Sekilas Refleksi Fenomena Sosial
Sejarah manusia dipenuhi dengan sifat-sifat
kontradiksi yang berdatangan silih-berganti. Kedua hal tersebut saling menegasi
satu dengan yang lainnya dan tidak bisa hadir bersama dalam satu wujud manusia.
Ketika yang satu hadir yang lain akan sirna, dan ketika yang lain sirna yang
satu akan hadir. Manusia yang dulunya meyakini Tuhan kini menjadi penentang
Tuhan. Manusia yang dulunya pembenci Tuhan kini menjadi pecinta Tuhan. Tragedi
karbala juga menceritakan hal ini; penduduk kufah yang dulunya menjadi basis
pasukan Al-husain berubah menjadi basis pembantai Al-husain. Mereka yang
mengundang, mereka juga yang mengepung beberapa jam kemudian. Di karbala kita
melihat Al-hurr yang dulunya pemimpin tentara musuh berubah menjadi pembela
pertama yang syahid selang beberapa saat kemudian. Pun demikian saat ini,
mereka yang dulunya pecinta syi’ah kini menjadi pembenci syi’ah, mereka yang
dulunya antipati dengan Amerika, kini simpati terhadapnya. Mereka sadari atau
tidak.
Mengapa hal tersebut terjadi? Mengapa
konsistensi terhadap sebuah keyakinan begitu sulit ditemukan? Mengapa
pengkhianatan terjadi? Mengapa dan mengapa. Semua ini karena pengetahuan,
pengetahuan yang dangkal. Inilah jawaban sederhana dari pertanyaan-pertanyaan
tersebut. Manakala keyakinan tidak lahir dari landasan yang kokoh, maka
tungggulah kehancurannya. Namun jika keyakinan merupakan akibat dari sebab yang
benar dan rasional secara akal, maka keyakinan tersebut tidak akan pernah sirna
selama sebab yang melahirkannya tidak goyah. Dan lantaran sebabnya adalah
argumentasi burhani _yang notabene adalah argumentasi badihi dan selamanya
bersifat benar_ maka sebab ini tidak akan pernah hilang begitu juga dengan
akibatnya (keyakinan) tidak akan pernah terganti dan tergoyahkan. Karena akibat
mustahil akibat pisah dari sebabnya.
Oleh karena itu, jelaslah urgensi dan
kemendesakan tinjauan ulang atas keyakinan-keyakinan yang melandasi perilaku
keberagamaan kita. Penting untuk menelaah ulang landasan epistemologis dari
paraktek-praktek aksiologis kita. Mendesak untuk melacak kembali motif-motif
ideologis yang melandasi tindakan praktis. Dan penting untuk merefitalisasi
pandangan dunia kita yang dengannya kita menafsirkan berbagai fenomena yang
terjadi dan kemudian berimplikasi pada cara bertindak. Karena bisa jadi kita
semua melakukan hal yang sama, namun nilai keduanya berbeda. Kita sama-sama
mencintai Al-husain, namun dengan pandangan dunia yang berbeda. Kita sama-sama
belajar dari karbala, namun yang kita tangkap berbeda, ada yang menangkap
kekalahan dan ketidakberdayaan, serta ada yang menangkap kemenangan dan
kebangkitan. Kita sama-sama menangis, namun ada yang menangis akal, ada yang
menangis perasaan. Dan kita sama-sama menanti, namun dengan dorongan dan
motifasi yang berbeda. Sebagai contoh filsuf dan gelandangan sama-sama
(terkadang) memakai pakaian yang lusuh dan compang-camping, namun nilai
keduanya tentu berbeda; yang satu karena alasan finansial, yang satu karena
alasan filosofis. Begitu juga dengan manusia suci dan orang gila yang terkadang
sama-sama melakukan hal-hal yang dianggap “aneh” oleh kebanyakan manusia, namun
tentu nilai keduanya berbeda.
