ini adalah keberagaman yang
beragam pula, mulai dari keberagaman negara, ras, bahasa, adat, warna kulit,
hingga keberagaman dalam keber-agamaan.
Perbedaan agama/madzhab adalah keberagaman yang paling sensitif untuk dibahas, dimana sebagian kalangan bukan hanya alergi, tetapi juga fobia terhadap perbedaan ini. Perbedaan ini adalah virus yang menakutkan bagi mereka yang nalarnya terjangkiti virus kebodohan, kebodohan akan substansi dunia yang mereka naungi, terlebih lagi kebodohan dalam menyikapi substansi dunia tersebut. Perbedaan agama/madzhab juga merupakan keragaman yang paling banyak menumpahkan darah manusia, sebagaimana yang dilaporkan sejarawan Syamaksari dalam kitab milal wa nihalnya. Contoh yang masih hangat dari keragaman religius adalah kasus tuhan banyuwangi, seorang yang dinamai dengan nama Penciptanya (Tuhan). Kasus ini menuai respon dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat awam sampai kaum cendekiawan. Mulai dari respon positif bahkan negatif, pujian dan juga cacian. Sebuah konsekuensi dari sebuah pilihan yang berani. Sebuah hal yang memang harus terjadi didunia yang beragam, dan ini wajar selama tidak menuai pada sikap penghilangan eksistensi tuhan banyuwangi tersebut. Tulisan ini merupakan reaksi kami terhadap kasus tersebut. Tulisan ini berusaha menyikapi kasus itu secara rasional dan sebijak serta seobjektif mungkin, tanpa ada penghakiman yang didasari oleh sensitifitas keagamaan semata.
Perbedaan agama/madzhab adalah keberagaman yang paling sensitif untuk dibahas, dimana sebagian kalangan bukan hanya alergi, tetapi juga fobia terhadap perbedaan ini. Perbedaan ini adalah virus yang menakutkan bagi mereka yang nalarnya terjangkiti virus kebodohan, kebodohan akan substansi dunia yang mereka naungi, terlebih lagi kebodohan dalam menyikapi substansi dunia tersebut. Perbedaan agama/madzhab juga merupakan keragaman yang paling banyak menumpahkan darah manusia, sebagaimana yang dilaporkan sejarawan Syamaksari dalam kitab milal wa nihalnya. Contoh yang masih hangat dari keragaman religius adalah kasus tuhan banyuwangi, seorang yang dinamai dengan nama Penciptanya (Tuhan). Kasus ini menuai respon dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat awam sampai kaum cendekiawan. Mulai dari respon positif bahkan negatif, pujian dan juga cacian. Sebuah konsekuensi dari sebuah pilihan yang berani. Sebuah hal yang memang harus terjadi didunia yang beragam, dan ini wajar selama tidak menuai pada sikap penghilangan eksistensi tuhan banyuwangi tersebut. Tulisan ini merupakan reaksi kami terhadap kasus tersebut. Tulisan ini berusaha menyikapi kasus itu secara rasional dan sebijak serta seobjektif mungkin, tanpa ada penghakiman yang didasari oleh sensitifitas keagamaan semata.
Sebagaimana yang disampaikan Maha guru
u.Safwan, pengasuh madrasah Muthahhari, kata atau teks Tuhan dapat mengacu pada
berbagai konsep yang beragam, diantaranya:
1. Menurut teks agama dan kepercayaan;
2. Menurut pandangan filsafat Yunani, Barat
dan Islam;
3. Menurut kajian Descartes yang berbeda
konstruksinya dengan Kant, berbeda pula konsep tuhan dalam kajian Marks, dan
Nietsche;
4. Menurut tafsiran ahli kalam,filsafat dan
tasawuf/irfan;
5. Menurut Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan
Syi’ah;
6. Menurut Khawarij, ISIS, Amerika dan
Israel;
7. Menurut ibn Sina, ibn Arabi, dan Mulla
Sadra;
8. Menurut syeikh Siti Jenar dan Al-hallaj;
9. Menurut pandangan ilmiah; partikel Tuhan,
God spot;
10. Menurut pedagang aksesoris bertuliskan
nama-nama Tuhan dan politisi penjual ayat-ayat Tuhan;
11. Tuhan dalam puisi Putu Wijaya, Rendra dan
novel atheis Achdiat K;
12. Tuhan dalam buku izinkan aku jadi pelacur
karya Muhiddin;
13. Tuhan dalam kosmologi The Tao Saciko
Murata dan kosmologi W. Chittik, dan imam Ali dalam nahjul balaghah;
14. Tuhan dalam diriNYA sendiri.
Berbagai Konsep Tuhan diatas dapat
disimpulkan dalam dua konsep: Tuhan dalam realitas internal (wujud mental), dan
Tuhan dalam realitas eksternal (wujud eksternal). dalam konsep pertama, Tuhan
dapat ditinjau dari dua predikasi; predikasi primer, dan predikasi sekunder.
