Sejarah Singkat Matano

Tulisan ini adalah hasil wawancara 
dengan sejumlah tokoh masyarakat
di desa Matano, 
informasi masih perlu di konfirmasi.
SEJARAH

Ket: Dusun Matano
Nama awal Matano adalah Raham Pu’u, Raham berarti rumah sementara Pu’u adalah pertama. nama Raham Pu’u menjadi nama kampung ketika seorang mendirikan rumah dan menetap di dekat sebuah mata air, yang oleh warga disebut dengan mata air burra-burra. Burra-burra dalam bahasa masyarakat berarti air mendidih atau air yang mengeluarkan gelembung udara. Penamaan ini karena mata air tersebut selalu mengeluarkan gelembung udara dan hal itu masih berlangsung hingga saat ini.

Matano sejak dulu dikenal sebagai daerah penghasil besi, selain untuk membuat senjata, besi yang dihasilkan masyarakat Matano juga diperjual belikan ke daerah lain.
Sejarah Matano dapat di bagi menjadi beberapa bagian:

 Mitologi/ Kerajaan
Ket: Mata Air Burra-burra dengan Batu di Tengahnya
Mata air Burra-burra di yakini warga sebagai tempat turun tujuh anak suku, pada bagian tengah mata air terdapat sebuah batu yang pada bagian atasnya pecah, di yakini sebagai tempat awal 7 orang tersebut turun ke bumi. Tujuh orang inilah yang kemudian menyebar melahirkan beberapa sukun di sejumlah daerah, yaitu:

1.              Bua dan Palopo
2.              Kolodale dan Bungku
3.              Bone dan Minangkabau
4.              Gowa
5.              Kendari
6.              Buton
7.              Ternate

Sebelum kedatangan Bangsa Eropa Matano selalu terlibat perang dengan kerajaan lain yang berasal dari Sulawesi Tengah, hal itu pula yang menyebabkan Matano dikelilingi benteng di masa lalu.  Masyarakat Matano khususnya laki-laki telah menjadi pasukan kerajaan di umur 17 tahun dan di latih menggunakan senjata.

 Penjajahan Bangsa Eropa
Pada awal tahun 1100-an orang Eropa yang pertama kali menginjakkan kaki di Matano adalah orang Jerman. Kedatangan orang Jerman ini ditandai dengan pembuat jalan dan mengumpulkan bebatuan Matano yang mengandung besi. Jalan tersebut diberi nama jalan Garama (Garama sebutan untuk orang Jerman). Ada dua akses jalan yang di buat pada saat itu, jalan yang menghubungkan Matano dan Soroako, Matano dan Bone Pute. 

Belanda adalah bangsa Eropa yang kedua menginjakkan kaki di Matano. Matano sebagai nama kampung untuk Raham Pu’u mulai dikenal pada masa penjajahan Belanda, karena terdapat sejumlah mata air di Matano. Seperti Mata air Burra-burra dan sejumlah sungai yang mengalir ke danau. Saat berada di Matano sejumlah jalan di bangun yang menghubungkan Matano dan Nuha di pinggiran danau dan sejumlah jalan lainnya yang menghubungkan Matano dan perkampungan lain. 

Pada masa itu Matano sebagai satu kerajaan yang di kelilingi benteng dan terdiri atas lima kampung, setiap kampung dipimpin oleh seorang Makole:

1.              Kampung Raham Pu’u                  : Makole Lapasau’ (Kampung Tertua)
2.              Kampung Lemogola                      : Makole Sompalea
3.              Kampung Gampucera                    : Makole Rumampue
4.              Kampung Lembara                        : Makole Labombo
5.              Kampung Mata Alu                       : Makole Makadeu

Ket: Makam Makole Makadeu
Setiap Makole memiliki petuga yang disebut dengan Mahola (setara dengan Dusun/ RT saat ini), yang mendampingi beberapa puluh warga. Selain itu terdapat pula petuga kerajaan yang di sebut dengan Papangara yaitu orang yang berkeliling kampung dengan berteriak untukmenyampaikan keputusan Makola pada masyarakat. Pada masa penjajahan Belanda terdapat tambahan Makole yang di sebut dengan Makole Pemerintah yang di tugaskan oleh pemerintah Belanda untuk mengontrol masyarakat namun tidak memiliki wewenang mengambil keputusan dalam masyarakat.