Keniscayaan Penantian
Pertanyaan yang pertama muncul di benak
ketika mendengar kata penantian adalah mengapa kita harus menanti? Toh,
bukankah hal-hal masa depan semuanya merupakan kemungkinan-kemungkinan yang
tidak diketahui apakah benar-benar akan terjadi atau tidak. Dalam filsafat atau
logika kemungkinan seperti ini disebut dengan istilah imkan istiqbali atau
kemungkinan murni, yaitu kemungkinan yang di dalamnya tidak ada satupun dimensi
keniscayaan, misalnya kemungkinan turunnya hujan esok hari yang bisa jadi turun
dan bisa jadi tidak. Bahkan bisa jadi penantian justru melahirkan kekecewaan
manakala yang dinanti tak kunjung tiba atau tiba namum berbeda dari apa yang
kita harapkan, hingga akhirnya hal ini akan bermuara pada frustasi, depresi
bahkan mati. Bukankah daf’ud dhoror ihtimali (menghindari bahaya-bahaya yang
mungkin akan terjadi) itu wajib secara hukum akal? Lantas mengapa kita harus
menanti masa depan yang justru bisa melahirkan petaka-petaka untuk diri.
Bukankah lebih baik kita mencukupkan diri tuk menikmati hari ini karena bisa
jadi sedetik kemudian kita telah mati. Bukankah para imam juga mengecam
cita-cita yang panjang?
Kegelisahan-kegelisahan filosofis di atas
dapat di jawab setidaknya dengan tiga perspektif yang masing-masing memiliki
implikasi dalam format penantian. Perspektif psikologis, penantian dalam
perspektif ini dilandasi oleh dorongan jiwa, jiwa yang kecewa dengan kondisi
diri dan kondisi lingkungan sosial. Hal ini tercermin dari manusia yang
tertindas namun tak mampu bangkit melawan penindasan. Ia menemukan dirinya
sebagai pribadi lemah yang tak berdaya. Sehingga dengan ini ia menantikan
kehadiran sosok ratu adil, sosok messiah, sosok imam zaman untuk menghilangkan
derita dan penindasan yang dialaminya. Penantian seperti ini tentu bersifat
inkonsisten terhadap pribadi yang dinanti, karena pada dasarnya penantian
seperti ini tidak melihat mishdaq tertentu dari pribadi yang dinanti. Penantian
ini melihat siapapun yang mampu menghilangkan derita psikologis dan
penindasannya. Kendatipun sang penyelamat tersebut merupakan penindas baru yang
menindas orang lain selain dirinya, namun ia tetap menjadikan orang tersebut
sebagai imamnya karena ia berada dalam zona aman dengan kehadirannya. Seperti
orang yang menanti kehadiran Presiden agar si presiden memberinya jabatan dan
kekayaan, disini si penanti sebenarnya tidak menanti presiden tetapi menanti
siapapun yang dapat mewujudkan hasrat kekuasaan dan materinya, kendatipun orang
yang hadir tersebut merupakan saingan politik si presiden. Begitu juga seorang
suami yang menantikan kehadiran istrinya agar ia beroleh kepuasan birahi dengan
kehadiran sang istri. Sebenarnya suami tersebut tidak menanti wujud sang istri,
tetapi menanti siapapun yang dapat memuaskan nafsu seksualitasnya, kendatipun
yang hadir itu adalah wanita yang diharamkan untuknya.
Perspektif yang kedua adalah perspektif
skriptualis (naqli), penantian dalam perspektif ini didasari oleh dorongan
iman. Iman yang sebenarnya adalah ketaatan mutlak terhadap apa yang tertulis
dalam kitab-kitab suci dan riwayat-riwayat nabi. Dalam perspektif ini, si
penanti menanti mishdaq tertentu yang namanya tercantum dalam teks. Meskipun
penantian seperti ini dapat dibenarkan, namun hal ini tidak dapat dijadikan
sebagai satu-satunya penggerak penantian, lantaran penantian seperti ini tidak
bersifat universal, tetapi hanya berlaku bagi madzhab tertentu saja. Ditambah
lagi dengan adanya berbagai tafsir yang berbeda dari teks yang sama yang
memperjelas adanya masalah dalam dilalah teks tersebut. Begiitu juga jika kita
meragukan hujjiyat (validitas) proposisi-proposisi mutawatir (yang mana
sebagian besar masalah-masalah keagamaan merupakan proposisi-proposisi
mutawatir) maka runtuhlah bangunan skriptualis sedari akarnya.
