“Saya hidup
ditengah-tengah orang miskin,
mati di tengah-tengah orang miskin,
dan kelak akan di bangkitkan
di tengah-tengah orang miskin”
-Rasul SAW
Para filsuf
memulai jelajah belantara filsafat dengan melakukan eksplorasi daya nalar
sebebas-bebasnya. Radikalisme pikiran menjadi ruh dalam menempuh belantara filsaafat demi menemukan
esensi filsafat yaitu kebenaran. Radikalisme nalar juga diharapkan mampu
melepaskan manusia dari penjara “gua
alegori” ala Plato, atau terbebas dari detoksinasi “candu agama” ala Karl Max.
Tampaknya sepanjang sejarah filsafat, terjadi fenomena kontradiksi produk nalar yang diperlihatkan
masing-masing filsuf. Para filsuf saling kritik terhadap pahaman filsuf
lainnya, rekonstruksi dan dekonstruksi
pahaman tak terelakkan, syarah/komentar atas komentar pun senantiasa
terjadi baik yang sifatnya konstruktif maupun
dekonstruktif. Kontradiksi produk nalar tersebut semakin mewarnai
dinamika belantara filsafat. Gerbang awal filsafat bertemakan tentang
alam/kosmosentris, para filsuf alam saling berdebat dan memperlihatkan perbedaan pandangan dalam
menafsirkan alam ini. Diawali dari kontradiksi tiga filsuf Miletus/Yunani yaitu
Thales, Anaksimander, dan Anaksimenes. Thales misalkan menyatakan bahwa segala sesuatu itu berasal dari air, Anaksimander beranggapan
bahwa dunia ini berasal dari ‘sesuatu
yang tak tertabatas , namun dia tak mampu menjelaskan apa yang dimaksudkan
dengan sesuatu yang tidak terbatas. Sedangkan menurut Anaksimenes alam ini
berasal dari udara dan uap.
Kontradiksi tahap selanjutnya dipetontonkan
oleh tiga filsuf besar Yunani yaitu Sokrates, Plato dan Aristoteles. Plato
sebagai filsuf idealisme menyatakan bahwa realitas sesungguhnya ada di ’alam
ide’, bahwa apa yang kita inderai saat ini hanyalah pantulan atau bayang-bayang
dari apa yang ada di alam ide. Sedangkan menurut Realis Aristoteles bahwa apa yang kita inderai saat
ini adalah realitas sesungguhnya. Kontradiksi ini terus berlanjut sampai masa
Rene Descartes, John Locke, David Hume, J.P Sartre dan sebagainya.
Pada tahap berikutnya (sekitar abad 17-19),
para filsuf tidak lagi berbincang tentang tema
kosmosentris melainkan hal-hal yang menyangkut antroposentris. Mereka
berpindah dari perbincangan kosmos
kepada tema yang sifatnya paling
sosiologis, tentang bagaimana melepaskan manusia dari perbudakan ekonomi dan
belenggu kemiskinan. Kalau pada tahap awal melahirkan revolusi ilmu pengetahuan
alam, maka pada tahap kedua memunculkan
gebrakan tentang cara mengubah dunia, sebagaimana yang dikatakan karl
Max ”Philosophers have only interpreted the world, the point is to change it”.
Para tokoh di tahap ini misalkan Karl Max, Max Weber, Adam Smith, Keyness,
Ricardo, dll. Pada tahap ini pun juga tak lepas dari perbedaan dan pertentangan
nalar, Karl Max mengatakan bahwa ‘infrastruktur’ yang mengubah suprastruktur,
sementara Max Weber berpendapat sebaliknya bahwa suprastrukturlah yang
mengubah infrastruktur.