Masa perang antara kerjaan berakhir setelah kedatangan bangsa Eropa, kampung-kampung yang dulunya terpisah perlahan kembali menjadi satu yang bernama Raham Pu’u. Di masa lalu terjadi pengurangan penduduk Matano karena wabah penyakit. Hingga hanya Raham Pu’u saja bertahan sebagai pemukiman warga.

Sebagai daerah penghasil besi Matano memiliki banyak rumah pengrajin besi. Menurut salahsatu warga dulunya dipinggir danau terdapat lebih dari 70 rumah pengrajin besi, namun kerena kekhawatiran Belanda jika suatu saat besi-besi dibuat senjata maka keluarlah aturan pelarangan untuk para pengrajin besi. Dua senjata Matano yang berbentuk meriam yang di sebut Toringkoko di tenggelamkan di tengah danau dan Todo Boa kini tak di ketahui keberadaannya.

Penjajahan Jepang
Jepang tiba di Matano pada tahun 1942, dan berinteraksi dengan masyarakat. Di masa itu Jepang melatih masyarakat cara berperang dan membantu masyarakat mengolah pertanian.

Masa Kemerdekaan
Pada tahun 1950-1967 hanya ada pemerintahan distrik belum ada pemerintahan desa. Pada tahun 1968 Matano menjadi sebuah desa lengkap dengan dusun dan RT dan B.Al Ikhsan sebagai kepala desa. Setelah dua kali mengalami pergantian kepala desa pada tahun 1990 Nuha salah satu dusun Desa Matano mekar menjadi sebuah desa (definitif).  Pada tahun sebelumnya tahun 1989 untuk pertamakalinya Matano melakukan pemilihan kepala desa. Hingga saat ini Matano telah mengalami dua kali pergantian kepala desa.

Kondisi Penduduk dan Pemanfaatan Lahan
Ket: Dermaga Dusun Matano
Pada masa kerajaan masyarakat Matano sudah mengenal pertanian yang dilakukan dengan berpindah-pindah. Sekalipun perkampungan berada di dalam benteng namun berkebun berpindah tetap menjadi mata pencaharian masyarakat. Alasan pertanian yang berpindah-pindah karena masyarakat membutuhkan lahan yang subur untuk bercocok tanam. Hasil pertanian masyarakat pada masa itu adalah padi ladang, padi sawah, jagung, sayur mayur, buah buahan. Saat masih di bawah pimpinan Makole tanah yang menjadi wilayah kekuasaan Matano adalah tanah adat yang di manfaatkan dengan sebuah aturan “di dalam benteng untuk pemukiman dan di luar benteng untuk perkebunan”. Pada masa itu terdapat sebuah tradisi masyarakat yang di sebut dengan Teriso dalam Indonesia di sebut dengan Musyawarah, terdisi ini dilakukandalam sebuah rapat besar yang melibatkan seluruh masyarakat. Hal ini dilakukan pada masa awal menanam, ataupun kegiatan kampung lainnya.

Sejak masa kerajaan hingga tahun 2000-an masyarakat berkebun di pekebunan yang berada di bagian selatan kampung. Pada masa itu besi menjadi salahsatu barang yang diperjual belikan dengan daerah lain.

Pada masa Penjajahan bangsa Eropa kegiatan dan kehidupan masyarakat masih sama tetap hidup dengan ladang berpindah. Pada masa itu perdagangan sudah di kenal, damar dan rotan adalah komoditi utama yang diperjual belikan. Kursi rotan juga menjadi komoditi. Terbukanya akses jalan yang dibuat orang Belanda mulailah hewan seperti kerbau dan sapi diternak masyarakat. Selain itu kerbau juga dimanfaatkan untuk membajak sawah, kendaraan menarik kayu dan rotan serta mengangkut damar.

Sementara danau dimanfaatkan masyarakat untuk menangkap ikan Bottini dan gabus, kepiting danau, siput, dan tiram. Danau juga menjadi jalur transportasi perahu untuk menyebrang ke Soroako dan daerah persawahan dan perkebunan yang berada di pinggir danau danpegunungan.

Masyarakat Matano sangat terikat dengan Hutan, selain sebagai tempat mengambil kayu untuk membangun rumah dan membuat perahu ( Kaloju, Nato, Ponto, Ampunga, Petak, Kalapi, dan Bitti). Hutan juga menjadi tempat untuk mengambil damar dan rotan. Masyarakat juga sudah memanfaatkan aren untuk gula merah. Selain itu sagu juga menjadi konsumsi masyarakat yang tumbuh subur di sekitar pinggiran danau dan beberapa sungai.

