KOSONG

Tanah itu telah rata dengan tanah hanya sampah yang berserakan yang telah basah oleh hujan sejak asar. Kepulan asap adalah hal yang paling mudah terlihat dari jauh, arang mengabu menghancurkan kayu-kayu sisa bangunan yang menjadi saksi bisu jika waktu kembali pada seminggu yang lalu.

Perisai-perisai itu berjejer dan maju di iringi ancaman pentungan dari tangan manusia berseragam. Tak lama beberapa batu menghantam perisai dan di balas dengan gas air mata dan batu. Para pemilik rumah-rumah itu akhirnya mundur, tak sedikit mereka yang tidak melawan di perlakukan dengan kasar hingga tubuh memar terkena pentungan dan injakan sepatu bot.

Kini tanah itu sepi tak ada lagi bangunan penghuni asli yang puluhan tahun mendiami tanah itu. Kesepian perlahan itu berjalan di iringi tertawa pongah puluhan manusia berseragam seakan menang dalam perang. Tak ketinggalan senyum bahagia calon pemilik tanah baru melihat surat palsu berstempel penegak hukum.

Tatapan mata itu sayu kembali mengingat akan deretan rumah hingga yang kini di hadapinya adalah sebidang tanah kosong. Dibawah gerimis dia berteduh di bawah sebuah pohon berdaun lebat. Tiba-tiba matanya tertuju pada seorang anak telanjang dada bercelana biru yang berjongkok menghadap kayu hangus yang masih berasap.

Heran sekali rasanya melihat anak itu, hujan gerimis dia menghangat diri pada kayu berasap yang tidaklama lagi mati karena tetes hujan. Dipandangnya sejenak anak itu sudah mulai basah kuyub. Karena kasihan akhirnya orang itu berjalan menuju anak itu, di raih tangannya dan dituntun menuju pohon tempat sepedanya bersandar.

"Hei kamu ini sudah gila, hujan begini mau menghangatkan badan di bawah hujan apakah kamu tidak lihat kayu itu akan basah dan apinya mati"? Kata bapak itu kepada si anak.

Anak itu diam saja menatap si bapak kemudian matanya kembali melihat ketanah kosong tempat rumahnya yang seminggu lalu masih berdiri. Dia tidak melawan ketika bapak itu manarik tangannya dengan sedikit keras.

"Kamu tinggal disini ya, mana orang tuamu"? Bapak itu bertanya sambil memegang bahu si anak.

"Mana ada orang tinggal di tanah kosong pak di bawah pohon saja tidak ada yang mau" kata si anak.

Bapak itu kaget karena sadar jika pertanyaannya salah. Harusnya dia bertanya dimana anak itu tinggal.

"Lalu kamu tinggal dimana"? Si bapak kembali bertanya.

Tanpa menjawab anak itu menunjuk salah satu bagian tanah kosong tepat di depan mereka berdiri. Bapak itu sadar anak ini adalah korban penggusuran. Namun semua penghuni kampung yang digusur telah pergi, lalu kenapa anak ini masih tinggal. Bapak itu heran hingga semakin penasaran.

"Lalu kenapa kamu masih disini mana orang tuamu"? Bapak itu kembali bertanya
"Saya di tinggal orang tuaku yang sebagian nyawanya telah di bunuh" Jawabnya singkat dengan tatapan kosong.

"Lho siapa yang sekarat kemarin waktu penggusuran tak ada masuk rumah sakit, kalau ada kena pukul aparat paling memar saja" kata bapak itu.

"Bukan hanya orang tuaku hampir semua orang di kampung ini sudah setengah di bunuh oleh mereka" lagi-lagi si anak berbicara pembunuhan.

"Ah kamu ini ada-ada saja, mereka digusur karena disini mau di bangun bangunan bagus, lagi pula pemerintah menggusur sah saja karena ada suratnya dari pengadilan" kata bapak sedikit mendebat si anak

"BaNgunan bagus pak, kami dari dulu sudah bagus bisa makan sekali dalam sehari dan tinggal di rumah sederhana agar tidak kepanasan dan kehujanan" kata si anak terus menatap kosong ke arah tanah kosong.

Cakrawala semakin gelap hujan seakan tak ada tanda berhenti bersama angin yang menyapu bumi. Sayub-sayub di kejauhan mesjid berbunyi memecah kesunyian.

"Saya mau pulang ke rumahku, ini ada sedikit makanan makanlah, dan apakah kamu tak mau ikut denganku"?

"Kamu baik sekali pak, namun di atas tanah ini seminggu lalu banyak manusia yang lebih rendah dari hewan" kata anak itu setelah menerima bungkusan makanan.

"Ah., jangan menuduh seperti itu, kadang kita melihat buruk tapi kadang baik pada akhirnya" kata bapak itu

"Semua akan berpindah pak, tapi berpindah ke tempat yang jelas, kami sekampung digusur dengan uang seadanya dari mereka dan tak tahu kemana arah kami akan berpindah" anak itu kembali membantah

"Sudahlah makan saja besok saya kesini lagi bawakan makanan, sudah gelap". Kata bapak kemudian mengayuh sepedanya.

Pagi menjelang setelah serapan bapak itu kembali melalui jalan yang sama di pinggiran tanah kosong. Hari itu ada banyak orang berkumpul ada mobil ambulans dan polisi. Bapak itu mendekat ingin tahu, dia melihat beberapa orang menutup hidung dengan baju.

"Ada apa kenapa rame sekali"? Tanya bapak itu kepada seseorang.

"Ada mayat anak kecil, sudah hampir busuk tadi di temukan pemulung" kata orang itu
Karena penasaran ingin melihat bapak itu maju sambil menutup mulut dan hidungnya dengan telapak tangan. Diperhatikannya mayat anak kecil tanpa baju bercelana biru dengan mata sedikit terbuka menatap langit. Mayatnya membiru hitam dan mulai dikerumuni lalat.

Tiba-tiba tubuhnya merinding teringat pertemuannya dengan anak kecil kemarin di bawah pohon. Keringat membasahi tubuhnya. Jika mayat ini adalah anak yang kemarin tidak mungkin langsung membusuk secepat itu.

Tubuhnya lemas melangkah menjauh dari kerumunan menuju tempat dia memarkir sepedanya. Dia melihat tasnya yang berisi sebungkus nasi untuk anak itu. Sedikit menitikan air mata kemudian DIletakkannya nasi bungkus itu di bawah pohon tempatnya berteduh kemarin sore dan melangkah pergi dengan hati yang kosong, sekosong kemanusiaan yang mengosongkan tanah itu.

Postingan terkait: