Drama Hutan Gundul Mappetajang

Kasus perambahan hutan di Mappetajang Bastem Utara Kabupaten Luwu memang memprihatinkan. Wajar, di tengah isu global lingkungan menjadi prioritas, namun di balik itu ancaman bencana kian menghantui. Hilangnya hutan sebagai penopang beberapa aspek kehidupan menjadi indikasi sudah minimnya kepedulian terhadap fungsi hutan.
 
Bagi mereka yang tak sempat melihat langsung kondisi hutan maka media menjadi sumber untuk melihat perkembangan masalah ini. Namun saya sebagai salahsatu orang yang tak bisa melihat langsung di lapangan merasa tidak bisa langsung menerima semua informasi di media.

Polisi Penegak Hukum Tebang Pilih

Beberapa media telah memberitakan penangkapan pelaku ilegaloging. Tranding topic ini begitu besar bahkan hampir setiap hari tercetak. Ironis menurut saya ketika mereka yang di tangkap di persalahkan sepenuhnya, merekalah pelaku yang bersalah dan paling bertanggungjawab atas hilangnya hutan. Polisi telah menangkap dan masih memburu semua pelaku. Namun pernahkah ada ruang untuk mereka menjawab semua tuduhan terhadap mereka.

Sekali lagi ironis, ketika buruh dengan alat penebang yang di gaji harus menghadapi kenyataan pahit di balik jeruji besi. Mereka bekerja hanya untuk mendapatkan uang hidup dan menghidupi keluarganya kini harus menerima tuduhan yang bukan mereka dalangnya. Seakan saya teringat kritikan masa lalu “ketika pencuri ayam yang ingin mendapatkan makanan tertangkap mereka akan di hakimi, namun pejabat yang bersalah tetap di perlakukan seperti raja”.

Orang kecil yang tak faham hukum kecuali uang kehidupan, namun atas nama hukum untuk keadilan tak diperlakukan manusiawi. Adakah penegak hukum bertanggung jawab jika keluarga mereka kelaparan karna tulang punggung berada di balik jeruji besi. Pernahkah mata Polisi terbuka mencari penadah dari kayu-kayu hasil perambahan. PR pertama untuk polisi atas penegakan hukum yang tidak manusiawi dan diskriminasi.

Pejabat Dengan Citra Pembenaran

Masalah telah tercium pertengahan 2014. Akhir tahun masalah ini membesar, besar dikarnakan ada yang di tangkap. Ramailah semua mencari dan tunjuk menunjuk pelaku berujung pada orang kecil yang dikorbankan. Tanpa melihat Polhut yang menggunakan anggaran namun mubasir dan tak tersentuh apa-apa. PR kedua untuk polisi, dalang masih kabur namun yang bertanggung jawab bisa saja di curigai terlibat.

Untuk tahun 2015 di Luwu pengawasan terhadap hutan di anggarkan lebih dari 500 juta. Beberapa tahun belakangan hal sama telah ada. Kasus Mappetajang menguak semua anggaran ratusan juta pertahunnya dengan kendaraan trail yang mahal dan pejabat kehutanan yang gaji negara ternyata kecolongan. Entah mereka kecolongan atau pura-pura buta.

Hj. Basir Kadis Hutbun mengatakan “pertengahan tahun 2014 kami telah mengeluarkan surat untuk menghentikan perambahan”. Amat sederhana, anggaran ratusan juta pertahun untuk perlindungan hutan hanya di hargai dengan selembar kertas rekomendasi yang tak menyelesaikan masalah. Satu PR Pemda untuk evaluasi terhadap bawahannya.

“Padahal kalau pejabat naik motor tentu mereka lihat, karena lokasinya berada dipinggir jalan,” Baso anggota DPRD Luwu. Siapakah yang memperoleh singgungan tersebut. “Pejabat” kata yang harus di garis bawahi. Jelas sudah, siapa yang berani merabah dan siapa yang membiarkan. Pejabat yang selalu bahkan gemar menaiki gunung dengan motor segera dapat di ketahui. Pemandangan yang tak perlu jadi komentar ketika berkendara namun hutan gundul hanya angin berlalu seperti kepulan asap motor dan suara bising motor mereka yang bersumber dari uang rakyat. Mereka melihat namun mata hati yang buta.

Media dan Wartawan Sebagai Pembenar Mutlak

Ramai itulah kata yang tepat saat media memberitakan hutan yang di rambah. Namun kebenaran sebagai tujuan utama media selalu bersumber dari mulut-mulut sepihak. Polisi yang menangkap, Bupati Luwu yang meminta di tindak tegas, Dinas yang di konfirmasi, laksana Nabi/ Rosul yang benar setiap perkataannya hingga bisa di kitabkan.

Wartawan sebagai kerja moral kini lebih mempercayai konsep kebenaran yang di anggap berwenang, menutup mata terhadap manusia terpinggirkan. Jika saja bau perambahan telah tercium dan dengan hati nurani mereka yang hanya duduk sekedar menerima laporan diam betah dengan bau busuk perambahan, maka media lebih menebar bau. Bau pembenaran mereka yang ingin dicitrakan tegas dan bertanggung jawab. Seakan tak ada porsi bagi mereka yang ditangkap di hati, lensa, dan ukiran pena para wartawan. Satu PR untuk media, verifikasi sumber dan narasumber, tak membenarkan semua perkataan pejabat, dan keberpihakan pada orang terpinggirkan.

Drama, lengkap sudah pemain hutan gundul. Ada yang korbankan menjadi kambing hitam, ada yang merasa benar karna tak ingin dipersalahkan. Media sebagai bingkai menyenter pembaca dengan pembenaran dari mulut mereka saja yang dianggap. Wartawan tak lagi sebagai anjing pelacak peka terhadap rasa kemanusiaan, penulis dan pembaca berita setara dan sama hanya mendengar dan membenarkan. Pejabat dan aparat melontarkan ketegasan yang terlambat, benar dari segala sisi. Benar namun hanya pembenaran itulah drama hutan gundul Mappetajang.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Drama Hutan Gundul Mappetajang"

Post a Comment