Dari ranah predikasi primer, Tuhan adalah Tuhan, bukan sesuatu yang lain. Tuhan
ini adalah hasil abstraksi sempurna dari Tuhan dalam konsep kedua (realitas
eksternal). Namun dari sisi predikasi sekunder, Tuhan bukanlah Tuhan, melainkan
ciptaan Tuhan. Sebagaimana riwayat dari Imam Muhammd Al-baqir yang
bersabda:”kulli ma mayyaztumuhu bi auhamikum fi adaqqi ma’aanihi, fahuwa
makhluqun, mashnu’un mitslukum, mardudun ilaikum.wa lallan namla ash-shigar
tatawahhamu annallaha zabaniyatain fa inna dzalika kamaluha, wa yatawahhamu
anna adamaha nuqshan liman la yattasifu bihima.wa hakadza halul ‘uqala fima
yasifuna allaha ta’ala bihi (segala yang kalian konsepsikan dalam pikiran
kalian adalah makhluk, ciptaan seperti kalian, terbatasi oleh kalian. Dan
mungkin semut kecil membayangkan bahwa Tuhan adalah dua antenanya karena hal
itu adalah kesempurnaannya. Semut kecil itu juga membayangkan kekurangan bagi
apa saja yang tidak memiliki dua antena tersebut. Begitu juga kondisi ahli ilmu
dengan apa yang mereka sifati kepada Allah swt). _syarh ushul al-kafi; Mulla
Sadra, jilid 3, hal 133_.
Dari konsep kedua, Tuhan adalah Tuhan, tak
dikenali baik hushuli maupun khuduri, tak disamai baik direalitas mental maupun
direalitas eksternal. Dialah sesempurnanya wujud, Dialah sehakikinya realitas.
selaiNYA hanyalah entitas defenden, bahkan defendensitas(kebergantungan) itu
sendiri. _lihat makna wujud robith dalam filsafat Sadra_.
Dari tataran ontologis, seluruh entitas
defenden, baik yang ada direalitas eksternal maupun yang ada direalitas
internal, baik pemilik nama Tuhan dibanyuwangi maupun entitas lainnya (mereka
sadari atau tidak disadari), semuanya merupakan Tuhan dalam gradasinya
masing-masing, seburuk apapun esensi dan sifat-sifat yang menyertai mereka.
Tuhan yang dibanyuwangi dan Tuhan-Tuhan lain yang belum dipanggil dengan nama
‘Tuhan’ adalah Tuhan-Tuhan yang sedang bergerak melintasi level-level
ketuhanan. Ada yang bergerak naik meningkatkan kualitas ketuhanannya dan ada
yang menurun, meredupkannya.
Perjalanan untuk mengkonstruksi level
ketuhanan hanya bisa ditempuh dengan jalur-jalur yang telah ditetapkan oleh
Tuhan yang ada ditingkat teratas gradasi ketuhanan, dan pada saat yang sama
juga melingkupi Tuhan-Tuhan lain dalam setiap gradasinya._makna hadits imam
Ali:”dakhilun fil asyai la kasyaiun dakhilun fi syaiin akhar, khorijun minal
asyai la kasyaiun khorijun minal asyail akhar, fa subhana man huwa hakdza wala
hakadza goiruh wa likulli syaiin mubtada”_
Dengan demikian, kasus Tuhan banyuwangi dapat
dianalisis dari tiga perspektif; perspektif ontologis, perspektif epistemologis
(keilmuan), dan perspektif aksiologis.
Kasus tuhan banyunwangi dari tinjauan
ontologis adalah hal yang benar dan tidak dapat dipungkiri apalagi dikritik
oleh pihak lain, karena ia adalah Tuhan sebagaimana juga si kritikus.
Kasus tersebut juga benar dan wajar dari
tinjauan epistemologis, lantaran hal itu merupakan dinamika dan dialektika
keilmuan yang perlu untuk dikembangkan, sebagaimana sikap yang ditunjukkan maha
guru. Al-ustad. Safwan.
Namun dari perpekstif aksiologis, saya
pribadi tidak mengafirmasi dan juga tidak menolak, tidak membenarkan dan juga
tidak menyalahkan kasus tersebut. Saya serahkan kepada teman sekalian,
khususnya yang ahli dibidang fiqih untuk menilainya. Apkah perilaku tersebut
(menamai anak dengan nama Allah) adal perilaku yang dapat mengkonstruksi
kualitas ketuhanan atau justru mendekonstruksinya?. Apakah menamai anak dengan
nama yang hanya dikhususkan kepada-NYA adalah hal yang dibolehkanNYA atau
tidak?, dengan pertanyaan yang lebih spesifik, apakah Allah swt menghalakan
nama Allah (walau hanya sebatas terjemahan, sperti Tuhan, Rab, khuda
(bhs.persia), puang (bhs.bugis) God, dll) digunakan juga oleh makhluk-NYA atau
Allah swt mengharamkannya?. Jika jawabannya positif, maka kasus tersebut juga
dapat dibenarkan dari sisi aksiologis, dan keliru serta layak dikritik jika
jawabannya negatif.
Wallahu a’lam
Alfit Syair (Mahasiswa Universitas Qom Iran)