“begitu
banyaknya pelajaran, dan begitu
sedikitnyapara pengambil pelajaran”
_imam ali_
Pagi itu langit Qom Iran diselimuti awan
hitam, gelap, serasa ingin menumpahkan air mata kedukaan dan mengabarkan
kedukaannya pada seluruh penghuni bumi Qum, mentari pun enggan menampakkan
senyum cerianya, seakan menelan pil kesedihan, wajahnya tertunduk dan
memejamkan mata, kulihat butiran-butiran air mata perlahan menetes.
Adam melangkahkan kaki menuju madrasah, rasa
heran menghampiri sepertinya hari ini berbeda dengan hari sebelumnya, betapa
tidak, hampir seluruh ustad, santri bahkan sebagian besar warga kota Qum yang
berlalu lalang di depan madrasah mengenakan pakaian hitam dengan roman wajah
penuh duka seakan ada peristiwa yang begitu menyedihkan baru saja terjadi. Salah
seorang ustad dengan serban hitam yang melilit kepalanya menyampaikan informasi
dengan nada sedih melalui pengeras suara berkata;”di harap kepada seluruh
pecinta Al-Husain untuk menghadiri azodori/majelis duka Al-Husain di mesjid
madrasah selepas shalat isya”. Ya
Allah!! Adam terperanjat ketika suara itu menusuk telinganya dan meneruskanya
ke hati kemudian berbisik ”yah hari ini tanggal satu Muharram, hari dimana
Al-Husain dan kafilahnya memulai perjalananannya menuju sahara kematian, hari
ini adalah hari hijrahnya manusia dari rumah kegelapan jiwa menuju cahaya, hari
bergeraknya materi menuju non materi”. Jiwa Adam serasa terbang ke kanvas putih
karbala yang dilukis dengan warna merah darah dan tertulis ”selamat datang di
episode pertama karbala”.
Gelap malam merobek siang, shalat isya telah
ditunaikan, lampu-lampu dipadamkan, remang menyelimuti setiap masjid Iran
khususnya kota Qom. Maktal telah di bacakan, maktam pun disenandungkan diringi
isak tangis setiap orang yang mendengarnya, tangisan itu semakin menyayat hati,
pilu, mulut pun sesekali melaknat para tokoh antagonis karbala. Malam demi
malam mereka berkumpul, menerbangkan ruh,bersatu dengan kafilah syuhada, menyelami sejarah menyaksikan lebih dekat
episode demi spisode perjalanan Aba Abdillah menuju taman tanpa bunga. Hingga
pada akhirnya sampailah pada episode kesepuluh yang merupakan episode terakhir
dari bagian pertama cerita karbala. Langit terasa runtuh, bumi terbelah,
gunung-gunung berhamburan laksana kapas dan dedaunan kering yang diterpa angin
menyaksikan kekasih Tuhan terbunuh dengan bibir haus dan badan tercabik di
sahara Karbala. Warga Qom berpakaian serba hitam, memenuhi jalan-jalan kota
qom, mereka menangis,
menjerit,memukul-mukul dada dan kepala, meyanyikan lagu duka, membakar kemah-kemah,
melaknat setiap musuh Al-Husain, hati dan mata mereka perih saksikan karbala di
pelupuk mata. Warga Qom berduka sebagai bentuk ekspresi kecintaan mereka kepada
Al-Husain. Selamat bermukim di pekuburan nainawa.
Qum adalah salah satu kota di antara sekian
banyak kota yang ada di bawah naungan langit yang berduka pada bulan muharram,
setiap penjuru bumi yang dihiasi dengan pecinta-pecinta Al-Husain, disitu akan
terdengar tangis dalam bentuk senandung kesedihan sahara karbala yang
dilantunkan dengan alasan yang tentunya berbeda satu dengan yang lainnya.
Mungkin Adam adalah orang yang paling jarang
meneteskan air mata selama perayaan majelis duka di kota Qom, namun hal ini
bukan berarti bahwa dia bukanlah pecinta Al-husain, akan tetapi Adam mencoba
tuk menjadi pecinta Al-Husain yang mencintainya dengan mata terbuka.
