FILSAFAT PENANTIAN : REFLEKSI TRAGEDI KARBALA (BAGIAN 1)

Sekilas Refleksi Fenomena Sosial

Sejarah manusia dipenuhi dengan sifat-sifat kontradiksi yang berdatangan silih-berganti. Kedua hal tersebut saling menegasi satu dengan yang lainnya dan tidak bisa hadir bersama dalam satu wujud manusia. Ketika yang satu hadir yang lain akan sirna, dan ketika yang lain sirna yang satu akan hadir. Manusia yang dulunya meyakini Tuhan kini menjadi penentang Tuhan. Manusia yang dulunya pembenci Tuhan kini menjadi pecinta Tuhan. Tragedi karbala juga menceritakan hal ini; penduduk kufah yang dulunya menjadi basis pasukan Al-husain berubah menjadi basis pembantai Al-husain. Mereka yang mengundang, mereka juga yang mengepung beberapa jam kemudian. Di karbala kita melihat Al-hurr yang dulunya pemimpin tentara musuh berubah menjadi pembela pertama yang syahid selang beberapa saat kemudian. Pun demikian saat ini, mereka yang dulunya pecinta syi’ah kini menjadi pembenci syi’ah, mereka yang dulunya antipati dengan Amerika, kini simpati terhadapnya. Mereka sadari atau tidak.

Mengapa hal tersebut terjadi? Mengapa konsistensi terhadap sebuah keyakinan begitu sulit ditemukan? Mengapa pengkhianatan terjadi? Mengapa dan mengapa. Semua ini karena pengetahuan, pengetahuan yang dangkal. Inilah jawaban sederhana dari pertanyaan-pertanyaan tersebut. Manakala keyakinan tidak lahir dari landasan yang kokoh, maka tungggulah kehancurannya. Namun jika keyakinan merupakan akibat dari sebab yang benar dan rasional secara akal, maka keyakinan tersebut tidak akan pernah sirna selama sebab yang melahirkannya tidak goyah. Dan lantaran sebabnya adalah argumentasi burhani _yang notabene adalah argumentasi badihi dan selamanya bersifat benar_ maka sebab ini tidak akan pernah hilang begitu juga dengan akibatnya (keyakinan) tidak akan pernah terganti dan tergoyahkan. Karena akibat mustahil akibat pisah dari sebabnya.

Oleh karena itu, jelaslah urgensi dan kemendesakan tinjauan ulang atas keyakinan-keyakinan yang melandasi perilaku keberagamaan kita. Penting untuk menelaah ulang landasan epistemologis dari paraktek-praktek aksiologis kita. Mendesak untuk melacak kembali motif-motif ideologis yang melandasi tindakan praktis. Dan penting untuk merefitalisasi pandangan dunia kita yang dengannya kita menafsirkan berbagai fenomena yang terjadi dan kemudian berimplikasi pada cara bertindak. Karena bisa jadi kita semua melakukan hal yang sama, namun nilai keduanya berbeda. Kita sama-sama mencintai Al-husain, namun dengan pandangan dunia yang berbeda. Kita sama-sama belajar dari karbala, namun yang kita tangkap berbeda, ada yang menangkap kekalahan dan ketidakberdayaan, serta ada yang menangkap kemenangan dan kebangkitan. Kita sama-sama menangis, namun ada yang menangis akal, ada yang menangis perasaan. Dan kita sama-sama menanti, namun dengan dorongan dan motifasi yang berbeda. Sebagai contoh filsuf dan gelandangan sama-sama (terkadang) memakai pakaian yang lusuh dan compang-camping, namun nilai keduanya tentu berbeda; yang satu karena alasan finansial, yang satu karena alasan filosofis. Begitu juga dengan manusia suci dan orang gila yang terkadang sama-sama melakukan hal-hal yang dianggap “aneh” oleh kebanyakan manusia, namun tentu nilai keduanya berbeda.

