IMAM HUSAIN WUJUD PEMBUMIAN FILSAFAT

“Saya hidup ditengah-tengah orang miskin,
mati di tengah-tengah orang miskin,
dan kelak akan di bangkitkan
di tengah-tengah orang miskin”
-Rasul SAW

Para filsuf memulai jelajah belantara filsafat dengan melakukan eksplorasi daya nalar sebebas-bebasnya. Radikalisme pikiran menjadi ruh dalam  menempuh belantara filsaafat demi menemukan esensi filsafat yaitu kebenaran. Radikalisme nalar juga diharapkan mampu melepaskan manusia dari penjara  “gua alegori” ala Plato, atau terbebas dari detoksinasi “candu agama” ala Karl Max. Tampaknya sepanjang sejarah filsafat, terjadi fenomena  kontradiksi produk nalar yang diperlihatkan masing-masing filsuf. Para filsuf saling kritik terhadap pahaman filsuf lainnya, rekonstruksi dan dekonstruksi  pahaman tak terelakkan, syarah/komentar atas komentar pun senantiasa terjadi baik yang sifatnya konstruktif maupun  dekonstruktif. Kontradiksi produk nalar tersebut semakin mewarnai dinamika belantara filsafat. Gerbang awal filsafat bertemakan tentang alam/kosmosentris, para filsuf alam saling berdebat  dan memperlihatkan perbedaan pandangan dalam menafsirkan alam ini. Diawali dari kontradiksi tiga filsuf Miletus/Yunani yaitu Thales, Anaksimander, dan Anaksimenes. Thales misalkan menyatakan bahwa  segala sesuatu itu  berasal dari air, Anaksimander beranggapan bahwa  dunia ini berasal dari ‘sesuatu yang tak tertabatas , namun dia tak mampu menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan sesuatu yang tidak terbatas. Sedangkan menurut Anaksimenes alam ini berasal dari udara dan uap.

Kontradiksi tahap selanjutnya dipetontonkan oleh tiga filsuf besar Yunani yaitu Sokrates, Plato dan Aristoteles. Plato sebagai filsuf idealisme menyatakan bahwa realitas sesungguhnya ada di ’alam ide’, bahwa apa yang kita inderai saat ini hanyalah pantulan atau bayang-bayang dari apa yang ada di alam ide. Sedangkan menurut Realis  Aristoteles bahwa apa yang kita inderai saat ini adalah realitas sesungguhnya. Kontradiksi ini terus berlanjut sampai masa Rene Descartes, John Locke, David Hume, J.P Sartre dan sebagainya.

Pada tahap berikutnya (sekitar abad 17-19), para filsuf tidak lagi berbincang tentang tema  kosmosentris melainkan hal-hal yang menyangkut antroposentris. Mereka berpindah dari  perbincangan kosmos kepada  tema yang sifatnya paling sosiologis, tentang bagaimana melepaskan manusia dari perbudakan ekonomi dan belenggu kemiskinan. Kalau pada tahap awal melahirkan revolusi ilmu pengetahuan alam, maka pada tahap kedua memunculkan  gebrakan tentang cara mengubah dunia, sebagaimana yang dikatakan karl Max ”Philosophers have only interpreted the world, the point is to change it”. Para tokoh di tahap ini misalkan Karl Max, Max Weber, Adam Smith, Keyness, Ricardo, dll. Pada tahap ini pun juga tak lepas dari perbedaan dan pertentangan nalar, Karl Max mengatakan bahwa ‘infrastruktur’ yang mengubah suprastruktur, sementara Max Weber berpendapat sebaliknya bahwa suprastrukturlah yang mengubah infrastruktur.

