TUHAN BANYUWANGI; BENAR ATAU SALAH? SEBUAH TINJAUAN FILOSOFIS (ONTOLOGIS,EPISTEMOLOGIS DAN FILOSOFIS).

Hidup didunia yang memiliki substansi heterogenitas (keberagaman) ternyata masih tabu dan tidak disadari oleh sebagian manusia. Manusia-manusia tersebut ‘alergi’ dengan perbedaan defenitif dan determinitik yang menghiasi dunia. Kealergian tersebut termanifestasi dalam berbagai tindakan, mulai dari penghinaan, intimidasi, pengucilan, bahkan pembunuhan. Mulai dari perang teori yang menyayat nalar, hingga perang fisik yang menuntut hilangnya nyawa. Objek alergiisme ini adalah keberagaman yang beragam pula, mulai dari keberagaman negara, ras, bahasa, adat, warna kulit, hingga keberagaman dalam keber-agamaan. 

Perbedaan agama/madzhab adalah keberagaman yang paling sensitif untuk dibahas, dimana sebagian kalangan bukan hanya alergi, tetapi juga fobia terhadap perbedaan ini. Perbedaan ini adalah virus yang menakutkan bagi mereka yang nalarnya terjangkiti virus kebodohan, kebodohan akan substansi dunia yang mereka naungi, terlebih lagi kebodohan dalam menyikapi substansi dunia tersebut. Perbedaan agama/madzhab juga merupakan keragaman yang paling banyak menumpahkan darah manusia, sebagaimana yang dilaporkan sejarawan Syamaksari dalam kitab milal wa nihalnya. Contoh yang masih hangat dari keragaman religius adalah kasus tuhan banyuwangi, seorang yang dinamai dengan nama Penciptanya (Tuhan). Kasus ini menuai respon dari berbagai kalangan, mulai dari masyarakat awam sampai kaum cendekiawan. Mulai dari respon positif bahkan negatif, pujian dan juga cacian. Sebuah konsekuensi dari sebuah pilihan yang berani. Sebuah hal yang memang harus terjadi didunia yang beragam, dan ini wajar selama tidak menuai pada sikap penghilangan eksistensi tuhan banyuwangi tersebut. Tulisan ini merupakan reaksi kami terhadap kasus tersebut. Tulisan ini berusaha menyikapi kasus itu secara rasional dan sebijak serta seobjektif mungkin, tanpa ada penghakiman yang didasari oleh sensitifitas keagamaan semata.

Sebagaimana yang disampaikan Maha guru u.Safwan, pengasuh madrasah Muthahhari, kata atau teks Tuhan dapat mengacu pada berbagai konsep yang beragam, diantaranya:
1. Menurut teks agama dan kepercayaan;
2. Menurut pandangan filsafat Yunani, Barat dan Islam;
3. Menurut kajian Descartes yang berbeda konstruksinya dengan Kant, berbeda pula konsep tuhan dalam kajian Marks, dan Nietsche;
4. Menurut tafsiran ahli kalam,filsafat dan tasawuf/irfan;
5. Menurut Mu’tazilah, Asy’ariyah, dan Syi’ah;
6. Menurut Khawarij, ISIS, Amerika dan Israel;
7. Menurut ibn Sina, ibn Arabi, dan Mulla Sadra;
8. Menurut syeikh Siti Jenar dan Al-hallaj;
9. Menurut pandangan ilmiah; partikel Tuhan, God spot;
10. Menurut pedagang aksesoris bertuliskan nama-nama Tuhan dan politisi penjual ayat-ayat Tuhan;
11. Tuhan dalam puisi Putu Wijaya, Rendra dan novel atheis Achdiat K;
12. Tuhan dalam buku izinkan aku jadi pelacur karya Muhiddin;
13. Tuhan dalam kosmologi The Tao Saciko Murata dan kosmologi W. Chittik, dan imam Ali dalam nahjul balaghah;
14. Tuhan dalam diriNYA sendiri.