Keniscayaan Penantian

Pertanyaan yang pertama muncul di benak ketika mendengar kata penantian adalah mengapa kita harus menanti? Toh, bukankah hal-hal masa depan semuanya merupakan kemungkinan-kemungkinan yang tidak diketahui apakah benar-benar akan terjadi atau tidak. Dalam filsafat atau logika kemungkinan seperti ini disebut dengan istilah imkan istiqbali atau kemungkinan murni, yaitu kemungkinan yang di dalamnya tidak ada satupun dimensi keniscayaan, misalnya kemungkinan turunnya hujan esok hari yang bisa jadi turun dan bisa jadi tidak. Bahkan bisa jadi penantian justru melahirkan kekecewaan manakala yang dinanti tak kunjung tiba atau tiba namum berbeda dari apa yang kita harapkan, hingga akhirnya hal ini akan bermuara pada frustasi, depresi bahkan mati. Bukankah daf’ud dhoror ihtimali (menghindari bahaya-bahaya yang mungkin akan terjadi) itu wajib secara hukum akal? Lantas mengapa kita harus menanti masa depan yang justru bisa melahirkan petaka-petaka untuk diri. Bukankah lebih baik kita mencukupkan diri tuk menikmati hari ini karena bisa jadi sedetik kemudian kita telah mati. Bukankah para imam juga mengecam cita-cita yang panjang?

Kegelisahan-kegelisahan filosofis di atas dapat di jawab setidaknya dengan tiga perspektif yang masing-masing memiliki implikasi dalam format penantian. Perspektif psikologis, penantian dalam perspektif ini dilandasi oleh dorongan jiwa, jiwa yang kecewa dengan kondisi diri dan kondisi lingkungan sosial. Hal ini tercermin dari manusia yang tertindas namun tak mampu bangkit melawan penindasan. Ia menemukan dirinya sebagai pribadi lemah yang tak berdaya. Sehingga dengan ini ia menantikan kehadiran sosok ratu adil, sosok messiah, sosok imam zaman untuk menghilangkan derita dan penindasan yang dialaminya. Penantian seperti ini tentu bersifat inkonsisten terhadap pribadi yang dinanti, karena pada dasarnya penantian seperti ini tidak melihat mishdaq tertentu dari pribadi yang dinanti. Penantian ini melihat siapapun yang mampu menghilangkan derita psikologis dan penindasannya. Kendatipun sang penyelamat tersebut merupakan penindas baru yang menindas orang lain selain dirinya, namun ia tetap menjadikan orang tersebut sebagai imamnya karena ia berada dalam zona aman dengan kehadirannya. Seperti orang yang menanti kehadiran Presiden agar si presiden memberinya jabatan dan kekayaan, disini si penanti sebenarnya tidak menanti presiden tetapi menanti siapapun yang dapat mewujudkan hasrat kekuasaan dan materinya, kendatipun orang yang hadir tersebut merupakan saingan politik si presiden. Begitu juga seorang suami yang menantikan kehadiran istrinya agar ia beroleh kepuasan birahi dengan kehadiran sang istri. Sebenarnya suami tersebut tidak menanti wujud sang istri, tetapi menanti siapapun yang dapat memuaskan nafsu seksualitasnya, kendatipun yang hadir itu adalah wanita yang diharamkan untuknya.

Perspektif yang kedua adalah perspektif skriptualis (naqli), penantian dalam perspektif ini didasari oleh dorongan iman. Iman yang sebenarnya adalah ketaatan mutlak terhadap apa yang tertulis dalam kitab-kitab suci dan riwayat-riwayat nabi. Dalam perspektif ini, si penanti menanti mishdaq tertentu yang namanya tercantum dalam teks. Meskipun penantian seperti ini dapat dibenarkan, namun hal ini tidak dapat dijadikan sebagai satu-satunya penggerak penantian, lantaran penantian seperti ini tidak bersifat universal, tetapi hanya berlaku bagi madzhab tertentu saja. Ditambah lagi dengan adanya berbagai tafsir yang berbeda dari teks yang sama yang memperjelas adanya masalah dalam dilalah teks tersebut. Begiitu juga jika kita meragukan hujjiyat (validitas) proposisi-proposisi mutawatir (yang mana sebagian besar masalah-masalah keagamaan merupakan proposisi-proposisi mutawatir) maka runtuhlah bangunan skriptualis sedari akarnya.