Mari kita tinggalkan penjelajahan dibelantara
filsafat barat dan melangkahkan kaki untuk menapaki patahan-patahan sejarah Islam yang
memperlihatkan pertarungan berdarah filsafat. Menurut Ali Syari’ati sejarah
Islam juga dipenuhi fenomena kontradiksi yang berawal dari pertentangan filsafat Habilisme dan filsafat Qabilisme. Dua aliran ini senantiasa menghiasi
rongga sejarah Islam secara berhadap-hadapan dalam berbagai wajah, meskipun
dalam masing-masing zaman kedua kubu ini diselubungi samaran yang
berbeda.Habilisme mengajarkan rasionalitas, sementara Qabilisme mengajarkan
fallacy/kekeliruan berfikir. Habilisme membentuk masyarakat yang bertauhid,
sosialis, dan adil, sedangkan Qabilisme membentuk masyarakat paganism,
individualis dan timpang. Singkatnya Habilisme menjanjikan ‘cahaya’, sedangkan
Qabilisme terpenjara dalam ‘gua ‘yang
gelap. Habilisme vs Qabilisme adalah manifesrasi dari pertentangan abadi antara
kubu Tuhan (Habil) vs kubu Iblis (Qabil).
Tahap awal filsafat Habilisme diwakili oleh
filosof besar yang tersucikan Muhammad SAWW (611-643 H) pada saat menerima
wahyu pertama iqra, sebuah kata yang meskipun singkat namun ibarat anak panah
yang terlontar jauh kedepan dengan membawa visi-misi intelektualisme dan
kesyahidan. Sebuah visi yang menyatukan
antara tinta ulama dengan darah syuhada. Muhammad SAW adalah pemimpin
kaum miskin dan komunitas tertindas dalam menghadapi para konglomerat dan elite
Qurays dalam perjuangan mereka untuk menegakkan masyarakat yang bebas, penuh
persaudaraan dan egaliter. Dikubu Qabilisme sendiri ada beberapa tokoh yang
merupakan penentang utama ajaran Nabi diantaranya Abu jahal, Abu lahab, Abu
sufyan dll. Mereka umumnya adalah para pembesar Qurays yang mengajarkan
paganism yang diselubungi tendensi ekonomi.
Tahap berikutnya memperlihatkan pertentangan
antara Imam Ali (Habil) vs Muawiyah (Qabil). Imam Ali berkata sekiranya
kemiskinan itu berwujud, maka yang pertama kali kumusnahkan adalah sosok
kemiskinan itu sendiri. Tekad ini dibuktikan dengan mempertontonkan kualitas
keadilan yang menakjubkan selama masa pemerintahannya yang amat singkat.
Sementara itu Muawiyah senantiasa menebarkan propaganda dan apologetika sebagai
counter atas gerakan keadilan Imam Ali. Akhirnya pada suatu subuh didalam
mesjid ketika beliau sedang sholat, seorang khawarij-Abdurrahman bin mulgjam-
yang kehilangan rasionalitasnya lantaran termakan propaganda Muawiyah menebas kepala Imam dari belakang, beliau
tersungkur jatuh dengan darah yang bercucuran laksana pancuran, bukannya
merintih, beliau justru mengucapkan ungkapan kemenangannya dengan berucap”Fustu
wa rabbil ka’bah””Demi Tuhan pemilik ka’bah aku telah Berjaya”. Ketika sang
penebas ditangkap dan diperhadapkan kepada Imam Ali yang terbaring sekarat dan
berlumuran darah, ibarat tidak pernah terjadi apa-apa beliau memerintahkan
kepada anaknya Imam Hasan ”Wahai anakku longgarkan tali yang mengikat tangan
orang itu, dan berikan kepada dia makanan dan minuman seperti apa yang kita
makan dan minum,”. Bahkan Imam menunjukkan kasih sayangnya kepada orang yang
melukainya itu dengan memberikan ‘sisa susu’ yang diminummya sembari berkata
“Minumlah susu ini, semoga Allah mengampunimu karena engkau telah melakukan
perbuatan yang amat tercela”. Sungguh sebuah filsafat yang tidak bisa dijangkau
rasionalitasnya oleh manusia biasa lantaran sudah mencapai tingkat
suprarasional. Dengan syahidnya beliau, kita bisa mengatakan bahwa ”filsafat
-filo shopia- yang bermakna ‘cinta kebijaksanaan’, benar-benar
terinternalisasi/mewujud dalam diri Imam Ali”. Inilah tradisi pecinta Ali yang
di warisi dari generasi ke genarasi yaitu ‘membalas keburukan dengan cinta’,
ketika para pecinta ini mendapat cercaan serta umpatan dari luar (mazhab lain)
mereka hanya mengatakan ”Ambillah kambing ini, semoga Allah mengampuni kalian
karena telah melakukan perbuatan yang keliru dengan mencercah kami”.
