Sebuah mobil kijang melaju menuju Palopo. Meliuk-liuk di atas jalan aspal hitam mendahului ratusan kendaraan bising dengan suara mesin dan klakson. Sesekali berhenti untuk antri menunggu lampu hijau menyala. Dalam hitungan menit saja Makassar yang panas, bising, dan penuh bangunan di tinggalkan.
Mobil melaju dengan seorang sopir dan beberapa penumpang termasuk aku. Seorang anak disampingku duduk tenang dengan jaket biru di tangannya. Aku menaksir umurnya baru sekitar 20 tahun atau bahkan lebih muda. Sebelah kiri adalah seorang ibu berbaju merah dengan seorang anak laki-laki yang baru berumur sekitar 3 tahun. Tepat di belakangku 3 anak yang dilihat dari postur tubuhnya masih seumuran anak SMP.
Laju mobil memasuki sebuah kabupaten yang terkenal dengan rotinya yang selalu jadi oleh-oleh sebagian orang ketika meninggalkan Makassar. Anak kecil disampingku tampak tenang tak bersuara di pangkuan ibunya. Aku berfikir anak ini akan mabuk, muntah, dan menangis dalam perjalanan ini.
Tak lama anak itu menumpukan kedua telapak tangannya pada sandaran kursi mobil dan meletakkan dahinya diatas telapak tangan. Pertanda ingin tidur, dia mmejamkan mata perlahan. Hingga akhirnya dia turun dari pangkuan ibunya bersandar di kursi dan tertidur pulas disampingku. Goyangan mobil dijalan tak rata seakan tidak mengganggunya.
Sesaat aku sadar, rupanya perkiraanku salah besar terhadap anak kecil ini. Hal yang aku bayangkan tak terjadi. Anak ini begitu mandiri tanpa tuntunan ibunya dia awalnya tidur dengan menyandarkan kepala di kursi depan hingga akhirnya turun dari pangkuan ibunya dan bersandar disamping hingga pulas tertidur.
Dalam hati aku merasa iri dan mengakui anak ini. Tak sedikitpun mabuk, tangis, dan keluhan keluar dari mulut dan gerakannya. Saya mengingat diriku saat masih remaja. Menaiki mobil hanya dengan jarak 40 km saja kepala dan perut sudah agak terganggu dan sedikit mengeluh pada orang tua. Jauh berbeda dengan anak yang disampingku. Tak mengeluh dan memilih sendiri apa yang harus dilakukan agar merasa nyaman. Aku iri kepadanya.
Mobil masih melaju melewati rumah-rumah, penamdangan gunung dan sawah, dan pinggir laut. Jalan 2 jalur akhirnya habis dan menyisakan 1 jalur saja. Tepat di jajaran warung pinggir laut sopir mamarkir mobilnya. Kami turun dan bersantai sejenak. Anak berjaket biru turun dengan 3 anak remaja tadi. Dia tersenyum dan duduk disamping diikuti 3 anak remaja temannya.
Hingga saya merasa harus mmebuka sedikit percakapan dengannya.
"La lako duka ki Belopa (apakah kamu mau keBelopa)" kataku
"Iye" jawabnya singkat
"Emba dingai torro jo Belopa (dimana kamu tinggal di Belopa)" tanyaku
"Saya ada 4 orang" jawabnya.
Aku terdiam karna jawabannya tidak sesuai dengan pertanyaanku. Saya memutuskan bertanya dengan bahasa Indonesia.
"Dimana tinggal di Belopa" tanyaku
"Di SMK 1 Belopa" jawabnya singkat
"Qt orang asli Belopakah.?" Kembali aku bertanya.
"Bukan, saya orang jeneponto sama ini 3 orang" dia menjelaskan.
"Apa di kerja di Belopa". Tanyaku kembali
"Mau kerja bangunan, jadi buruh" dia berkata sambil tersenyum tipis
Kuperhatikan 3 orang anak tadi. Saya berfikir seharusnya mereka sekolah bukannya menjadi buruh. Fikiranku melayang pada sebuah kabupaten di ujung selatan yang memang agak tandus. Sebagaimana informasi yang saya pernah dengar hampir sebagian penduduk laki-lakinya yang remaja, anak muda, dan orang tua selalu keluar daerah untuk membanting tulang menjadi buruh. Berharap pada daerah mereka untuk lembaran uang pada tanah yang kurang hujan sepertinya sedikit. Mereka lebih memilih keluar menjadi buruh kasar atau pekerjaan apapun asalkan dapat kerja dan tidak mengemis.