Perspektif terakhir adalah perspektif rasional (aqli). Yaitu penantian yang didasari oleh dorongan akal. Akal yang melahirkan keyakinan yang pasti dan tidak akan sirna. Dalam penantian ini, penanti dengan argumentasi-argumentasi rasional mampu memahami hakikat wujudnya, yaitu wujud yang meniscayakan penantian sebagai konsekuensi logis dari derajat wujudnya dalam hirarki keberadaan (eksistensi). Penantian seperti ini adalah penantian dan gerakan tanpa akhir karena yang dinanti adalah kesempurnaan eksistensial (wujudi) yaitu kesempurnaan yang tak bertepi. Si penanti terus menanti dan bergerak dengan gerak substansinya melintasi level-level eksisitensial. Si penanti terus bergerak dan menanti kesempurnaan-kesempurnaan eksisitensial yang berada di atasnya. Karena penantian akan berakhir jika yang dinanti telah terwujud dan gerak akan berhenti manakala tidak ada lagi yang dinanti. Namun jika yang dinanti adalah kesempurnaan tanpa batas, maka penantian akan selalu ada dan gerak akan selalu terjadi. Artinya, ketika manusia menemukan wujudnya berada dalam level terendah eksistensi, ia akan menyadari bahwa terdapat kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial yang tidak ia miliki, atau ia miliki namun berada dalam level yang rendah serendah kualitas wujudnya. Dengan ini ia rindu dengan kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial yang berada di level atas hirarki eksistensi dan berusaha untuk meraih kesempurnaan tersebut. Begitu kesempurnaan tersebut diraih, ia akan segera menyadari bahwa masih ada kesempurnaan eksistensial lagi yang berada di atas level wujudnya dan iapun bergerak tuk mencapainya, begitu seterusnya hingga ia sampai pada kesempurnaan yang tak bertepi.

Sepintas nampak tidak ada perbedaan antara penantian dari perspektif psikologis dan perspektif aqli, dimana keduanya tidak menantikan pribadi tertentu, tetapi menantikan kenyamanan-kenyamanan diri tanpa peduli siapapun yang memberikan kenyamanan tersebut. Namun jika ditelaah lebih dalam, kedua perspektif ini tidak dapat disamakan. Perspektif pertama menanti kesempurnaan psikologis, sedangkan yang kedua adalah kesempurnaan ontologis. Yang pertama adalah kenyamanan emosional, sedang yang kedua adalah kenyamann eksistensial. Yang pertama adalah kepuasan semu, dan yang kedua adalah kepuasan hakiki. Yang pertama merupakan harapan seluruh hewan, yang kedua merupakan impian khusus manusia. Kendatipun penantian dalam perspektif akal tidak mampu menentukan mishdaq eksternal dari yang dinanti, namun akal mampu mengafirmasi keniscayaan adanya sosok yang dinanti dengan argumentasi rasional (hal ini akan dibahas dalam bahasan selanjutnya) dimana perspektif pertama tidak mampu membuktikan hal ini. Setelah membuktikan keniscayaan adanya sosok yang dinanti, penantian dalam perspektif ini akan sempurna jika disandingkan dengan perspektif kedua (naqli) untuk melihat siapa mishdaq eksternal sosok tersebut, siapa ayahnya, ibunya, datuknya, dan siapa namanya. Dengan demikian, penantian dan sosok yang dinanti adalah hal yang niscaya dalam perspektif akal.


Bersambung ke bagian kedua:Tiga asas penantian

Penulis: Alfit Syair (Mahasiswa Univ. Qum Iran)

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "FILSAFAT PENANTIAN : REFLEKSI TRAGEDI KARBALA (BAGIAN 1)"

Post a Comment