"Senyum sumringah tergambar jelas pada
wajah Presiden Joko Widodo saat dua anak kambing dilahirkan di Istana Bogor.
Hampir semua kantor berita Indonesia mewartakan kabar gembira ini. Alasannya
jelas; tentu karena pemilik dua anak kambing ini, tidak main-main, adalah
Presiden Republik Indonesia sendiri" (Kutipan).
Dua anak kambing lahir menjadi liputan hampir
semua media, hanya karena milik seorang pejabat publik 01 di negara ini. Video
blognya pun disebar dan mendapat penonton ribuan dari masyarakat. Mungkin saja
kambing milik Presiden lebih penting dari ribuan Masyarakat Kendeng yang
menolak tambang semen dan sebagian yang menge-cor kaki mereka di depan kantor
kepresidenan dengan semen untuk menolak tambang semen seakan terlupakan.
Memang benar di era media saat ini pejabat
publik, selain sebagai pejabat saat bersamaan menjadi Buzzer di media utamanya
di jejaring sosial. Individu yang setiap perkataannya menjadi rujukan dan pusat
perhatian hingga bisa mengarahakan cara pandang orang lain.
Sebagai Buzzer, Presiden setiap unggahan
statusnya akan terlihat menarik dan menjadi pusat perhatian, bahkan untuk 2 anak
kambing yang dari kampung tak memiliki listrik hingga kota besar seperti
Jakarta adalah hal yang biasa saja. Tiba-tiba menjadi luar biasa dan terkenal
lewat pemberitaan bak artis dadakan. Dua anak kambing presiden inipun dalam
waktu singkat bias menggeser pandangan media nasional dan jutaan masyarakat
Indonesia yang awalnya melihat kasus Kendeng sebagai kasusnya besar, tioba-tiba
terkubur bergitu saja.
Jika melihat kelahiran dua ekor kambing dan
perjuangan masyarakat Kendeng yang menolak tambang semen hingga harus mengecor
kaki, maka layak kit bertanya pada media dan Presiden yang memiliki akun
pribadi. Apa pentingnya kelahiran dua ekor kambing bagi publik yang membaca dan
menonton berita tersebut? Kita tahu di manapun media/ wartawan akan senantiasa berkata
“kami bekerja untuk publik”.
Dari sini kita dapat melihat bukan hanya
agenda popularistas yang menjadikan media sebagai “senjata” mengelilingi
seorang Presiden. Tapi juga usaha mengalihkan citra buruk yang mulai menjadi
isu besar di tingkat nasional. Bagaimanapun Kendeng bukan masalah hanya pada
satu wilayah, sebagai daerah pegunungan yang menopang sumber kehidupan
masyarakat, mata air yang mengairi hektaran sawah, dan sumber air masyarakat
untuk kebutuhan, maka kasus kendeng adalah masalah yang butuh kebijakan dari
seorang Presiden. Sebuah kebijakan yang bias saja dibungkus untuk tujuan
populis namun yang lebih penting mencegah ancaman terhadap ribuan masyarakat
yang menggantungkan kehidupan pada alam.
Di tempatku sendiri nyaris ada kejadian
berbeda, namun secara konteks sama. Media menjadi alat kekuasaan untuk
propaganda. Seko, sebuah tempat yang terkenal dengan beras Taronenya menjadi
padi lokal yang di perhitungkan dalam program pemerintah kedepannya. Kasus Seko
yang beberapa waktu lalu menjadi isu hangat karena penolakan PLTA dan
penangkapan 14 petani, kini coba di tutupi dengan program pertanian tentang
pengembangan padi Lokal.
Sekalipun orang berkata bahwa hal itu tak
berkaitan tapi Seko kembali menjadi pusat perhatian dalam isu lain, sementara
masyarakat yang tetap bertahan menolak PLTA sama sekali nyaris tak mendapat
tempat agar pemerintah terlibat dalam penyelesaian kasus seko. Bahkan belum ada
kita media mengkaji akar masalah penolakan masyarakat terhadap PLTA. Selain
kehebohan karena pengungsian dan komentar-komentar pejabat public. Apatah lagi
mau menkaji sedalam-dalamnya dan melihat program itu memberi dampak baik lalu
mengkaji seperti apa analisis sosial dan lingkungan program itu?.
Hingga sudah semestinya kasus PLTA Seko adalah hal yang menjadi prioritas
utama sebelum program lain berjalan di Seko. Mungkin benar iya apa yang di
katakana dalam film True Story “kebanyakan media/wartawan hanya menulis apa
yang diinginkan pembaca, bukan mencari kebenaran apa yang terjadi”. Lebih parah
lagi jika untuk menutupi satu masalah dengan membangun pencitraan. Hingga
program ini tak ubahnya politik tontonan dan bacaan di media untuk melupakan
kasus PLTA Seko.
Palopo, 4 april 2017
Belum ada tanggapan untuk "Anak Kambing, Citra dan Laku Media "
Post a Comment