Siang
itu di sebuah gunung, seorang pemuda tampak menaiki motor di atas sebuah jalan
yang tak beraspal. Tampak jalan itu becek karena telah di guyur hujan, dengan
hati-hati di carinya bagian jalan yang tanahnya masih keras. Motornyadi hentikan
pada sebuah hamparan lahan yang masih di tumbuhi tanaman dan rumputnya yang
barutumbuh, cukup luas dalam hitungannya terdapat sekitar 30 ha.
Untuk
kali kedua dia mengunjungi tempat itu. Dulu dia dapat melihat diatas tanah
kosong itu terdapat beberapa rumah, tempat para pekebun membuka, membersihkan
dan menanam lahan. Tampak laki-laki baik tua dan anak-anak sibuk membersihkan
rumput. Wanita memetik sayur, dan rumah-rumah tampak berasap, menandakan
kehidupan manusia berjalan di tempat itu yang dulunya hanya diisi hewan dan
tumbuhan.
Namun
kini hal itu tak terlihat lagi kecuali satu rumah saja yang masih tertinggal. Tiga
minggu lalu dia masih ingat saat kamera yang selalu tergantung di lehernya
menjepret lahan dan aktifitas orang-orang itu secara sembunyi-sembunyi. Lalu dengan
sedikit basa basitanpa membuka identitas dia berbicara dengan seorang pekebun,
sembari sebuah alat rekam tersembunyi di balik kantong bajunya.
Dia
kembali dengan senang dan ada rasa bahagia karena usahanya membuahkan hasil. Penuh
semangat di tancap gas menuju kantornya, gambar-gambar di seleksi, hasil
rekaman di dengarkan, dengan keyboard computer jadilah sebuah berita yang akan
membuat lahan itu seperti yang sekarang ada di depan matanya.
Dapat
di tebak pemuda ini adalah seorang wartawan, yang tiga minggu lalu meliput
aktifitas masyarakat yang membuka lahan kawasan hutan lindung. Berita ini
begitu cepat menjadi buah bibir hingga akhirnya puluhan aparat keaamaman dari
kepolisian dan polisi kehutanan terjun “mengusir” mereka yang berkebun.
Motornya
di parkir di pinggir jalan, kamera dan semua peralatan untuk meliput berita di
simpan di sadel motor. Langkahnya pelan mendaki jalan setapak melewati
tanaman-tanaman dan bekas rumah yang ditinggal pergi pemiliknya. Dia akhirnya
sampai di sebuah rumah, pelan-pelan dia menaiki tangga.
“assalamu
alaikum..,“ katanya memberi salam.
“waalaikum
salam..,” jawab tuan rumah.
Tampak
langkah sedikit terburu-buru terdengar dari dalam rumah, menuju pintu. Dia melihat
seorang laki-laki yang seumuran dengannya, wajah itu taka sing seakan dia
pernah bertemu sebelumnya. Ya.., bertahun-tahun yang lalu saat dia masih berada
di bangku SMA. Beberapa detik mereka saling menatap hinggga akhirnya keduanya
tersenyum dan berjabat tangan. Mereka duduk di teras rumah dengan akrab.
“lama
sekali baru kita bertemu kawan” katanya pada pemilik rumah.
“iya,
kira-kira 15 tahun sejak tamat SMA, sekarang apa aktifitasmu?”
“saya
hanya kerja di kantor swasta, kamu masih seperti dulu tetap jadi petani?”
katanya balik bertanya
“kamu
beruntung bisa lanjut kuliah tak seperti saya” jawab pemilik rumah dengan
senyum tipis.
Tak
lama seorang wanita keluar membawa dua cangkir kopi. Wanita itu senyum tapi
raut mukanya tak bisa menyembunyikan beban kenyataan yang harus dia hadapi
dengan keluarganya. Tanah yang menjadi harapan dan miliknya selama tiga bulan kini
semua pupus tak jelas mau kemana. Tampak di pintu rumah tiga orang anak kecil
melihat kearahnya dengan sedikit ketakutan.
“kamu
berkebun di sini? Yang lain kemana? Saya lihat banyak bekas rumah dan tanaman?”
katanya pura-pura bertanya pada pemilik
rumah.
“semua
sudah di suruh pergi aparat keamanan katanya melanggar aturan” kata pemilik
rumah dengan sedikit melemas.
“ceritanya
bagaimana?” tanyanya lagi dengan sedikit serius.
Lima
bulan lalu seorang datang ketempatnya, menawarkan lahan satu setengah hektar dengan harga 20 juta. Dia tertarik dan
menghubungi teman-temannya yang lain. Dalam pikirannya dengan tanah seluas itu
ketika di kelola akan merubah kondisi keluarganya. Akhirnya gerobak es yang
selama ini jadi sumber kehidupan di jualnya untuk menebus lahan yang sekarang
menjadi tempat dia membangun rumah.
Sebelum
membayar tanah mereke bertemu dengan seorang pejabat daerah yang juga memiliki
lahan di tempat tersebut untuk meyakinkan. Akhirnya uang itu mereka serahkan,
sisanya di gunakan untuk membangun rumah dan modal untuk berkebun. Baru saja
mereka menikmati hasil kebun selama 3 bulan tiba-tiba datanglah aparat kemanan
mengusir mereka.