Puncak filsafat Habilisme diajar dan di
praktikkan oleh’raja Karbala’, Imam Husain. Beliau adalah oertautan dua darah
filosof besar yaitu darah Rasul SAWW dan darah Imam Ali. Imam Husain bukanlah
filsuf ‘asketik’ semisal Plato yang mengisi hari-harinya dengan menyendiri di
dalam kamar dan menerbangkan jiwanya menuju ‘alam ide’, juga bukan filsuf
‘sekuler’ semisal Aristoteles yang sibuk mengurus alam ini (fisik) dan
menafikkan alam ide (metafisik). Beliau juga bukanlah tipe Galileo-Galilei yang
harus mencabut semua teori-teorinya dihadapan penguasa (tokoh Gerejawan), lebih
jauh dari itu Imam Husain bukanlah filsuf alam yang hanya mampu menafsirkan
dunia namun tak berdaya mengubah laju sejarah. Imam Husain adalah filosof besar
yang malam harinya menempuh mikhraj ke alam ide (alam metafisik/immaterial),
dan di siang harinya berkumpul ditengah-tengah masyarakat miskin. Beliau tidak
hanya memiliki filsafat alam yang cemerlang, namun beliau juga mampu
mengarahkan alam ini menuju kesempurnaan ciptaannya.
Bagi Imam Husain ketertindasan rakyat kecil
bukanlah sekedar wacana yang diperdebatkan ditempat-tempat mewah dihadapan mata
media oleh orang-orang yang perutnya buncit karena kekenyangan. Juga bukanlah
‘permen ideology’ untuk menggantikan posisi penindas. Bagi beliau ketertindasan
adalah fakta sosiologis. Dan fakta disini bukanlah realitas yang jauh dari
dirinya, melainkan realitas dimana dia sendiri hidup dan ada di dalamnya.
Sehingga baginya melarikan diri dari realitas social seraya berpesta di
istana-istana para elite adalah sebentuk hipokrisi, sebentuk eskapisme mental
sambil menghibur diri dengan memamerkan ritual-ritual keagamaan/kesalehan
individual.
Rasionalitas Imam Husain adalah perkawinan
antara rasionalitas Descartes dan rasionalitas Smith, antara rasionalitas Abu
dzar dengan rasionalitas Mulla Shadra. Imam Husain tidak hanya ingin
membebaskan manusia dari kesalahan berpikir/candu agama Karl Max, tetapi juga
sekaligus melenyapkan hegemoni dan dominasi pasar atas segelintir orang-orang
yang berselingkuh dengan penguasa.
Imam Husain sebenarnya bisa hidup enak dan
selamat dari pedang Yazid dengan sedikit menggunakan ‘eufemisme’ dan
‘apologetika’ untuk mengaburkan yang putih, sembari membungkuk-bungkuk
dihadapan penguasa (Seperti yang dilakukan kebanyakan ulama dinegeri antah
berantah ini), atau beliau bisa saja menghentikan kritikannya terhadap para
ulama pendukung kekuasaan yang melacurkan diri kepada Yazid (sebagaimana yang
dilakukan Galileo) untuk menyelamatkan nyawanya. Namun, Imam Husain tidak
melakukan itu semua. Beliau ingin menunjukkan kepada manusia dan para filsuf
bahwa antara yang rasional (haq) dan yang irasional (bathil) tidak bisa
disatukan, bahwa antara yang ‘putih’ dan ‘hitam’ ada garis demarkasi yang jelas
yang di ukir dengan darah suci beliau sendiri. Padang Karbala yang memerah
darah pun semakin memperjelas antara yang ‘penindas’ dan yang ‘terrindas’, yang
membuat setiap orang setelahnya harus memilih antara yang rasional (Husainy) atau yang irasional (yazidy).