Mari kita tinggalkan penjelajahan dibelantara filsafat barat dan melangkahkan kaki untuk menapaki  patahan-patahan sejarah Islam yang memperlihatkan pertarungan berdarah filsafat. Menurut Ali Syari’ati sejarah Islam juga dipenuhi fenomena kontradiksi yang berawal dari pertentangan filsafat Habilisme dan filsafat Qabilisme. Dua aliran ini senantiasa menghiasi rongga sejarah Islam secara berhadap-hadapan dalam berbagai wajah, meskipun dalam masing-masing zaman kedua kubu ini diselubungi samaran yang berbeda.Habilisme mengajarkan rasionalitas, sementara Qabilisme mengajarkan fallacy/kekeliruan berfikir. Habilisme membentuk masyarakat yang bertauhid, sosialis, dan adil, sedangkan Qabilisme membentuk masyarakat paganism, individualis dan timpang. Singkatnya Habilisme menjanjikan ‘cahaya’, sedangkan Qabilisme terpenjara dalam  ‘gua ‘yang gelap. Habilisme vs Qabilisme adalah manifesrasi dari pertentangan abadi antara kubu Tuhan (Habil) vs kubu Iblis (Qabil).

Tahap awal filsafat Habilisme diwakili oleh filosof besar yang tersucikan Muhammad SAWW (611-643 H) pada saat menerima wahyu pertama iqra, sebuah kata yang meskipun singkat namun ibarat anak panah yang terlontar jauh kedepan dengan membawa visi-misi intelektualisme dan kesyahidan. Sebuah visi yang menyatukan  antara tinta ulama dengan darah syuhada. Muhammad SAW adalah pemimpin kaum miskin dan komunitas tertindas dalam menghadapi para konglomerat dan elite Qurays dalam perjuangan mereka untuk menegakkan masyarakat yang bebas, penuh persaudaraan dan egaliter. Dikubu Qabilisme sendiri ada beberapa tokoh yang merupakan penentang utama ajaran Nabi diantaranya Abu jahal, Abu lahab, Abu sufyan dll. Mereka umumnya adalah para pembesar Qurays yang mengajarkan paganism yang diselubungi tendensi ekonomi.

Tahap berikutnya memperlihatkan pertentangan antara Imam Ali (Habil) vs Muawiyah (Qabil). Imam Ali berkata sekiranya kemiskinan itu berwujud, maka yang pertama kali kumusnahkan adalah sosok kemiskinan itu sendiri. Tekad ini dibuktikan dengan mempertontonkan kualitas keadilan yang menakjubkan selama masa pemerintahannya yang amat singkat. Sementara itu Muawiyah senantiasa menebarkan propaganda dan apologetika sebagai counter atas gerakan keadilan Imam Ali. Akhirnya pada suatu subuh didalam mesjid ketika beliau sedang sholat, seorang khawarij-Abdurrahman bin mulgjam- yang kehilangan rasionalitasnya lantaran termakan propaganda Muawiyah  menebas kepala Imam dari belakang, beliau tersungkur jatuh dengan darah yang bercucuran laksana pancuran, bukannya merintih, beliau justru mengucapkan ungkapan kemenangannya dengan berucap”Fustu wa rabbil ka’bah””Demi Tuhan pemilik ka’bah aku telah Berjaya”. Ketika sang penebas ditangkap dan diperhadapkan kepada Imam Ali yang terbaring sekarat dan berlumuran darah, ibarat tidak pernah terjadi apa-apa beliau memerintahkan kepada anaknya Imam Hasan ”Wahai anakku longgarkan tali yang mengikat tangan orang itu, dan berikan kepada dia makanan dan minuman seperti apa yang kita makan dan minum,”. Bahkan Imam menunjukkan kasih sayangnya kepada orang yang melukainya itu dengan memberikan ‘sisa susu’ yang diminummya sembari berkata “Minumlah susu ini, semoga Allah mengampunimu karena engkau telah melakukan perbuatan yang amat tercela”. Sungguh sebuah filsafat yang tidak bisa dijangkau rasionalitasnya oleh manusia biasa lantaran sudah mencapai tingkat suprarasional. Dengan syahidnya beliau, kita bisa mengatakan bahwa ”filsafat -filo shopia- yang bermakna ‘cinta kebijaksanaan’, benar-benar terinternalisasi/mewujud dalam diri Imam Ali”. Inilah tradisi pecinta Ali yang di warisi dari generasi ke genarasi yaitu ‘membalas keburukan dengan cinta’, ketika para pecinta ini mendapat cercaan serta umpatan dari luar (mazhab lain) mereka hanya mengatakan ”Ambillah kambing ini, semoga Allah mengampuni kalian karena telah melakukan perbuatan yang keliru dengan mencercah kami”.

