Kekerasan aparat kembali terjadi demi melancarkan aktivitas perusahaan, kali ini terhadap Perempuan Seko di Luwu Utara, Sulawesi Selatan. Sebanyak 7 perempuan diangkat dan dihempaskan ke tanah oleh aparat, dan ratusan perempuan lainnya terkena tembakan gas air mata karena bertahan mendirikan tenda dan pagar di lokasi pengeboran PLTA PT Seko Power Prima yang terletak di Kecamatan Seko Kabupaten Luwu Utara Propinsi Sulawesi Selatan. Rencana pembangunan PLTA oleh PT Seko Power Prima, dengan kapasitas 480 MW telah mengancam keberlanjutan hidup Masyarakat adat Seko khususnya Perempuan, yang sebagian besar masyarakatnya berprofesi sebagai Petani dan menggantungkan hidupnya dari hasil pengelolaan tanah pertanian dan perkebunan.
Penolakan Masyarakat Seko Tengah yang ada di Desa Tanamakaleang, Hoyane, dan Embonnatana yang juga merupakan wilayah adat Masyarakat adat Pohoneang dan Hoyane sudah berlangsung sejak tahun 2012 dan mulai mengemuka sejak tahun 2014. Pada waktu itu PLTA PT. Seko Power Prima sudah melakukan pengerjaan tanpa izin dari Masyarakat Adat Seko yang notabenenya pemilik tanah, tanah yang telah mereka kelola sejak turun temurun. Penolakan Masyakarat adat Seko di dasari dengan Perda No.12 Tahun 2004 tentang Perlindungan Masyarakat yang di Perkuat dengan SK yang di keluarkan oleh Bupati Luwu Utara No.300 Tahun 2004 tentang pengakuan Masyarakat Adat Seko, yang mana salah satu poinnya adalah setiap pemberian izin-izin pemanfaatan Sumber Daya Alam di Wilayah Masyarakat Adat Seko harus atas persetujuan Masyarakat adat Seko (Poin a Pasal 10). Selain itu, PLTA PT.Seko Power Prima telah melanggar Perda RTRW Kabupaten Luwu Utara Nomor 02 Tahun 2011.
Masyarakat melakukan penolakan antara lain dengan memblokade jalan masuk desa pada Agustus 2015 dan Mei 2016. Penolakan masyarakat disambut dengan kekerasan aparat. Puluhan Brimob dikerahkan untuk mengamankan aktivitas perusahaan. Intimidasi dan terror melanda kehidupan masyarakat, hingga warga terpaksa mengungsi masuk ke dalam hutan demi menghindari terror dan kejaran aparat, terutama warga laki-laki yang ditetapkan sebagai DPO. Bahkan pada Oktober 2016, 13 warga laki-laki ditangkap dan ditahan dengan tuduhan merusak fasilitas perusahaan, hingga akhirnya divonis 7 bulan penjara pada 27 Maret 2017. Ancaman dan kekerasan oleh aparat kepolisian kerap dialami oleh perempuan dan anak-anak di Seko Tengah. Sulitnya menjangkau wilayah ini, mendorong salah seorang perempuan untuk mengirimkan surat menceritakan kekerasan yang mereka alami. Untuk menjangkau wilayah ini diperlukan waktu selama kurang lebih 12 jam melalui perjalanan darat, dengan medan yang sulit dilalui dan tanpa sinyal telpon.
