"Evolusi, Revolusi, Reformasi, Restorasi = TERASI"
Bertanya kenapa endingnya harus bilang "Terasi, saya juga heran di
malam yang sepi dan sejuk tiba-tiba hal itu muncul dalam fikiranku.
Mungkin bisa dijelaskan sedikit walau akan di katakan "cocologi" atau
sekedar mencocok-cocokan.
Terasi siapa yang tidak kenal, apalagi untuk kita orang kampung yang
akrab dengan lauk makanan yang bernama sambal. Terasi menjadi pelengkap
rasa yang memiliki keistimewaan sendiri. Terasi sebagai bumbu memiliki
rasa dan aroma yang khas.
Namun tidak semua bisa merasakan terasi karna bumbu yang berwarna kadang tidak jelas ini membuat beberapa orang alergi. Ada yang makan lauk campuran terasi badannya langsung gatal, bahkan ada cerita seorang seniorku di organisasi inisial "L" hanya mencium baunya saja badan langsung gatal. Diapun pergi mencari terasi itu dan membuangnya jauh-jauh.
Evolusi, sebuah kata yang selalu di artikan perubahan secara lambat. Kata yang menjadi argumen bagi Darwin untuk membenarkan manusia berasal dari monyet. Munculnya teori ini langsung merubah khasanah pengetahuan alam dengan tanggapan berbeda. Lihatlah seperti bau terasi yang khas ada yang senang, ada yang bersikap independent, ada yang kaya' alergi langsung menyerang habis-habisan si bapak Evolusi. Pergerumulan para ilmuan dan kalangan agamawanpun terjadi laksana terasi dalam cobekan yang di olah dengan lombok, tomat, dll. Apa endingnya.? Sama-sama menikmati, ada yang membenarkan alias menikmati ada yang alergi menganggap itu hanya mengada-ada sampe mau main bunuh ada juga yang mencium baunya saja.
Revolusi, ini lebih keren karna kata ini dapat mengancam siapa saja. Seorang yang berusaha merevolusi dirinya maka mengamcam dirinya yang dulu, setelah itu berubah total. Revolusi sosial banyak terjadi di berbagai negara, pemerintahan yang tiran, absolut, monarki hampir semua tumbang oleh pekikan kata ini "Revolusi atau Mati".
Inipun seperti terasi, memiliki bau dan rasa yang khas dan sangat berpengaruh pada yang mengetahuinya. Lihatlah pasca Revolusi Prancis ramai-ramai negara Eropa mencoba mewujudkan falsafah tiga warna biru: kebebasan, putih: kesetaraan, merah persaudaraan. Sama juga dengan revolusi komunis dan sosialis karna berhasil menumbangkan penguasa maka banyak terpengaruh. Revolusi Islam Iran dengan pemikir-pemikir islam yang hebat juga memberi pengaruh. Seperti pengaruh terasi dengan bau dan aroma yang khas ada yang senang, ada yang biasa saja, ada yang gatal-gatal alias alergi.
Revolusi mampu menawarkan rasa baru pada tatanan masyarakat yang sudah jenuh dengan penguasa, revolusi dapat membuat alergi mereka yang masih mau mempertahankan kekuasaan dan orang-orang yang melihatnya kadang takut jika negera mereka tenang tiba-tiba terjadi revolusi. Sama takutnya orang yang makan, tapi selalu was-was jangan sampe ada campuran terasi.
Pasca revolusi ada yang bagi-bagi kue kekuasaan dan mempertahankan. Kini mereka yang alergi terhadap yang berbeda pandangan. Berusaha bertahan dan membuang jauh-jauh yang di anggap pengganggu.
Reformasi, ini sejarah yang keren dari para Mahasiswa kelas menengah di Indonesia menumbangkan Suharto sebagai presiden puluhan tahun di Indonesia. Hasilnya memang berubah negara ini, tapi orang-orangnya sama saja. Ini lebih parah hanya sekedar baunya saja seperti terasi. Sama halnya ketika tetangga membuat sambal terasi kita menciumnya tapi tak dapat memakannya. Reformasi kini dianggap gagal, masyarakat hanya menonton dari TV dan membaca dari koran peristiwa itu namun tak memahami apa itu Reformasi mereka menciumnya di media tapi tak merasakan dalam fikiran dan jiwa mereka. Parahnya pelaku Reformasi kini duduk di kursi kekuasaan dengan membuang nilai perjuangannya.
Mirip sekali dengan temanku, alergi dan mencari terasi sudah itu membuangnya jauh-jauh. Pelaku reformasi alergi dengan pemerintahan Suharto, mereka teriak mengamuk bagaikan orang kegatalan setelah itu mencari cara menumbangkan. Setelah dapat apa yang membuat alergi bau perjuangannya saat teriak di buang jauh-jauh kini mereka lagi menjadi terasi baunya bikin alergi para juniornya.
Restorasi, saya harus bilang ini sesuatu yang baru. Kata ini jarang terdengar kecuali saat di teriakkan oleh pemilik salahsatu TV di Indonesia. "Restorasi Indonesia". Aku fikir inipun seperti terasi, saat pertamakali di gemborkan semua jadi terpana karna ada sebuah ide baru memberi harapan pada bangsa ini. Namun saat berubah jadi partai banyak yang kecewa. Awalnya menikmati dengan menaruh harapan namun ketika tak konsisten banyak yang kecewa. Sambal sudah masuk perut jadi yang tertinggal hanya bau terasi saat bersendawa. Awalnya lembaga swada masyarakat yang memberi harapan pada masyarakat namun setelah di telan mentah-metah di mata dan berubah jadi Partai Politik harapan hanya tinggal bau terasi dan bunyi sendawa.