Puncak filsafat Habilisme diajar dan di praktikkan oleh’raja Karbala’, Imam Husain. Beliau adalah oertautan dua darah filosof besar yaitu darah Rasul SAWW dan darah Imam Ali. Imam Husain bukanlah filsuf ‘asketik’ semisal Plato yang mengisi hari-harinya dengan menyendiri di dalam kamar dan menerbangkan jiwanya menuju ‘alam ide’, juga bukan filsuf ‘sekuler’ semisal Aristoteles yang sibuk mengurus alam ini (fisik) dan menafikkan alam ide (metafisik). Beliau juga bukanlah tipe Galileo-Galilei yang harus mencabut semua teori-teorinya dihadapan penguasa (tokoh Gerejawan), lebih jauh dari itu Imam Husain bukanlah filsuf alam yang hanya mampu menafsirkan dunia namun tak berdaya mengubah laju sejarah. Imam Husain adalah filosof besar yang malam harinya menempuh mikhraj ke alam ide (alam metafisik/immaterial), dan di siang harinya berkumpul ditengah-tengah masyarakat miskin. Beliau tidak hanya memiliki filsafat alam yang cemerlang, namun beliau juga mampu mengarahkan alam ini menuju kesempurnaan ciptaannya.

Bagi Imam Husain ketertindasan rakyat kecil bukanlah sekedar wacana yang diperdebatkan ditempat-tempat mewah dihadapan mata media oleh orang-orang yang perutnya buncit karena kekenyangan. Juga bukanlah ‘permen ideology’ untuk menggantikan posisi penindas. Bagi beliau ketertindasan adalah fakta sosiologis. Dan fakta disini bukanlah realitas yang jauh dari dirinya, melainkan realitas dimana dia sendiri hidup dan ada di dalamnya. Sehingga baginya melarikan diri dari realitas social seraya berpesta di istana-istana para elite adalah sebentuk hipokrisi, sebentuk eskapisme mental sambil menghibur diri dengan memamerkan ritual-ritual keagamaan/kesalehan individual.

Rasionalitas Imam Husain adalah perkawinan antara rasionalitas Descartes dan rasionalitas Smith, antara rasionalitas Abu dzar dengan rasionalitas Mulla Shadra. Imam Husain tidak hanya ingin membebaskan manusia dari kesalahan berpikir/candu agama Karl Max, tetapi juga sekaligus melenyapkan hegemoni dan dominasi pasar atas segelintir orang-orang yang berselingkuh dengan penguasa.

Imam Husain sebenarnya bisa hidup enak dan selamat dari pedang Yazid dengan sedikit menggunakan ‘eufemisme’ dan ‘apologetika’ untuk mengaburkan yang putih, sembari membungkuk-bungkuk dihadapan penguasa (Seperti yang dilakukan kebanyakan ulama dinegeri antah berantah ini), atau beliau bisa saja menghentikan kritikannya terhadap para ulama pendukung kekuasaan yang melacurkan diri kepada Yazid (sebagaimana yang dilakukan Galileo) untuk menyelamatkan nyawanya. Namun, Imam Husain tidak melakukan itu semua. Beliau ingin menunjukkan kepada manusia dan para filsuf bahwa antara yang rasional (haq) dan yang irasional (bathil) tidak bisa disatukan, bahwa antara yang ‘putih’ dan ‘hitam’ ada garis demarkasi yang jelas yang di ukir dengan darah suci beliau sendiri. Padang Karbala yang memerah darah pun semakin memperjelas antara yang ‘penindas’ dan yang ‘terrindas’, yang membuat setiap orang setelahnya harus memilih antara yang rasional  (Husainy) atau yang irasional (yazidy).