Dari hasil investigasi Solidaritas Perempuan Anging Mammiri bersama PPMAN menemukan bahwa, + 400 perempuan mendirikan tenda dan menempatinya yang tersebar di 10 titik pada kawasan tempat pengeboran PLTA, di wilayah Poririang dan Ratte. Hal itu dilakukan agar pihak perusahaan tidak melakukan pengeboran. Tanggal 2 Maret 2017, terjadi pemukulan terhadap perempuan petani yang berusaha menghentikan pengeboran di Kampung Ratte oleh aparat. Pada tanggal 27 Maret 2017, aparat kepolisian kembali hadir untuk mengawal aktivitas pengeboran di Kampung Poririang, aparat mengancam dengan menodongkan senjata, “kami duduk dan bertahan di sana, dan polisi datang dan bilang mau ditembak?, kami bilang tembak saja. Saya mau bertanya, apakah HAM memang sudah tidak berlaku? Bagaimana dengan kami, kami orang kecil, orang bodoh, jadi hak kami tidak dihargai disini?”, ungkap perempuan Seko. Aparat tetap memaksa membubarkan aksi penolakan dengan mengangkat dan menghempaskan ke tanah kepada 7 (tujuh) perempuan yang tetap bertahan dan berusaha menghentikan pengeboran. Tak cukup dengan itu, polisi menembakkan sebanyak 7 kali gas air mata. Dampaknya perempuan-perempuan yang melakukan aksi penolakan saat itu, merasakan pedis di sekitar mata, susah bernafas, dan tidak bisa melihat. Merekapun dengan terpaksa meninggalkan tenda-tenda dan kembali ke rumah masing-masing. Hingga saat ini, dampak dari gas air mata tersebut mengakibatkan beberapa perempuan yang terkena masih merasa badan lemah dan menggigil, mata bengkak-bengkak, mata rabun dan silau terhadap cahaya, batuk darah, berak darah, mencret, perut dan dada sakit, serta sesak nafas.
Masyarakat pun merasa terancam setiap saat, seperti yang diungkapkan seorang perempuan petani dari dusun Pohoneang “sejak masuknya PLTA kami merasa takut. Perasaan kami takut karena kalau tanah dirusak berarti kami tidak punya apa-apa lagi, karena kami ini hidup dari tanah. Karena petani mau dapat makanan darimana kalau bukan dari tanah, jadi itu mi yang membuat kami mau mempertahankan tanah kami” Tanah bagi masyarakat adat di Seko tidak hanya sebatas nilai ekonomi, tetapi memiliki nilai sosial-budaya dan spiritual. Membangun budaya gotong royong dengan saling membantu dalam mengolah tanah pertanian, namun sekarang terjadi konflik horizontal antar masyarakat. Intimidasi juga dialami oleh anak-anak sekolah ketika diketahui orangtuanya melakukan penolakan terhadap PLTA. Hingga saat rilis ini dikeluarkan, intimidasi masih dirasakan oleh Masyarakat Seko. Larangan berkumpul dan ancaman akan dilaporkan ke pemerintah, “kami selalu ditakut-takuti, kalau ada yang bicara akan ditangkap. Kalau ada perkumpulan yang menolak, pasti ada mata-mata”, ungkap salah satu perempuan Seko.
Terhadap situasi tersebut, Solidaritas Perempuan Anging Mammiri mengecam keras perampasan tanah yang di lakukan PT.Seko Power Prima untuk pembangunan PLTA yang telah melahirkan banyak Kekerasan terhadap Masyarakat adat khususnya Perempuan dan Anak. “Kekerasan dan kriminalisasi kerap terjadi dalam upaya mengamankan kepentingan investasi. Kekerasan yang dilakukan aparat terhadap Perempuan Seko adalah satu bentuk pelanggaran HAM oleh Negara. Negara seharusnya memberikan perlindungan terhadap masyarakatnya bukannya malah menindas rakyatnya. Pembangunan PLTA ini harus segera dihentikan karena telah merampas sumber kehidupan Masyarakat dan melanggar hak masyarakat adat. Kami juga menuntut Pemerintah untuk menjamin Rasa Aman Masyarakat yang telah menjadi korban kekerasan, terutamanya perempuan, termasuk dalam memastikan upaya pemulihan terhadap perempuan dan anak-anak dari trauma akibat kekerasan dan terror aparat yang terjadi.” Ungkap Nur Asiah, Ketua Solidaritas Perempuan Anging Mammiri.
Sumber: Solidaritas
Perempuan Komunitas Anging Mamiri
Jl. Jati No. 29 Panakkukang,
Makassar-Sulawesi Selatan
Telepon : 0411-440906, Email:
spangingmammiri@solidaritasperempuan.org
Belum ada tanggapan untuk "Solidaritas Perempuan Anging Mammiri Mengecam Keras Kekerasan Aparat terhadap Perempuan Seko yang Mempertahankan Tanah Kehidupannya"
Post a Comment