Februari, setelah delapan tahun akhirnya
kembali kuinjakkan kaki di Soroako dan menatap birunya danau Matano. Sebelum
memasuki kecamatan Nuha yang terkenal sebagai daerah pertambangan nikel
terbesar di dunia, mataku dihibur oleh gunung-gunung berhutan lebat dan rapinya
barisan merica dengan tiang yang tingginya beragam. Siapa menyangka tanaman
yang ukuran bijinya hanya beberapa milimeter ini telah membuat kaya banyak
petani di Luwu Timur, hingga media Tribun Timur Online pernah memberitakan para
petani yang memiliki mobil Fortuner di dalam kebun. Sebuah bukti betapa kayanya
daerah ini selain tambang nikelnya yang mendunia.
Terletak di perbatasan tiga provinsi danau
Matano berada dalam wilayah Kec. Nuha Kab. Luwu Timur dengan predikat danau
terjernih dan terdalam se-Asia Tenggara. Pada bagian pinggir danau terdapat
beberapa tempat yang landai di mana masyarakat dapat bermukim, selain Soroako
dua desa lainnya Nuha dan Matano juga terletak di bagian landai danau, dan
beberapa kampung tua seperti To Taipa, Bure, Batu, dan One Moito.
Sebelum merica menjadi tanaman utama bagi
penduduk disekitar danau, coklat, kayu, dan cengkeh adalah tanaman penghasil.
Namun dalam beberapa tahun terakhir masyarakat mulai beralih ke merica. Jika
kita menyebrang danau Matano di awal tahun 2016 masih terlihat hijaunya
pinggiran danau dengan hutan dan semak belukar. Namun menjelang penghujung
tahun di pinggiran danau nyaris sudah terbuka lahan dengan barisan tiang
tanaman merica, bahkan menyentuh bibir danau.
Merica, bagi sebagian orang adalah tanaman
‘surga’ yang dapat menghasilkan puluhan juta sekali panen. Hanya dengan memetik
hasil setengah hektar saja dalam setahun seorang petani yang konsisten dapat
membeli sebuah mobil. Maka mulailah perlombaan membuka lahan dan menanam
tanaman ‘surga’ ini menggerogoti daerah perlindungan di danau Matano, mulai
dari gunung hingga ke bibir danau.
Dapat kita bayangkan jika sepanjang bibir
danau yang landai hanya di penuhi tanah yang tidak berumput kecuali tiang kayu
yang dililit merica. Kecamatan Nuha dengan ketinggiaan beberapa ratus meter di
atas permukaan laut, dan curah hujan yang cukup tinggi akan menyebabkan berbagai
dampak lingkungan pada ekosistem danau. Tanah berlumpur akan terbawa air hujan
bersamaan dengan zat kimia limbah pertanian, yang kemudian akan mengancam
kehidupan sejumlah hewan endemik danau Matano.
Beberapa tahun terakhir batas antara kawasan
hutan dan pemukiman menjadi masalah yang belum bisa terselesaikan. Seakan tak
ada ujung penyelesaian, Matano (18031,24 ha) dan Nuha (16372,74 ha) yang sebelum masa penjajahan telah menjadi
kampung masih dianggap kawasan hutan. Satu sisi masyarakat mesti menaati aturan
namun satu sisi mereka harus melanggar batas kawasan hutan untuk memenuhi
kebutuhan hidup. Konflik lahan yang berkepanjangan dengan pihak dinas kehutanan
daerah menjadikan masyarakat terkadang was-was dalam memanfaatkan lahan di
kampung mereka sendiri. Selain itu pemenuhan fasilitas, baik trasnportasi dan
listrik masih minim kedua desa tersebut (Matano dan Nuha).
Kondisi ini menjadikan masyarakat memiliki
mimpi kesejahteraan dengan menjatuhkan pilihan menjadi petani merica. Namun
untuk memperolehnya merambah kawasan hutan lindung adalah salah satu
pilihannya, karena tak ada lagi tempat lain. Merica yang menjanjikan kekayaan
ini juga menjadi perhatian orang-orang dari daerah lain. Terbukanya lahan dalam
skala besar memastikan akan lahirnya pemukiman baru, yang mau tak mau akan
mengambil sebagian kawasan hutan bukan hanya untuk berkebun, tapi juga menebang
pohon untuk kebutuhan membangun rumah dan membuat perahu. Selain itu
peningkatan limbah rumah tangga yang dibuang ke danau akan menjadi bagian dari
perusakan ekosistem danau.
Setelah dua danau lainnya (Mahalona dan
Towuti) telah terkikis oleh pertanian merica dan merusak ekosistem kedua danau,
maka bisa saja danau Matano akan menjadi yang ketiga. Saat pohon-pohon besar
yang menahan air dan longsor sudah tak ada lagi. Bahkan ancaman kekeringan
sejumlah mata air tampak di depan mata. Sejumlah masyarakat desa Nuha
menuturkan tentang mata air yang kering di desa mereka pada tahun 2015. Hingga
mengambil air danau untuk memenuhi kebutuhan menjadi pilihan warga.
Air danau yang hari ini jernih dan membiru
dengan hewan-hewan endemik yang tak mungkin di temukan di tempat lain, dalam
beberapa tahun kedepan akan berganti dengan air keruh kemerahan akibat dari
kikisan air hujan. Tak akan kita dapati hewan endemik yang menjadi salah satu
keunikan danau.
Akan sulit kita temui dasar danau yang
ditembus oleh sinar mentari. Pohon-pohon lebat dengan semak belukar yang selama
ini menahan kikisan air di tanah dan menghidupi sejumlah mata air akan berganti
dengan warna tanah dan tiang-tiang merica, kecuali di sekitar dinding-dinding
batu gunung dan pada punggungnya yang terjal. Bisa jadi hari ini merica adalah
berkah di sekitar danau Matano yang menghasilkan jutaan rupiah namun akan
menjadi bencana di masa akan datang karena rusaknya ekosistem danau.
Belum ada tanggapan untuk "Merica, Antara Berkah dan Ancaman Bencana"
Post a Comment