Bukankah kita sering mendengar istilah cinta
buta yang bagiku itu merupakan jenis cinta yang tidak dilandasi oleh
pengetahuan terhadap sesuatu yang dicintai, sehingga akal kemudian terkalahkan
oleh rasa. Hal ini tentu akan berimplikasi pada apapun yang dibisikkan oleh
perasaan maka dia pun akan mencintainya hatta hal itu adalah keburukan. Mohon
maaf kalau saya harus mengatakan bahwa para wanita senantiasa mengalami cinta
buta ini, misalkan ketika seorang wanita mendengarkan pemateri yang membawakan
sebuah materi ‘filsafat cinta’ dengan bahasa layaknya sang pujangga, pada saat
itu jiwa si wanita hanyut dalam keindahan lautan kata-kata mutiara si pemateri
dan memandang si pemateri sebagai sosok paripurna, pecinta sejati. Si wanita
akhirnya jatuh dalam dekapan si pemateri tanpa menelisik, menoleh kebelakang
terlebih dahulu siapa sesungguhnya dia, kemudian menatap kedepan dan melihat
apakah teori-teori, epistemologi cinta si pemateri selaras dengan aksiologi
atau penerapan cintanya, atau justru ada gap yang memisahkan antara teori yang
melangit (kata2 mutiara) dengan tindakan yang membumi (penjahat cinta). Kita
akan menyebut perempuan seperti ini dalam bahasa Erick from sebagai ”wanita
yang merajut hari dan malamnya dengan tetesan-tetesan air mata kekecewaan”.
Sebaliknya mungkin kita jarang mendengar istilah cinta melek yaitu cinta yang
dilandasi oleh pengetahuan, pengenalan secara komprehensif terhadap sesuatu
yang dicintai. Ketika kita mengenalnya sebagaimana dia adanya, dan melihat
dirnya sebagai sosok yang layak dicintai maka dari situ mengalirlah cinta dari
kedalaman jiwa yang bermuara pada penyatuan dua jiwa. Salah satu butir dari
rincian fitrah atau kecenderungan manusia menurut Ayatoollah taqi mizbah yazdi
adalah mencintai keindahan, keagungan, kebaikan dan berbagai macam nilai
pasandish/ luhur lainnya. Jadi orang yang berparadigma cinta melek tidak akan
mencintai sesuatu, kecuali dia mengenal sesuatu itu secara komprehensif dan
melihat keindahan, keagungan dan nilai-nilai luhur yang melekat pada diri
sesuatu itu. Inilah mungkin makna dari perkataan para imam ma’sum yag
mengatakan bahwa; “sekiranya kalian mengenal apa itu keburukan/dosa, maka
niscaya kalian akan sangat membencinya dan tidak akan pernah mengamalkannya,
dan sekiranya kalian mengenal apa itu kebaikan, kebenaran dan nilai-nilai luhur
lainnya maka sedetikpun kalian tidak ingin pisah dengannya dan selalu
mewujudkannya dalam ranah aplikatif”. Lantas apakah kita telah mengenal hakikat
Al-husain secara holistik yang mengantar kecintaan padanya?.
Dari sinilah Adam kemudian berfikir kenapa
dia harus menangis ketika episode demi episode drama karbala di bacakan, dia
tidak menemukan alasan kenapa dia harus meneteskan air matanya. Ketika Adam bertanya
pada mereka yang menangis perihal alasan tangisan mereka, ada yang menjawab
dengan menggunakan dalil naqli bahwa;“kita harus bersedih ketika Rasul SAWW dan
keluarganya bersedih dan bergembira ketika mereka juga gembira”. “Lantas apa
alasan kesedihan mereka”? Tanya Adam lebih lanjut. “Apakah imam Husain bersedih
karena di akan segera dibantai”?, “bukankah syahid di jalan Tuhan adalah
cita-cita tertinggi kaum muslim pun juga imam Husain”? “Bukankah kita justru
harus bahagia ketika mereka telah tercatat sebagai syahid”? “Apakah alasan
kesedihan Zainab dikarenakan dirinya serta perempuan-perempuan Ahlulbait dan
anak-anak kecil akan segera di arak laksana kawanan domba menuju istana para
perampas”? ”bukankah kita juga senantiasa melaknat para perampas itu dan
menginginkan Tuhan agar mereka juga di arak diakhirat menuju lautan api
neraka”? Lantas apa bedanya kita dengan mereka yang menginginkan penganiayaan
diluar batas kemanusiaan?. “Jadi apa sesusungguhnya alasan real dari kesedihan
demi kesedihan yang dialami oleh rasul Tuhan beserta Ahlulbaitnya”??tanya Adam
lebih lanjut.