Rasa iriku kembali terbit. Kini bukan hanya pada anak kecil disampingku. Tapi juga pada 3 anak remaja yang duduk bersamaku. Mereka yang masih harus duduk di bangku sekolah dengan keceriaan bermain dan belajar harus mereka hilangkan. Bukan hilang tapi mereka memilih meninggalkan untuk alasan ekonomi. Mereka tampak gembira walau tahu akan berhadapan dengan batu, pasir, semen, dan kotornya bangunan. Melakukan semua hal itu dibawah terik kemarau.
Iri itulah perasaanku, anak sekecil mereka harus bersaing dengan kehidupan yang semakin keras, bersaing dengan batas target waktu selesainya bangunan. Meninggalkan kampung kelahiran dan kasih sayang orang tua. Salah menurutku tapi entah mau menunjuk pada siapa untuk kesalahan ini. Tunas bangsa seperti mereka harus memilih karna himpitan kebutuhan perut, bukan hanya untuk mereka tapi akan di bagi pada orangtua.
Saya kembali teringat saat seumuran dengan mereka. Kerja keras hanya disawah dan kebun. Bekerja di tanah sendiri tak keluar daerah karna masalah himpitan ekonomi. Aku iri karna anak-anak seperti mereka berani menantang keadaan dan melupakan kesenangan di umur remaja mereka. Terenggut pendidikan dan kesenangan masa anak-anak, namun mereka tetap tertawa.
Mesin menyala dan kembali melanjutkan perjalanan. Hingga sehabis magrib mobil memasuki wilayah Luwu. Dengan mengandalkan sebuah HP 4 anak itu menelpon paman mereka yang menunggu. Ibu yang berbaju merah bertanya padaku jarak menuju terminal Palopo. Sayapun dapat memperkirakan dia barukali ini menginjakan kaki di Palopo. Anak kecil di pangkuannya tetap tenang. Memeluk sebungkus snack.
Mobilpun singgah di depan SMK seorang anak remaja berteriak pada pamannya dengan tawa gembira. Mobil kembali melaju menuju rumahku yang tak jauh dari keempat anak tadi turun. Aku membayar biaya transfor tak lupa mengucapkan terimakasih atas kebaikan hati sopir. Kembali memasuki rumah yang sudah bertahun-tahun melindungi keluargaku. Aku masuk dan duduk di meja kamar untuk menulis rasa iriku dalam perjalanan.
Mobil melaju dengan seorang sopir dan beberapa penumpang termasuk aku. Seorang anak disampingku duduk tenang dengan jaket biru di tangannya. Aku menaksir umurnya baru sekitar 20 tahun atau bahkan lebih muda. Sebelah kiri adalah seorang ibu berbaju merah dengan seorang anak laki-laki yang baru berumur sekitar 3 tahun. Tepat di belakangku 3 anak yang dilihat dari postur tubuhnya masih seumuran anak SMP.
Laju mobil memasuki sebuah kabupaten yang terkenal dengan rotinya yang selalu jadi oleh-oleh sebagian orang ketika meninggalkan Makassar. Anak kecil disampingku tampak tenang tak bersuara di pangkuan ibunya. Aku berfikir anak ini akan mabuk, muntah, dan menangis dalam perjalanan ini.
Tak lama anak itu menumpukan kedua telapak tangannya pada sandaran kursi mobil dan meletakkan dahinya diatas telapak tangan. Pertanda ingin tidur, dia mmejamkan mata perlahan. Hingga akhirnya dia turun dari pangkuan ibunya bersandar di kursi dan tertidur pulas disampingku. Goyangan mobil dijalan tak rata seakan tidak mengganggunya.
Sesaat aku sadar, rupanya perkiraanku salah besar terhadap anak kecil ini. Hal yang aku bayangkan tak terjadi. Anak ini begitu mandiri tanpa tuntunan ibunya dia awalnya tidur dengan menyandarkan kepala di kursi depan hingga akhirnya turun dari pangkuan ibunya dan bersandar disamping hingga pulas tertidur.
Dalam hati aku merasa iri dan mengakui anak ini. Tak sedikitpun mabuk, tangis, dan keluhan keluar dari mulut dan gerakannya. Saya mengingat diriku saat masih remaja. Menaiki mobil hanya dengan jarak 40 km saja kepala dan perut sudah agak terganggu dan sedikit mengeluh pada orang tua. Jauh berbeda dengan anak yang disampingku. Tak mengeluh dan memilih sendiri apa yang harus dilakukan agar merasa nyaman. Aku iri kepadanya.