Berbagai Konsep Tuhan diatas dapat disimpulkan dalam dua konsep: Tuhan dalam realitas internal (wujud mental), dan Tuhan dalam realitas eksternal (wujud eksternal). dalam konsep pertama, Tuhan dapat ditinjau dari dua predikasi; predikasi primer, dan predikasi sekunder. Dari ranah predikasi primer, Tuhan adalah Tuhan, bukan sesuatu yang lain. Tuhan ini adalah hasil abstraksi sempurna dari Tuhan dalam konsep kedua (realitas eksternal). Namun dari sisi predikasi sekunder, Tuhan bukanlah Tuhan, melainkan ciptaan Tuhan. Sebagaimana riwayat dari Imam Muhammd Al-baqir yang bersabda:”kulli ma mayyaztumuhu bi auhamikum fi adaqqi ma’aanihi, fahuwa makhluqun, mashnu’un mitslukum, mardudun ilaikum.wa lallan namla ash-shigar tatawahhamu annallaha zabaniyatain fa inna dzalika kamaluha, wa yatawahhamu anna adamaha nuqshan liman la yattasifu bihima.wa hakadza halul ‘uqala fima yasifuna allaha ta’ala bihi (segala yang kalian konsepsikan dalam pikiran kalian adalah makhluk, ciptaan seperti kalian, terbatasi oleh kalian. Dan mungkin semut kecil membayangkan bahwa Tuhan adalah dua antenanya karena hal itu adalah kesempurnaannya. Semut kecil itu juga membayangkan kekurangan bagi apa saja yang tidak memiliki dua antena tersebut. Begitu juga kondisi ahli ilmu dengan apa yang mereka sifati kepada Allah swt). _syarh ushul al-kafi; Mulla Sadra, jilid 3, hal 133_.

Dari konsep kedua, Tuhan adalah Tuhan, tak dikenali baik hushuli maupun khuduri, tak disamai baik direalitas mental maupun direalitas eksternal. Dialah sesempurnanya wujud, Dialah sehakikinya realitas. selaiNYA hanyalah entitas defenden, bahkan defendensitas(kebergantungan) itu sendiri. _lihat makna wujud robith dalam filsafat Sadra_.

Dari tataran ontologis, seluruh entitas defenden, baik yang ada direalitas eksternal maupun yang ada direalitas internal, baik pemilik nama Tuhan dibanyuwangi maupun entitas lainnya (mereka sadari atau tidak disadari), semuanya merupakan Tuhan dalam gradasinya masing-masing, seburuk apapun esensi dan sifat-sifat yang menyertai mereka. Tuhan yang dibanyuwangi dan Tuhan-Tuhan lain yang belum dipanggil dengan nama ‘Tuhan’ adalah Tuhan-Tuhan yang sedang bergerak melintasi level-level ketuhanan. Ada yang bergerak naik meningkatkan kualitas ketuhanannya dan ada yang menurun, meredupkannya.

Perjalanan untuk mengkonstruksi level ketuhanan hanya bisa ditempuh dengan jalur-jalur yang telah ditetapkan oleh Tuhan yang ada ditingkat teratas gradasi ketuhanan, dan pada saat yang sama juga melingkupi Tuhan-Tuhan lain dalam setiap gradasinya._makna hadits imam Ali:”dakhilun fil asyai la kasyaiun dakhilun fi syaiin akhar, khorijun minal asyai la kasyaiun khorijun minal asyail akhar, fa subhana man huwa hakdza wala hakadza goiruh wa likulli syaiin mubtada”_

Dengan demikian, kasus Tuhan banyuwangi dapat dianalisis dari tiga perspektif; perspektif ontologis, perspektif epistemologis (keilmuan), dan perspektif aksiologis.

Kasus tuhan banyunwangi dari tinjauan ontologis adalah hal yang benar dan tidak dapat dipungkiri apalagi dikritik oleh pihak lain, karena ia adalah Tuhan sebagaimana juga si kritikus.

Kasus tersebut juga benar dan wajar dari tinjauan epistemologis, lantaran hal itu merupakan dinamika dan dialektika keilmuan yang perlu untuk dikembangkan, sebagaimana sikap yang ditunjukkan maha guru. Al-ustad. Safwan.

Namun dari perpekstif aksiologis, saya pribadi tidak mengafirmasi dan juga tidak menolak, tidak membenarkan dan juga tidak menyalahkan kasus tersebut. Saya serahkan kepada teman sekalian, khususnya yang ahli dibidang fiqih untuk menilainya. Apkah perilaku tersebut (menamai anak dengan nama Allah) adal perilaku yang dapat mengkonstruksi kualitas ketuhanan atau justru mendekonstruksinya?. Apakah menamai anak dengan nama yang hanya dikhususkan kepada-NYA adalah hal yang dibolehkanNYA atau tidak?, dengan pertanyaan yang lebih spesifik, apakah Allah swt menghalakan nama Allah (walau hanya sebatas terjemahan, sperti Tuhan, Rab, khuda (bhs.persia), puang (bhs.bugis) God, dll) digunakan juga oleh makhluk-NYA atau Allah swt mengharamkannya?. Jika jawabannya positif, maka kasus tersebut juga dapat dibenarkan dari sisi aksiologis, dan keliru serta layak dikritik jika jawabannya negatif.

Wallahu a’lam


Alfit Syair (Mahasiswa Universitas Qom Iran)

Postingan terkait: