ANTARA SELOK AWAR-AWAR & KADONG-KADONG

Jika di Lumajang desa Selok Awar-awar Salim kancil sang aktivis anti tambang pasir besi harus merenggang nyawa karena kekerasan psikologis, struktural, dan langsung, maka berbeda dengan sebuah desa yang bernama Kadong-kadong di Bajo barat Kab. Luwu.

Pembunuhan Salim jika dilihat dari rentang waktu dan kronologis kasus yang di muat berbagai media maka sangat jelas kekerasan struktural yang mengarah kepada aparat kepolisian dan pemerintah daerah Lumajang abai dalam melindungi warganya. Selain itu bogem mentah kekerasan psikologis juga harus di terima berupa ancaman pembunuhan dengan memperlihatkan senjata tajam di hadapan mereka.

Akhirnya sejarah kembali mencatat dalam tinta keagungan para pejuang kebenaran Salim wafat dengan siksaan tanpa belas kasih di depan penduduk desanya sendiri tanpa belas kasihan dari pelakunya yang tidak lain adalah orang-orang yang di kenal Salim sendiri sebagai warga yang pro terhadap aktivitas pertambangan.

Puluhan kilometer jika terbang dengan pesawat Aviastar yang beberapa jam lalu hilang di daerah Sulawesi selatan maka kita sudah bisa sampai di Bajo barat sebuah desa yang bernama Kadong-kadong.

Aktivitas tambang galian C sudah berjalan selama bertahun-tahun mengangkut ratusan ton pasir untuk menutupi pembangunan jalan raya. Bukan hanya pasir truk-truk penguasa jalan sekaligus pengrusak jalan aspal itu menganggkut pecahan batu dan aspal dari lokasi pertambangan. Bukan lagi indikasi tapi sudah pasti ada tiga aktivitas yaitu tambang galian C, pabrik aspal dan pemecah batu.

Berbeda dengan Selok awar-awar yang terletak di pinggir laut Kadong-kadong tepat di kaki gunung Latimojong yang setiap waktu di kikis oleh aliran sungai salu suso. Tak ada kekerasan dan ancaman yang masif dari aparat pemerintah terhadap masyarakat yang kontra pada tambang dan aktivitas pabrik.

Namun beberapa bulan belakangan DPRD Luwu akhirnya angkat bicara barulah terungkap jika selama ini tambang tak memiliki izin penggunaan jalan, tak memberi PAD pada daerah, bahkan membuang limbah di sekitar sungai dan tanah yang dekat dengan pemukiman warga.

Sekali lagi berbeda tak ada kekerasan namun yang ada hanya Kebodohan Struktural, Kebodohan Psikologis, dan Kebodohan Langsung hingga melahirkan Pembodohan oleh Pemerintah Daerah dan Penambang pada masyarakat selama bertahun-tahun.

Bodoh mungkin itu yang paling tepat di alamatkan kepada pemerintahan daerah Luwu yang membiarkan Bajo barat/ Desa Kadong-kadong yang memiliki potensi tambang pasir dan batu namun membiarkan masyarakatnya memakan debu, di eksploitasi, dan hasil tambang tak di peroleh sama sekali.

DPRD Luwu, setelah melaksanakan rapat dengan SKPD terkait, dinas perhubungan, badan lingkungan hidup, dinas pertambangan. Tampak semua menyatakan akan menyikapi persoalan aktivitas tambang dan pabrik PT. Harpia.

Dinas perhubungan bingung desa kadong-kadong masuk dalam jalan apa.? Jika melakukan pelanggaran penggunaan jalan maka status jalannya harus jelas. Sedikit berkerut dan menjaga agar perwakilan Dishub tidak marah dan tersinggung dalam rapat maka gumam hati cukup mewakili "bodoh sekali dinas ini dia yang di anggap faham hingga akhirnya di panggil kenapa jadi bingung sendiri".

Dinas Lingkungan hidup mengatakan jika akan turun lapangan untuk mengecek langsung aktivitas PT. Harpia terkait dugaan pencemaran lingkungan. Agar tak tersinggung gumam hati kembali berkata "kenapa baru sekarang, BLH tidak buta dengan ulah tambang di Kadong-kadong, apakah karena ada yang ribut baru mau bertindak".

Dinas pertambangan akan mengakomodir aspirasi warga Bajo barat atas aktivitas PT. Harpia, namun persoalan tambang sudah berada di tangan provinsi. Kembali dahi berkerut dan bergumam "iya benar sekarang aturannya begitu, tapi lima tahun lalu kamu kemana"?. Bodoh sekali lagi Kebodohan Struktutal.

Tak tahan lagi hingga beberapa waktu lalu warga akhirnya menggunakan cara mereka sendiri untuk menutup aktivitas tambang yang bertahun-tahun merugikan mereka. Aparat keamananan di turunkan entah untuk memberi keamanan kepada siapa dan terdengar kabar masyarakat di acungkan pistol oleh polisi. Sekali lagi bodoh, masyarakat selama ini tak aman dari aktivitas PT. Harpia dan kejengkelan mereka tak di peduli malah di arahkan ujung pistol. Kebodohan Struktural kembali bertambah.

DPRD Komisi III setelah rapat terkait tambang PT. Harpia kini diam seakan tak pernah ada kejadian apalagi melakukan evaluasi terhadap rekomendasi yang mereka keluarkan. Pemda tak mengubris namun DPRD akhirnya beralasan sering "jalan-jalan" keluar daerah dan banyak rapat di kantor.

Ini bukan hanya persoalan tambang, eksploitasi alam, kerugian warga, namun di tambah Struktur pemerintahan yang abai terhadap hasil alamnya dan kondisi masyarakatnya. Namun ini juga persoalan keadilan Agraria bagi masyarakat. Tanah, air dan semua yang berada di alam di manfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat. Keadilan agraria dalam bentuk pemanfaatan sumber daya alam untuk masyarakat selalu di abaikan oleh penambang melalui Pemerintahnya.

Lalu apa kesamaan Selok awar-awar dan Kadong-kadong, kesamaannya adalah ada keributan yang dianggap hot barulah media, pemerintah, dan semua yang merasa peduli ingin melakukan kepedulian. Salim kancil tak tewas maka siapa wartawan yang mau meliput dan melirik desa pinggir laut itu setelah sekian bulan di tekan secara psikologis dan struktural.

Ketika masyarakat Bajo barat tak gedor DPRD dalam bentuk hearing tentang PT. Harpia dan jalan raya mereka maka adakah media yang mau meliput keresahan warga yang tahunan di eksploitasi dan memakan debu jalanan. Aneh bin ajaib, dominan DPR dan eksekutif (Pemda) yang berkomentar di media namun hanya sedikit saja warga di berikan hak berbicara.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "ANTARA SELOK AWAR-AWAR & KADONG-KADONG"

Post a Comment