Mobil masih melaju melewati rumah-rumah, penamdangan gunung dan sawah, dan pinggir laut. Jalan 2 jalur akhirnya habis dan menyisakan 1 jalur saja. Tepat di jajaran warung pinggir laut sopir mamarkir mobilnya. Kami turun dan bersantai sejenak. Anak berjaket biru turun dengan 3 anak remaja tadi. Dia tersenyum dan duduk disamping diikuti 3 anak remaja temannya.
Hingga saya merasa harus mmebuka sedikit percakapan dengannya.
"La lako duka ki Belopa (apakah kamu mau keBelopa)" kataku
"Iye" jawabnya singkat
"Emba dingai torro jo Belopa (dimana kamu tinggal di Belopa)" tanyaku
"Saya ada 4 orang" jawabnya.
Aku terdiam karna jawabannya tidak sesuai dengan pertanyaanku. Saya memutuskan bertanya dengan bahasa Indonesia.
"Dimana tinggal di Belopa" tanyaku
"Di SMK 1 Belopa" jawabnya singkat
"Qt orang asli Belopakah.?" Kembali aku bertanya.
"Bukan, saya orang jeneponto sama ini 3 orang" dia menjelaskan.
"Apa di kerja di Belopa". Tanyaku kembali
"Mau kerja bangunan, jadi buruh" dia berkata sambil tersenyum tipis
Kuperhatikan 3 orang anak tadi. Saya berfikir seharusnya mereka sekolah bukannya menjadi buruh. Fikiranku melayang pada sebuah kabupaten di ujung selatan yang memang agak tandus. Sebagaimana informasi yang saya pernah dengar hampir sebagian penduduk laki-lakinya yang remaja, anak muda, dan orang tua selalu keluar daerah untuk membanting tulang menjadi buruh. Berharap pada daerah mereka untuk lembaran uang pada tanah yang kurang hujan sepertinya sedikit. Mereka lebih memilih keluar menjadi buruh kasar atau pekerjaan apapun asalkan dapat kerja dan tidak mengemis.
Rasa iriku kembali terbit. Kini bukan hanya pada anak kecil disampingku. Tapi juga pada 3 anak remaja yang duduk bersamaku. Mereka yang masih harus duduk di bangku sekolah dengan keceriaan bermain dan belajar harus mereka hilangkan. Bukan hilang tapi mereka memilih meninggalkan untuk alasan ekonomi. Mereka tampak gembira walau tahu akan berhadapan dengan batu, pasir, semen, dan kotornya bangunan. Melakukan semua hal itu dibawah terik kemarau.
Iri itulah perasaanku, anak sekecil mereka harus bersaing dengan kehidupan yang semakin keras, bersaing dengan batas target waktu selesainya bangunan. Meninggalkan kampung kelahiran dan kasih sayang orang tua. Salah menurutku tapi entah mau menunjuk pada siapa untuk kesalahan ini. Tunas bangsa seperti mereka harus memilih karna himpitan kebutuhan perut, bukan hanya untuk mereka tapi akan di bagi pada orangtua.
Saya kembali teringat saat seumuran dengan mereka. Kerja keras hanya disawah dan kebun. Bekerja di tanah sendiri tak keluar daerah karna masalah himpitan ekonomi. Aku iri karna anak-anak seperti mereka berani menantang keadaan dan melupakan kesenangan di umur remaja mereka. Terenggut pendidikan dan kesenangan masa anak-anak, namun mereka tetap tertawa.
Mesin menyala dan kembali melanjutkan perjalanan. Hingga sehabis magrib mobil memasuki wilayah Luwu. Dengan mengandalkan sebuah HP 4 anak itu menelpon paman mereka yang menunggu. Ibu yang berbaju merah bertanya padaku jarak menuju terminal Palopo. Sayapun dapat memperkirakan dia barukali ini menginjakan kaki di Palopo. Anak kecil di pangkuannya tetap tenang. Memeluk sebungkus snack.
Mobilpun singgah di depan SMK seorang anak remaja berteriak pada pamannya dengan tawa gembira. Mobil kembali melaju menuju rumahku yang tak jauh dari keempat anak tadi turun. Aku membayar biaya transfor tak lupa mengucapkan terimakasih atas kebaikan hati sopir. Kembali memasuki rumah yang sudah bertahun-tahun melindungi keluargaku. Aku masuk dan duduk di meja kamar untuk menulis rasa iriku dalam perjalanan.
Hehehe.
ReplyDeleteKeren nih kak.