Pada
8 Mei 2017 lalu, Pemerintah melalui Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum,
dan Keamanan Wiranto, mengumumkan akan mengajukan permohonan pembubaran
organisasi masyarakat, yaitu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ke pengadilan.
Alasan
Pemerintah membubarkan HTI adalah 1) HTI dinilai tidak mengambil bagian dalam
proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional, 2) Kegiatan HTI dinilai
bertentangan dengan tujuan, asas dan ciri yang berdasar pada Pancasila dan UUD
1945 dan 3) Aktivitas yang dilakukan HTI dinilai menimbulkan ancaman keamanan
dan ketertiban masyarakat serta membahayakan NKRI.
Bahwa
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang, dijamin oleh Pasal 28
UUD1945. Namun UUD1945 juga memberikan pembatasan dalam penggunaan Hak
sebagaimana diatur dalam Pasak 28 J ayat (2) bahwa dalam menjalankan hak dan kebebasannya,
setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan
undang-undang dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang
adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan
ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.
Hal
ini berarti bahwa, penggunaan Hak Atas Kebebasan berserikat dan berkumpul,
serta mengeluarkan pikiran secara lisan dan tulisan dapat dibatasi melalui
penetapan undang-undang untuk menjamin penghormatan atas hak dan kebebasan
orang lain, prinsip keadilan, pertimbangan moral, nilai agama, keamanan dam
ketertiban umum.
Indonesia
juga telah mengikatkan diri pada instrument hukum Internasional yang menjamin
Hak untuk berserikat, yaitu Konvenan Internasional Hak-Hak Sipil dan Politik
(International Covenant on Civil and Political Rights –ICCPR), yang telah
disahkan melalui Undang-Undang No 12 Tahun 2005. Konvenan ini mengharuskan
setiap Negara pihak menjamin Hak dan kebebasan setiap orang untuk berserikat
dengan orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung dalam serikat
pekerja untuk melindungi kepentingannya. Namun ICCPR juga mengatur tentang
pembatasan pelaksanaan atas Hak berserikat dengan ketentuan sebagai berikut:
“Tidak
diperkenankan untuk membatasi pelaksanaan hak (berserikat-red) ini, kecuali
yang telah diatur oleh hukum, dan yang diperlukan dalam masyarakat demokratis
untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik, ketertiban umum,
perlindungan kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan kebebasan
dari orang lain”
Konsitusi
Indonesia (UUD1945) dan ICCPR menunjuk hal yang sama, yaitu pembatasan Hak dan
kebebasan berserikat dapat dilakukan, namun harus diatur melalui hukum atau
peraturan perundang-undangan.
Indonesia
telah memiliki Undang-undang No 17 tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan
yang mengatur hak, kewajiban dan larangan serta sanksi bagi Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas). Sejumlah sanksi bagi Ormas nasional telah diatur dalam UU ini, yaitu sanksi
administrative, sanksi penghentian sementara, sanksi pencabutan Surat Keterangan
Terdaftar (SKT), sanksi pencabutan status Badan Hukum/pembubaran. Pemerintah
wajib memenuhi prosedur hukum dalam pemberian sanksi yaitu Sanksi penghentian
sementara dan pencabutan SKT dilakukan setelah memperoleh pertimbangan dari
Mahkamah Agung. Sedangkan sanksi pencabutan status Badan Hukum/pembubaran harus
prosedur putusan pengadilan.
Disamping
itu UU no 17/2013 juga mengatur sanksi dan prosedur pemberian sanksi bagi ormas
berbadan hukum yayasan asing atau sebutan lainnya dalam bentuk: peringatan
tertulis, penghentian kegiatan, pembekuan izin operasional, pencabutan izin
operasional, pembekuan izin prinsip, pencabutan izin prinsip; dan/atau sanksi
keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, yang
seluruhnya dapat dilakukan tanpa melalui prosedur pengadilan.
Sehubungan
dengan rencana Pemerintah membubarkan HTI, Koalisi Perempuan Indonesia
menyampaikan sebagai berikut:
1. Bahwa pada prinsipnya, instrument hukum
internasional, khususnya ICCPR dan Konstitusi Indonesia (UUD1945), membenarkan
tindakan negara/pemerintah melakukan pembatasan Hak dan Kebebasan berserikat,
sepanjang diatur oleh hukum dan diperlukan dalam masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan
keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan kesehatan dan moral umum,
atau perlindungan atas hak dan kebebasan dari orang lain.
2. Bahwa Indonesia memiliki Undang-undang
No 17 tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan yang mengatur hak,
kewajiban, larangan dan sanksi seta prosedur penerapan sanksi bagi Organisasi
Kemasyarakatan (Ormas). Oleh karenanya pembubaran HTI harus berdasarkan
Undang-undang No 17 tahun 2013 dan didukung oleh bukti-bukti yang meyakinkan.
3. Bahwa dalam memilih dan menerapkan
sanksi dan prosedur pemberlakuan sanksi, pemerintah harus bertindak sesuai
prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas, guna menghindarkan prasangka
buruk dan munculnya kekhawatiran berbagai organisasi akan adanya tindakan
pemberian sanksi terhadap organisasi secara sewenang-wenang oleh pemerintah.
4. Bahwa pemerintah berkewajiban
menerapkan prinsip persamaan kedudukan dimuka hukum. Oleh karenanya, sanksi
atau pembubaran tidak hanya ditujukan kepada HTI, melainkan juga kepada semua
organisasi yang membahayakan demokrasi, keamanan nasional dan ketertiban umum
serta mengancam hak dan kebebasan orang lain melalui berbagai bentuk ancaman
kekerasan dan tindakan kekerasan.
5. Bahwa penerapan sanksi terhadap HTI dan
organisasi lain sejenisnya, tidak dengan serta merta akan menyelesaikan atau
mengakhiri ancaman terhadap demokrasi, keamanan nasional, kemajemukan,
keselamatan publik dan ketertiban umum. Mengingat organisasi-organisasi
tersebut, telah secara terstruktur melakukan recruitment/penjaringan dan
ideologisasi terhadap berbagai kelompok masyarakat, antara lain: perempuan,
orang muda, remaja, anak-anak dan mahasiswa. Oleh karenanya, pemerintah harus
melakukan serangkaian upaya-upaya
kebudayaan dan pendidikan sebagai counter ideology merespon ideologisasi
yang telah terlanjur dilakukan oleh HTI dan organisasi sejenisnya.
6. Bahwa untuk menjamin keberlanjutan
demokrasi, penghormatan dan perlindungan Hak Asasi Manusia serta terwujudnya
kesetaraan dan keadilan gender dalam masyarakat yang majemuk dalam kerangka
Negara Kesaturan Republik Indonesia (NKRI), Koalisi Perempuan Indonesia dapat
menerima kebijakan pemerintah melakukan pembatasan Hak dan Kebebasan
berserikat, sepanjang dilaksanakan berdasarkan hukum dan prinsip-prinsip
transparansi, akuntabilitas dan non diskriminasi.
Demikian
pernyataan sikap Koalisi Perempuan Indonesia ini disampaikan dalam rangka
mendorong terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender menuju masyarakat yang
demokratis, sejahtera dan beradab.
Jakarta 10 Mei 2017
Dian Kartikasari
Sekretaris Jenderal
Belum ada tanggapan untuk "Pernyataan Sikap Koalisi Perempuan Indonesia tentang Pembubaran ORMAS HTI"
Post a Comment