Penantian memiliki tiga asas; pengetahuan,
cinta, dan teladan. Ketiga asas ini merupakan satu kesatuan yang tidak dapat
dipisahkan dalam diri penanti sejati. Pengetahuan yang bersumber dari akal akan
melahirkan cinta dalam hati, cinta pada gilirannya akan menggerakkan penanti
untuk meneladani pribadi yang dinanti. Dengan kata lain, tindakan meneladani
merupakan perwujudan cinta, sedang cinta merupakan manifestasi pengetahuan.
inilah yang dimaksud dengan harmonisasi akal, hati dan amal, atau keselarasan
pikiran, perasaan dan tindakan. Filsafat sadra mengajarkan kita cara pandang
tauhid dan gradatif, yaitu paradigma yang melihat pluralitas sebagai unitas
(ketunggalan) yang bergradasi. Begitu juga dengan pengetahuan, cinta dan
teladan (baca tindakan meneladani) yang pada hakikatnya merupakan entitas yang
satu yang bergradasi. Wujud teladan dan wujud cinta pada hakikatnya merupakan
wujud pengetahuan dalam gradasinya masing-masing. Oleh karena itu, kualitas
pengetahuan memiliki efek terhadap kualitas cinta dan konsistensi keteladanan.
Pengetahuan yang komprehensif dan argumentatif (burhani) akan melahirkan cinta
permanen (kesetiaan cinta), dan kesetiaan cinta terwujud dalam konsistensi
meneladani yang dinanti.
Inilah yang dimaksud dengan taklid melek yang bersumber
dari cinta melek yang lahir dari pengetahuan argumentatif. Yaitu taklid yang
didasari oleh ketulusan cinta terhadap pribadi yang ditaklidi, dan ketulusan
cinta yang diperoleh dari keparipurnaan pengetahuan atas pribadi yang dicintai.
Hal ini dikarenakan pengetahuan yang komprehensif dan argumentatif akan
melahirkan ketundukan dan penyerahan akal, Puncak ketundukan akal akan turun
dan memaksa jiwa untuk tunduk dan menyerah pula hingga terbentuklah cinta.
Cinta yang didasari pengetahuan ini bagaikan bara api dalam hati yang memaksa
diri untuk menyerah dan tunduk hingga lahirlah kepasrahan total untuk mengikuti
(taqlid) dan membentuk diri serupa dengan yang dinanti dari setiap dimensi.
Setelah uraian pengantar di atas, tiba
saatnya kita mengkaji satu persatu dari tiga asas penantian dalam kaitannya
dengan imam Zaman dan tragedi karbala.
a. Asas
Pengetahuan
Penanti sejati adalah mereka yang mengetahui
dan mengenali siapa yang dinanti dan segala derivasinya yang dalam hal ini
adalah Imam Zaman; Mahdi Al-muntadzar. Mengenal Imam Zaman tak lepas dari
mengenal para nabi dan manusia-manusia suci sebelum beliau. Hal ini dikarenakan
beliau adalah pewaris para nabi dan manusia-manusia suci. Beliau adalah
pelanjut dan pengemban terakhir misi dan risalah kenabian. Inilah yang dimaksud
dengan slogan “muhammadiyatul huduts husainiyyahtul baqo, husainiyyatul huduts,
zainabiyyatul baqo. Zainabiyyatul huduts, mahdiyyatul baqo”. Namun, mahdiyyatul
baqo mesti ditopang dan disirami oleh keteladanan dan tangisan para
pengikutnya; keteladanan dan tangisan yang bersumber dari kecintaan dan
pengetahuan. Oleh karena itu, sebelum mengenal Al-mahdi, kita akan kembali
menengok kebelakang untuk mengenal manusia-manusia suci yang dalam kesempatan
kali ini kita cukupkan dengan mengenal Al-husain dan tragedi karbalanya, dan
lebih dispesifikkan lagi dalam dua topik utama yaitu mengenal pribadi Al-husain
dan mengenal luka dan deritanya.
Pribadi
Al-husain
Terdapat dua paradigma berbeda dalam mengenal
pribadi Al-husain dan karbala; paradigma materialis, dan paradigma ilahi.
Paradigma materialis mengenal Al-husain sebatas keturunan (nasabi) semata,
tidak lebih. Imam Husain adalah putra Ali dan Fatimah serta cucu Rasulullah Saw
yang tidak ada bedanya dengan putra dan cucu manusia-manusia lainnya. Sehingga,
mengikuti atau mengkhianatinya adalah hal yang sama dan wajar dalam panggung
kehidupan. Pengenalan nasabi ini hanya akan melahirkan inkonsistensi dan
perselingkuhan. Syimir mungkin dapat dijadikan tokoh penganut paradigma ini,
dimana ia mengenal Al-husain namun sebatas keturunan semata. Dengan ini ia
berani menjual Al-husain dengan jabatan yang ditawarkan Yazid. Si penjagal
kudisan itu sesaat sebelum memenggal kepasa suci Al-husain berkata:” engkau
(al-husain) adalah salah satu Imam, anak Ali bin Abi Tholib dan Fatimah Zahro
serta cucu Rasulullah Saw, tetapi jabatan dan harta lebih aku sukai ketimbang
dirimu”. Segelintir orang di Saqifah juga memandang Ali bin Abi Thalib dengan
pandangan materialis. Imam Ali bagi mereka tidak lebih dari manusia biasa, sehingga
memilih Abu Bakar atau mengikuti Ali bin Abi thalib sebagai khalifah bukanlah
hal yang berbeda. Keduanya merupakan sahabat nabi yang mulia.