Pada masa penjajahan Belanda sudah terdapat pelarangan untuk menebang hutan dan membakar padang rumput. Alasan pelarangan ini untuk menjaga sumber mata air dan pembakaran padang akan mengurangi jumlah hutan karena kebakaran hutan.

Pada masa penjajahan Jepang, masyarakat tetap hidup dengan berkebun dan berladang secara berpindah-pindah, damar dan Rotan tetap diperjual belikan. Pada masa itu terdapat perubahan cara bercocok tanam dan pemanfaatan lahan. Jepang melatih masyarakat bercocok tanam dengan menggemburkan tanah dan membuat bedengan untuk menanam sayur dan ubi. Sebelumnya cara bercocok tanam masyarakat hanya dengan membersihkan lahan dan membuat lubang unt5uk menanam sayuran dan ubi. Masa itu pula tanah di perkampungan yang dimanfaatkan untuk bercocok tanam di miliki secara komunal. Di mana masyarakat menanam bersama, memelihara dan hasilnya di bagi secara rata kepada seluruh masyarakat.

Pasca kemerdekaan pada tahun 1950-an pasukan DI/ TII memasuki Matano dan terjadi migrasi penduduk akibat gejolak sosial. Tahun 1964 Matano yang dikuasai pasukan DI/ TII harus mengungsi keluar kampung untuk menghindari kontak senjata. Pada saat itu penduduk Matano terdiri atas ±50 KK, menghuni sebuah pulau dan pada tahun 1965 mengungsi ke Soroako.

Tahun 1966-1967 Masyarakat Matano kembali ke kampung dengan penjagaan pasukan TNI dari Kodam Merdeka. Perpindahan Masyarakat Matano itu diikuti perpindahan masyarakat Bone Pute yang kemudian berpindah ke salahsatu tempat sejauh ±13 km dari Matano yang sekarang dikenal dengan Dusun Bonepute, masih berada dalam wilayah Desa Matano.

Tahun 1970-an penduduk Matano bertambah menjadi ±70 KK dan mulai hidup dengan berkebun menetap. Saat itu hutan di Matano sudah mulai berkurang. Komoditi masyarakat pada saat itu adalah coklat, kopi, sayuran, buah-buahan, padi sawah dan padi ladang. Sementara beternak sapi sudah dan kerbau masih dilakukan.

Ket: Perkebunan Merica Dusun Matano
Tahun 1980-an hingga tahun 2000-an penduduk Matano berjumlah ±100 KK. Seiring pertambahan jumlah penduduk dan aktifitas perusahaan hutan di desa Matano mulai berkurang karena ilegaloging. Bertani masih menjadi pencaharian utama masyarakat. Komoditi pada saat itu adalah padi ladang, padi sawah, coklat, kopi dan cengkeh. Pada masa itu kopi sudah mulai di tingggalkan masyarakat, karena kopi dalam kemasan membuat harga kopi jatuh dan berhektar-hektar kebun kopi berubah menjadi hutan.

Aturan pemerintah tentang hutan lindung telah membatasi akses masyarakat ke lahan perkebunan. Sejumlah kebun coklat dan sawah yang telah ada sejak dulu tetap di pertahankan masyarakat sebagai sumber kehidupan. Tahun 2014 hingga sekarang, lada (merica) menjadi tanaman utama masyarakat Matano, dan lahan untuk padi ladang mulai berkurang. Selain itu peternakan Sapi dan Kerbau mulai berkurang.

Penataan Pemukiman
Sejak masih terlindungi benteng telah berlaku aturan “di dalam benteng untuk pemukiman dan di luar benteng untuk perkebunan”. Ketika berstatus distrik pembagian lahan untuk perumahan di kampung Raham Pu’u telah dilakukan. setiap KK di beri lahan untuk membangun rumah. Tergantung dari kemampuan masyarakat membuat rumah kecil atau besar.

Tahun 1990 dengan adanya pertambahan penduduk, pemukiman baru di buka dan penataan pemukiman dilakukan. di buatlah jalan-jalan kapung dan setiap KK mendapatkan tanah seluas 20x20 untuk membangun rumah.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Sejarah Singkat Matano"

Post a Comment