Di padang Karbala Imam Husain meneriakkan falsafah perjuangannya dengan berkata “In kana dinu Muhammad lam yastaqim illa bi saifi, faya suyufu khudzini….”Apabila agama Nabi Muhammad tidak bisa berdiri kecuali dengan merenggut nyawaku, maka wahai pedang-pedang terjanglah diriku….”. Filosof suci ini pun mengakhiri hidupnya di padang Karbala dengan begitu tragis serta dramatis melebihi tragisnya kematian Sokratez. Sokratez masih sempat membasahi tenggorokannya dengan menenggak racun cemara, sementara Husain tak setetes air pun yang mengaliri lehernya di tengah panasnya sahara karbala, sampai leher suci itu akhirnya terputus dari jasadnya. Inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.

Kesyahidan Imam Husain adalah fakta dan titah kakeknya Rasul SAW, dalam sabdanya ”Saya lahir di tengah-tengah orang miskin, mati di tengah-tengah orang miskin, dan kelak di bangkitkan di tengah-tengah orang miskin”. Filsafat Habilisme yang diajarkan beliau tidaklah terkubur bersama dengan syahadahnya di padang Karbala, justru dengan tumpahnya darah beliau, beliau berhasil membangunkan jiwa-jiwa yang terlelap dalam ketertindasan, dan ‘menginfuskan’ darah segar pada tubuh-tubuh yang sekarat di setiap generasi untuk bangkit melawan praktek-praktek penindasan/pembodohan di setiap zaman. Rasul SAWW, Imam Ali, dan Imam Husain boleh mati namun spirit dan semangat juang beliau-beliau senantiasa menggelora dan membakar seluruh eksistensi pecintanya, karena kematian mereka adalah ’Wujud pembumian filsafat/Islam’ yang di bangun diatas pemihakan terhadap hak-hak kaum miskin dengan ‘darah dan air mata’, sekaligus mampu menciptakan kader-kader yang siap bersimbah darah demi terciptanya cahaya kebenaran (ilmu pengetahuan).

Untuk mengakhiri tulisan yang sedikit ‘ngawur’ dan’ emosional’ ini kembali saya ingin mengutip harapan Muhammad Rusli Malik (sebenarnya sebagian besar tulisan ini merupakan produk nalar beliau he he) kepada setiap pengikut Imam Husain ;”Di suatu hari pecinta Imam Husain berada di tengah-tengah tumpukan buku, tapi di hari lain mereka berada di tengah-tengah orang miskin seraya mengulang-ulangi pertanyaan Nabi Muhammad SAWW setiap selesai sholat shubuh :”Siapakah di antara kalian yang hari ini punya anggota-anggota keluarga yang sakit?,siapakah di antara kalian yang hari ini kematian ?, dan siapakah di antara kalian yang hari ini tidak bisa makan?””.

“Revolusi ilahiah Imam Husain di padang karbala
senantiasa di tranformasikan ke setiap zaman 
dengan tangisan-tangisan di hari As-syuro”
-Imam khomaini

Ref;
-          Muhammad Rusli Malik “Darah Imam Husain, darah kebenaran, darah orang kecil”
-          Aly Syari’ati “Hurr”
-          Anne marie Schimmel
-          Listiyono santoso dkk ”Epistemologi kiri”
-          Jostein Gaarder “Dunia Shofie”
-          Jalaluddin Rakhmat “psikologi Agama”

Penulis: Alfit Syair (Mahasiswa Univ. Qum Iran)

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "IMAM HUSAIN WUJUD PEMBUMIAN FILSAFAT"

Post a Comment