Para orientalis, sebagaimana yang dilaporkan
seorang cendekiawan Kristen; Antoine Bara, juga menggunakan paradigma
materialis dalam melihat tragedi Karbala. Sehingga, dengan ini mereka hanya
melihat pedang-pedang yang berlumuran darah, tombak-tombak yang memerah,
kepala-kepala yang terputus dari badannya dan sisi-sisi afeksi dan
materialistik lainnya. Bagi mereka, pemeran tragedi Karbala, baik tokoh
protagonis maupun antagonis telah memerankan perannya dengan baik di pentas
Karbala. Tragedi Karbala tidak lebih dari kisah sejarah belaka yang dibacakan
kemudian terlupakan, tanpa menyisahkan visi-misi ideologis yang harus
ditanamkan dalam diri usai mengenang tragedi tersebut.
Berbeda dengan paradigma materialis,
paradigma ilahi memandang Al-husain sebagai wujud kebenaran yang tidak dapat
ditukar dengan apapun mesti nyawa sebagai taruhannya. Al-husain adalah ekstensi
manusia sempurna yang keniscayaan eksistensinya di setiap zaman dapat
dibuktikan dengan pendekatan rasional (seperti yang akan dijelaskan di bagian
asas cinta). Sehingga, bagi mereka yang ingin menapaki jalan hijrah dari
ketertawanan materi menuju kebebasan non-materi tidak akan mungkin rela menukar
Al-husain dengan materi. Hal ini dikarenakan dalam paradigma ilahi, Al-husain
adalah kopula yang menghubungkan manusia untuk mencapai
kesempurnaan-kesempurnaan eksistensial yang berada di level atas hirarki eksistensi.
Paradigma ini yang membuat segelintir sanak saudara dan sahabat tetap setia
mengikuti Al-husain di padang Karbala. Mereka konsisten dalam mengikuti
Al-husain lantaran kecintaan mereka kepada Al-husain; cinta yang lahir dari
pengetahuan yang benar dan komprehensif atas pribadi Al-husain.
Paradigma ilahi mencoba menguak sisi-sisi
maknawi dan transenden dari tragedi karbala. Tragedi karbala adalah kelas yang
mengajarkan nilai-nilai luhur yang universal, ideologi dan visi-misi yang tidak
dibatasi oleh golongan dan madzhab tertentu. Dengan ini, setiap manusia yang
memiliki paradigma ilahi akan mampu menangkap dimensi maknawi ini, lantaran
dimensi transenden tragedi Karbala hanya bisa disingkap dengan penalaran dan
perenungan-perenungan tanpa melibatkan perasaan dan afeksi psikologis.
Mengenang tragedi Karbala adalah proses meneladani dan membentuk diri menjadi
Al-husain dan para ksatria Karbala. Tokoh-tokoh kemanusiaan dunia seperti
Soekarno, Che Guevara, Gandi, Imam Khumaini dan lain-lain adalah pribadi-pribadi
yang mampu menangkap dimensi maknawi dan transenden dari tragedi Karbala yang
menyejarah ini.
Derita
Al-husain
Derita pada hakikatnya adalah kegelisahan
diri yang menuntut hadirnya penawar; baik kegelisahan fisik (derita fisik),
kegelisahan psikologis (derita jiwa) maupun kegelisahan filosofis (derita
pengetahuan). Disatu sisi, visi-misi merupakan formula-formula yang disusun
sebagai penawar derita dan kegelisahan diri. Artinya, realisasi visi-misi
merupakan penawar yang mengobati derita dan kegelisahan diri. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa visi-misi bersifat sekunder, sedang derita bersifat primer.
Dengan kata lain, visi-misi merupakan turunan dari derita. Yakni, kita harus
mengenal derita dan kegelisahan pada tahap pertama kemudian mengenal visi-misi
pada tahap selanjutnya. Hal inilah yang menyebabkan kami dalam tulisan
sederhana ini mencukupkan diri untuk menyingkap derita dan kegelisahan apa yang
mampu mengguncang jiwa agung manusia-manusia suci khususnya Al-husain.