Dia
dan teman-temannya berusaha untuk menjelaskan jika tanah itu mereka beli dari
seseorang dan sudah bertemu seorang pejabat daerah bahwa tanah tersebut tak
bermasalah. Namun aparat keamanan datang dengan membawa surat dan peta hutan
lindung, barulah mereka tahu bahwatanah yang mereka beli beberapa bulan lalu
berada dalam kawasan hutan lindung.
Awalnya
mereka melakukan lobi untuk ganti rugi namun, tak di pedulikan. Hingga akhirnya
semua teman-temannya memilih untuk pergi hanya dia yang bertahan. Dia bertahan
dengan sebuah peringatan aparat yang memberi waktu selama 1 bulan untuk pindah
dari lahan tempat berkebun.
“begitulah,
saya tak punya apa-apa lagi tinggal rumah dan tanah ini, saya tak tahu tentang
aturan hutan lindung. Saya merasa tertipu tapi apa boleh buat semua sudah
terjadi, sulit saya meninggalkan tanah ini karena ini harapan saya dan saya tak
tahu mau kemana lagi” kata pemilik rumah
Dia
menatap pemilik rumah ada rasa bersalah dalam dirinya, rupanya kebanggaan yang
dia rasakan sebagai seorang wartawan dengan berita perambahan kawasan hutan
lindung telah mengorbankan sumber hidup banyak orang.
"lalu
apa rencanamu jika tiba waktunya aparat datang dan memaksa meninggalkan tempat
ini” tanyanya lagi pada pemilik rumah.
“saya
tak tahu, saya masih berharap mereka sedikit berbaik hati dan mengerti bahwa
kami di tipu dan dan memberikan sedikit biaya sebelum kami meninggalkan tempat
ini. Orang yang menipu kami entah di mana dan aparat tak percaya, pejabat yang
punya tanah itu juga tidak mendapat
masalah,padahal karena dialah kami datang kesini” kata pemilik rumah panjang
lebar.
Ditatapnya
pemilik rumah yang tak lain adalah teman lamanya sendiri, tampak tenang sembari
meminum kopi di gelasnya. Dia tahu betul kehidupan temannya yang satu ini,
seorang yang sejak dulu telah melewati pahitnya hidup. Dengan dua petak sawah yang
kecil orang tuanya harus mati-matian menyekolahkannya dan beberapa saudaranya. Sempat
temannya berniat berhenti sekolah dan ingin membantu orang tuanya. Namun hal
itu di tak terjadi karena guru dan teman-temannya membantu dia tetap sekolah.
Kini
dia kembali melihatnya menghadapi kenyataan hidup yang sulit, dan itu karena ulahnya
sebagai seorang pewarta. Melewati semua itu dia tahu bahwa temannya bukanlah
orang yang mudah menyerah terhadap keadaan.
“tunggu
saya di sini” katanya pada pemilik rumah.
Diapun
berjalan dengan cepat menuruni tangga menuju tempatnya memarkir motor. Dibuka sadel
moror dan mengambil sesuatu kembali berlari kearah rumah temannya.
“ambillah,
sedikit namun semoga bisa membantu” katanya kepada pemilik rumah sembari
mengarahkan sejumlah uang daalam genggamannya.
Pemilik
rumah tampak ragu, akhirnya dengan pelan di raih lebaran uang itu dan
diletakkan di atas meja. Dia diam menghela nafas panjang sembari berkata pelan “terimakasih
saudara”.
Tak
terasa sudah beberapa jam mereka bercerita tentang masa lalu, dan dua cangkir
kopipun habis. Dia berpamitan dan menjabat erat tangan temannya. Telapak tangan
yang sejak dulu memang kasar karena hidup yang kurang beruntung. Sebelum menuruni
tangga temannya bertanya “bisakah kau membantu saya agar saya dapat sedikit
keadilan?”
Dia
berdiri menatap temannya, tampak wajah tenang dan penuh harap menusuk batinnya.
Tersenyum tipis dijawabnya “saya akan usahakan”.
Berjalan
menuruni jalan setapak dia kembali ke motornya, sadel motor di angkatnya. Diantara
semua benda yang ada di dalam tampak sebuah koran, dengan judul berita hasil
karyanya yang terpampang di halam depan. Sebuah kebanggan baginya sebagai
seorang wartawan, namun kini dia merasa bersalah. Ingin rasanya koran itu di
buang jauh-jauh, walau dia tahu hal itu tak akan menyelesaikan masalah
temannya. Ada rasa sesal yang mendalam.
Dinaiki
motornya dan menatap rumah temanhya, tampak seorang laki-laki melambaikan
tangan dan di balasnya dengan lambaian pula. Dalam perjalanan sesal, kasihan,
sedih bercampur baur dalam hatinya, sembari terus berpikir tentang harapan yang
dititip padanya. Walau dia tahu sebuah berita akan kembali di buatnya, sebagai
hasil dari cerita panjang lebar temannya. Diapun bertanya dalam hati ‘mungkinkah
kebenaran harus mengorbankan kemanusiaan?”
Belum ada tanggapan untuk "Lahan dan Koran"
Post a Comment