Orang yang kedua menjawab terkait alasan
tangisan mereka bahwa;”tragedi karbala adalah tragedi yang layak di tangisi
karena penuh dengan duka prahara”. Adam kemudian melanjutkan kritikannya dengan
mengatakan bahwa sinetron-sinetron yang di tayangkan televisi juga penuh dengan
duka kesedihan, bahkan terkadang kita juga dihanyutkan oleh irama dan nuansa
film, kita menangis ketika pemeran utama tersakiti, dan tersenyum ketika mereka
juga bergembira, kita juga terkadang ikut dalam sandiwara tersebut dengan
berteriak-teriak mencaci mereka yang memerankan tokoh antagonis. Lantas apa
bedanya antara sinetron-sinetron perfilman dengan drama yang diperankan di
sahara karbala?. Atau memang benar kata Shakespeare yang menafsirkan dunia
bahwa;”dunia adalah panggung sandiwara,duka dan suka datang silih
berganti”. Apakah prahara karbala
hanyalah salah satu episode dalam film kehidupan yang disutradarai oleh Tuhan
dan tidak mempunyai efek apa apa. Sebagaimana ketika sinetron selesai di
tayangkan, penonton pulang kerumah minum teh kemudian tertidur pulas. Pun juga
ketika mereka selesai mengadakan azodori/majelis duka, mereka kembali kerumah
masing-masing dan menunggu episode selanjutnya yang mungkin menayangkan
kebahagiaan seperti episode kelahiran para imam, ghadir khum dll.
Di atas mimbar seorang ustad dengan jubah
serba hitam sedang menyampaikan ceramah tentang kafilah Al-husain menyisir
gurun menerjang panas, sementara Adam hanyut dalam pikirannya, beribu
pertanyaan menghampiri akalnya tentang:” apakah cintanya kepada Al-husain
dilandasi oleh pengetahuan terhadap Al-husain, apakah dia telah mengenal
hakikat Al-husain, atukah hanya mengenal Al-husain sebagamaina syimir(si
penjagal kepala Al-husain) mengenalnya dan berkata “engkau (imam Husain) adalah
salah satu imam, anak Ali bin abi tholib dan fatimah zahra”. Lantas siapa
sesungguhnya Hakikat Al-husain?, kenapa kita harus menangisi peristiwa
karbala?, apa alasan kesedihan Rasullullah dan Ahlulbaitya? Apakah alasan
pribadi karena hak kepemimpinannya dirampas atau ada alasan lain? Pertanyaan
selanjutnya adalah apa sesungguhnya yang ingin dicapai dari majelis-majelis
duka??.Pertanyaan-pertanyaan ini membawa Adam kekedalaman pikiran, tenggelam,
tenang, sepi dan hilang. Bersambung,
Catatan;-diramu dari berbagai ceramah yang
disampaikan para ustad yang ada di Qum, ceramah radio dll.
-bagian pertama berisi pertanyaan-pertanyaan,
dan bagian selanjutnya merupakan jawaban atas pertanyaan (insyaallah kalau
masih hidup)
Ditulis pada 18 oktober 2015
Penulis: Alfit Syair (Mahasiswa Univ. Qum Iran)
Belum ada tanggapan untuk "BEDA DRAMA KARBALA DENGAN SINETRON "SEBUAH FILM BERIBU PERTANYAAN""
Post a Comment