Kendatipun dalam kandungan riwayat disebutkan
bahwa kita harus bahagia jika para mnausia suci bahagia, dan bersedih jika
mereka bersedih. Namun yang menjadi problem adalah benarkah kita sudah
mengetahui dengan benar kebahagiaan dan kesedihan mereka yang dengannya kita
harus bahagia dan bersedih? Benarkah kita merasakan kebahagian dan kesedihan
yang mereka rasakan? Ataukah kebahagiaan dan kesedihan kita justru berbeda
dengan kebahagiaan dan kesedihan mereka? Pertanyaan-pertanyaan semisal ini
semakin memperjelas urgensi telaah atas derita dan luka para manusia suci demi
terhindarnya kita dari tangisan dan kesedihan yang sia-sia. Sia-sia dikarenakan
kita menangisi derita dan luka yang tidak dirasakan oleh mereka. Kita menangisi
luka yang lain. Hal ini semakin kronis lantaran hal ni berimplikasi pada
kesalahan dalam memberikan obat penawar atas luka tersebut. Kesalahan obat
penawar akibat dari kesalahan dalam mendiagnosa jenis derita.
Al-husain adalah pribadi agung yang jiwanya
tidak lagi tertawan oleh raganya. Dengan ini, beliau mampu mengoperasionalkan
jiwanya tanpa butuh pada instrumen raga. Dengan kata lain, raga tidak lagi
memberikan efek pada jiwanya. Berbeda dengan jiwa-jiwa mayoritas dari kita yang
masih tertawan oleh raga, sehingga jiwa-jiwa kita masih butuh pada raga dalam
melakukan aktifitasnya. Terkadang jiwa kita juga terbebas dari kerangkeng raga
dalam melakukan aktifitasnya. Namun, kebesan tersebut tidak kita lakukan secara
sadar, melainkan dalam kondisi tidak sadar dimana kita sedang tertidur. Lain
halnya dengan jiwa Al-husain yang senantiasa terbebas dari pengaruh raga;
tertidur maupun terjaga. Dari uraian ini, jelaslah bahwa derita Al-husain bukan
derita fisik seperti sayatan pedang atau hujaman tombak. Jiwa Al-husain begitu
agung untuk merasakan derita-derita fisik. Derita dan luka yang mampu
mengalirkan air mata Al-husain adalah derita psikologis. Jiwa agung Al-husain
menangis menyaksikan kesesatan umat. Kesesatan yang lahir dari kebodohan.
Al-husain menderita melihat akal umat yang menjadi tawanan hati hingga mereka
tak mampu lagi mengenali Al-husain secara paripurna. Kegelisahan Al-husain
adalah rasa cemas atas kesesatan umat. Inilah derita dan kegelisahan Al-husain,
derita dan kegelisahan sosial. Derita dan kegelisahan yang harus kita rasakan
dan temukan solusi dan penawarnya. Bukan derita fisik yang kita sendiri tidak
tahu bagaimana cara mengobati luka tersebut. Bisa dikatakan perilaku qamezani
(melukai diri) adalah akibat dari kesalahan diagnosa atas derita Al-husain.
Mereka menyangka derita Al-husain adalah derita fisik sehingga mereka juga
melukai fisik sembari berharap bersama Al-husain dalam derita. Namun,
persangkaan hanyalah persangkaan, harapan tinggal harapan. Derita yang mereka
rasakan bukan derita yang dirasakan Al-husain. Derita yang mereka tidak rasakan
adalah derita yang dirasakan Al-husain.
Derita dan kegelisahan Al-husain adalah
derita dan kegelisahan manusia-manusia suci lainnya. Derita mereka satu,
kegelisahan mereka sama. Derita kanjeng Nabi Saw bukan derita kematiannya,
melainkan adanya visi-misi penyesatan umat yang dirancang sebagian oknum.
Kegelisahan kanjeng nabi bukan kegelisahan harta warisan yang akan
ditinggalkannya, beliau gelisah jika umat kembali kezaman kejahilan pasca
kepergiannya. Karena itu beliau berkata menjelang kematiannya umatku, umatku, umatku.
Derita dan kegelisahan Ali bukan derita luka akibat sabetan pedang yang tepat
di kepalanya, derita dan kegelisahannya lantaran kebodohan umat yang lebih
mengutamakan pemimpin yang dipilih manusia dan mengasingkan pemimpin yang
dipilih Tuhan. Derita Ali adalah derita kesendirian dan alienasi. Pada
akhirnya, derita dan kegelisahan pribadi yang dinantikan; Al-mahdi Al-muntadzar
bukan karena ia diincar untuk dibunuh para musuh-musuh Tuhan. Jiwa agung
Al-mahdi menderita dan cemas jika umat lantaran kebodohan, mereka tak mampu
mengenali kebenaran dan kebathilan. Pemilik Zaman ini gelisah jika umat tak
mampu mengenali beliau setelah kemunculannya. Sungguh manusia-manusia suci
sangat mencemaskan umatnya. Inilah derita manusia-manusia suci yang harus kita
berikan penawarnya sebagai bentuk ekspresi cinta dan tanggung jawab kita
sebagai pecinta dan penanti.
Bersambung ke bagian tiga: asas cinta dalam
penantian
Penulis: Alfit Syair (Mahasiswa Univ. Qum
Iran)
Belum ada tanggapan untuk "FILSAFAT PENANTIAN DAN REFLEKSI TRAGEDI KARBALA (BAGIAN 2) “TIGA ASAS PENANTIAN”"
Post a Comment