Sejak tadi dia berdiri di bawah pohon menatap
suasana sebuah warung. Ramai dengan senda gurau pengunjung dan wanita
berpakaian mini nelayani tamu. Kesenangan syahwat telah mengisi warung itu
sejak pertama berdiri hingga hari ini.
Namun apa yang ditatapnya bukanlah kesenangan
yang tersaji dalam warung, tapi sesosok wanita yang paling memikat matanya.
Nyaris setiap malam tak di lewatkannya untuk menatap dari jauh gadis paling
jelita di antara semua pelayan.
Namun geram dan jengkel langsung memenuhi
dadanya, ketika seorang laki-laki menuntun wanita yang terus ditatapnya
memasuki sebuah kamar. Diapun tahu apa yang akan berlaku dalam ruangan persegi
yang sangat di kutuknya.
Beberapa bulan lalu dia bertemu dengan wanita
yang setiap malam membuat mata dan tubuhnya terpaku. Pandangan mata yang menghanyutkan jiwanya saat pertama
bertemu tidaklah cukup. Dia harus tahu mengapa warung biadap dapat mengurung
seorang garis lugu.
Setelah pertemuan itu kuat keinginannya untuk
membawa si gadis keluar dari dunia kelam. Namun dia sadar tak akan pernah
berdaya untuk itu. Walau sudah banyak yang menjamah namun tak pula hatinya
bergeser.
Dia terus melangkah dalam gelap meninggalkan
tempatnya berdiri. Entah apa yang ingin dilakukannya, sesekali dia menatap
langit. Hatinya bergumam seakan mengharapkan sebuah keajaiban dapat turun
untuknya saat itu juga.
###
Malam, kursi untuk tamu telah berisi oleh
beberapa laki-laki. Siapapun dapat menebak julukan mereka, "lelaki hidung
belang". Secepatnya dia merasa wajah dan keluar dengan senyuman pada
setiap orang di ruang tamu. Langkahnya gontai menuju ke sebuah meja.
Tak menghitung menit, suasana begitu akrab.
Beberapa saat laki-laki yang semeja dengannya menuju meja lain, duduk bersama
wanita yang lebih tua. Entah apa yang di bicarakan oleh mereka, tapi dia sudah
tahu.
Lelaki itu kembali dan langsung menuntun
tangannya, menuju ke sebuah kamar. Dia tak menolak karena semua itu telah di
lakoninya, tanpa pernah tahu status dan siapa yang akan bersamanya malam itu.
Baginya penjara kelam itu telah menjadi bagian hidupnya.
Di sudut kamar, dia terduduk diam merapikan
lembaran uang. Dengan pakaian dan rambut yang sudah kurang rapi. Setitik cairan
bening turun mengaliri pipinya. Hatinya berbisik pelan "tak seharusnya aku
disini".
Uang kertas itu dimasukkan kedalam kantong
pakaiannya, dan dia berdiri dihadapan cermin. Diapun mulai muak dengan wajah
dan tubuhnya. Keluar dari kamar dia kembali menuju meja tamu, melayani lelaki
lain. Sesekali matanya menatap keluar ke gelap malam, berharap seseorang datang
membawanya pergi dari tempat itu. Ditatapnya sebuah pohon, lelaki yang tadi
dilibatkna menatap warung tak lagi berada disitu.
Setiap akhir bulan dia tahu, uang lembar demi
lembar harus dikirimnya. Tanpa pernah mengatakan asal muasal lembaran yang
dikirimnya.
Belum ada tanggapan untuk "'TUHAN' DI RUANG SANG PELACUR"
Post a Comment