Perspektif terakhir adalah perspektif
rasional (aqli). Yaitu penantian yang didasari oleh dorongan akal. Akal yang
melahirkan keyakinan yang pasti dan tidak akan sirna. Dalam penantian ini,
penanti dengan argumentasi-argumentasi rasional mampu memahami hakikat
wujudnya, yaitu wujud yang meniscayakan penantian sebagai konsekuensi logis
dari derajat wujudnya dalam hirarki keberadaan (eksistensi). Penantian seperti
ini adalah penantian dan gerakan tanpa akhir karena yang dinanti adalah
kesempurnaan eksistensial (wujudi) yaitu kesempurnaan yang tak bertepi. Si
penanti terus menanti dan bergerak dengan gerak substansinya melintasi
level-level eksisitensial. Si penanti terus bergerak dan menanti
kesempurnaan-kesempurnaan eksisitensial yang berada di atasnya. Karena
penantian akan berakhir jika yang dinanti telah terwujud dan gerak akan
berhenti manakala tidak ada lagi yang dinanti. Namun jika yang dinanti adalah
kesempurnaan tanpa batas, maka penantian akan selalu ada dan gerak akan selalu
terjadi. Artinya, ketika manusia menemukan wujudnya berada dalam level terendah
eksistensi, ia akan menyadari bahwa terdapat kesempurnaan-kesempurnaan
eksistensial yang tidak ia miliki, atau ia miliki namun berada dalam level yang
rendah serendah kualitas wujudnya. Dengan ini ia rindu dengan
kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial yang berada di level atas hirarki eksistensi
dan berusaha untuk meraih kesempurnaan tersebut. Begitu kesempurnaan tersebut
diraih, ia akan segera menyadari bahwa masih ada kesempurnaan eksistensial lagi
yang berada di atas level wujudnya dan iapun bergerak tuk mencapainya, begitu
seterusnya hingga ia sampai pada kesempurnaan yang tak bertepi.
Sepintas nampak tidak ada perbedaan antara
penantian dari perspektif psikologis dan perspektif aqli, dimana keduanya tidak
menantikan pribadi tertentu, tetapi menantikan kenyamanan-kenyamanan diri tanpa
peduli siapapun yang memberikan kenyamanan tersebut. Namun jika ditelaah lebih
dalam, kedua perspektif ini tidak dapat disamakan. Perspektif pertama menanti
kesempurnaan psikologis, sedangkan yang kedua adalah kesempurnaan ontologis.
Yang pertama adalah kenyamanan emosional, sedang yang kedua adalah kenyamann
eksistensial. Yang pertama adalah kepuasan semu, dan yang kedua adalah kepuasan
hakiki. Yang pertama merupakan harapan seluruh hewan, yang kedua merupakan
impian khusus manusia. Kendatipun penantian dalam perspektif akal tidak mampu
menentukan mishdaq eksternal dari yang dinanti, namun akal mampu mengafirmasi
keniscayaan adanya sosok yang dinanti dengan argumentasi rasional (hal ini akan
dibahas dalam bahasan selanjutnya) dimana perspektif pertama tidak mampu
membuktikan hal ini. Setelah membuktikan keniscayaan adanya sosok yang dinanti,
penantian dalam perspektif ini akan sempurna jika disandingkan dengan
perspektif kedua (naqli) untuk melihat siapa mishdaq eksternal sosok tersebut,
siapa ayahnya, ibunya, datuknya, dan siapa namanya. Dengan demikian, penantian
dan sosok yang dinanti adalah hal yang niscaya dalam perspektif akal.
Bersambung ke bagian kedua:Tiga asas
penantian
Penulis: Alfit Syair (Mahasiswa Univ. Qum Iran)
Belum ada tanggapan untuk "FILSAFAT PENANTIAN : REFLEKSI TRAGEDI KARBALA (BAGIAN 1)"
Post a Comment