Di padang Karbala Imam Husain meneriakkan
falsafah perjuangannya dengan berkata “In kana dinu Muhammad lam yastaqim illa
bi saifi, faya suyufu khudzini….”Apabila agama Nabi Muhammad tidak bisa berdiri
kecuali dengan merenggut nyawaku, maka wahai pedang-pedang terjanglah diriku….”.
Filosof suci ini pun mengakhiri hidupnya di padang Karbala dengan begitu tragis
serta dramatis melebihi tragisnya kematian Sokratez. Sokratez masih sempat
membasahi tenggorokannya dengan menenggak racun cemara, sementara Husain tak
setetes air pun yang mengaliri lehernya di tengah panasnya sahara karbala,
sampai leher suci itu akhirnya terputus dari jasadnya. Inna lillahi wa inna
ilaihi rajiun.
Kesyahidan Imam Husain adalah fakta dan titah
kakeknya Rasul SAW, dalam sabdanya ”Saya lahir di tengah-tengah orang miskin,
mati di tengah-tengah orang miskin, dan kelak di bangkitkan di tengah-tengah
orang miskin”. Filsafat Habilisme yang diajarkan beliau tidaklah terkubur
bersama dengan syahadahnya di padang Karbala, justru dengan tumpahnya darah
beliau, beliau berhasil membangunkan jiwa-jiwa yang terlelap dalam
ketertindasan, dan ‘menginfuskan’ darah segar pada tubuh-tubuh yang sekarat di
setiap generasi untuk bangkit melawan praktek-praktek penindasan/pembodohan di
setiap zaman. Rasul SAWW, Imam Ali, dan Imam Husain boleh mati namun spirit dan
semangat juang beliau-beliau senantiasa menggelora dan membakar seluruh
eksistensi pecintanya, karena kematian mereka adalah ’Wujud pembumian
filsafat/Islam’ yang di bangun diatas pemihakan terhadap hak-hak kaum miskin
dengan ‘darah dan air mata’, sekaligus mampu menciptakan kader-kader yang siap
bersimbah darah demi terciptanya cahaya kebenaran (ilmu pengetahuan).
Untuk mengakhiri tulisan yang sedikit ‘ngawur’
dan’ emosional’ ini kembali saya ingin mengutip harapan Muhammad Rusli Malik
(sebenarnya sebagian besar tulisan ini merupakan produk nalar beliau he he)
kepada setiap pengikut Imam Husain ;”Di suatu hari pecinta Imam Husain berada
di tengah-tengah tumpukan buku, tapi di hari lain mereka berada di
tengah-tengah orang miskin seraya mengulang-ulangi pertanyaan Nabi Muhammad
SAWW setiap selesai sholat shubuh :”Siapakah di antara kalian yang hari ini
punya anggota-anggota keluarga yang sakit?,siapakah di antara kalian yang hari
ini kematian ?, dan siapakah di antara kalian yang hari ini tidak bisa
makan?””.
“Revolusi
ilahiah Imam Husain di padang karbala
senantiasa di tranformasikan ke setiap
zaman
dengan tangisan-tangisan di hari As-syuro”
-Imam khomaini
Ref;
-
Muhammad
Rusli Malik “Darah Imam Husain, darah kebenaran, darah orang kecil”
-
Aly
Syari’ati “Hurr”
-
Anne marie
Schimmel
-
Listiyono
santoso dkk ”Epistemologi kiri”
-
Jostein
Gaarder “Dunia Shofie”
-
Jalaluddin
Rakhmat “psikologi Agama”
Penulis: Alfit Syair (Mahasiswa Univ. Qum Iran)
Belum ada tanggapan untuk "IMAM HUSAIN WUJUD PEMBUMIAN FILSAFAT"
Post a Comment