Parah lagi si Bapak Restorasi ini sangat alergi pada KPK, saat calon Polri BG terpilih dan ditersangkakan oleh KPK beliau ngotot BG harus di lantik. Kini bau restorasi menjadi tanda tanya, restorasi mengapa ngotot mau melantik tersangka korupsi jadi Kapolri. Sekali lagi terasi, kini ada yang alergi pada KPK dan mau menikamati sambal terasi permainan politik di atas cobek kekuasaan.
Lalu apalah kita ini masyarakat yang hanya nonton, diskusi, dan menanggapi. Alergi pada media, ada yang menikmati media, ada yang biasa-biasa saja. Maka kita sebagai orang kampung bagaikan menikmati terasi yang di siapkan ibu tercinta di atas meja makan. Mereka berebut kekuasaan diatas cobek terasi dengan rasa dan bau setrategi yang khas dan berbeda-beda. Entah dimana akhirnya. Watak asli kekuasaan ternyata ada banyak jenis memiliki cara, ide, tujuan yang berbeda alias khas. Seperti terasi dengan rasa dan aroma yang khas. Ada senang menikmati, ada alergi, ada yang seperti angin berlalu.
Apapun itu Evolusi, Revolusi, Reformasi, Restorasi = TERASI
Banyak lagi contoh terasi sosial seperti Kafirisasi, Bid'ahnisasi, Sesatisasi, semua bagai terasi ada yang toleran, ada yang cuek ada juga yang alergi sampe-sampe alergi bawa nama Tuhan, Rasul dan Neraka. Tuhan saja tidak alergi dengan orang-orang tak mengakui adanya Tuhan.
Namun tidak semua bisa merasakan terasi karna bumbu yang berwarna kadang tidak jelas ini membuat beberapa orang alergi. Ada yang makan lauk campuran terasi badannya langsung gatal, bahkan ada cerita seorang seniorku di organisasi inisial "L" hanya mencium baunya saja badan langsung gatal. Diapun pergi mencari terasi itu dan membuangnya jauh-jauh.
Evolusi, sebuah kata yang selalu di artikan perubahan secara lambat. Kata yang menjadi argumen bagi Darwin untuk membenarkan manusia berasal dari monyet. Munculnya teori ini langsung merubah khasanah pengetahuan alam dengan tanggapan berbeda. Lihatlah seperti bau terasi yang khas ada yang senang, ada yang bersikap independent, ada yang kaya' alergi langsung menyerang habis-habisan si bapak Evolusi. Pergerumulan para ilmuan dan kalangan agamawanpun terjadi laksana terasi dalam cobekan yang di olah dengan lombok, tomat, dll. Apa endingnya.? Sama-sama menikmati, ada yang membenarkan alias menikmati ada yang alergi menganggap itu hanya mengada-ada sampe mau main bunuh ada juga yang mencium baunya saja.
Revolusi, ini lebih keren karna kata ini dapat mengancam siapa saja. Seorang yang berusaha merevolusi dirinya maka mengamcam dirinya yang dulu, setelah itu berubah total. Revolusi sosial banyak terjadi di berbagai negara, pemerintahan yang tiran, absolut, monarki hampir semua tumbang oleh pekikan kata ini "Revolusi atau Mati".
Inipun seperti terasi, memiliki bau dan rasa yang khas dan sangat berpengaruh pada yang mengetahuinya. Lihatlah pasca Revolusi Prancis ramai-ramai negara Eropa mencoba mewujudkan falsafah tiga warna biru: kebebasan, putih: kesetaraan, merah persaudaraan. Sama juga dengan revolusi komunis dan sosialis karna berhasil menumbangkan penguasa maka banyak terpengaruh. Revolusi Islam Iran dengan pemikir-pemikir islam yang hebat juga memberi pengaruh. Seperti pengaruh terasi dengan bau dan aroma yang khas ada yang senang, ada yang biasa saja, ada yang gatal-gatal alias alergi.
Revolusi mampu menawarkan rasa baru pada tatanan masyarakat yang sudah jenuh dengan penguasa, revolusi dapat membuat alergi mereka yang masih mau mempertahankan kekuasaan dan orang-orang yang melihatnya kadang takut jika negera mereka tenang tiba-tiba terjadi revolusi. Sama takutnya orang yang makan, tapi selalu was-was jangan sampe ada campuran terasi.
Pasca revolusi ada yang bagi-bagi kue kekuasaan dan mempertahankan. Kini mereka yang alergi terhadap yang berbeda pandangan. Berusaha bertahan dan membuang jauh-jauh yang di anggap pengganggu.
Reformasi, ini sejarah yang keren dari para Mahasiswa kelas menengah di Indonesia menumbangkan Suharto sebagai presiden puluhan tahun di Indonesia. Hasilnya memang berubah negara ini, tapi orang-orangnya sama saja. Ini lebih parah hanya sekedar baunya saja seperti terasi. Sama halnya ketika tetangga membuat sambal terasi kita menciumnya tapi tak dapat memakannya. Reformasi kini dianggap gagal, masyarakat hanya menonton dari TV dan membaca dari koran peristiwa itu namun tak memahami apa itu Reformasi mereka menciumnya di media tapi tak merasakan dalam fikiran dan jiwa mereka. Parahnya pelaku Reformasi kini duduk di kursi kekuasaan dengan membuang nilai perjuangannya.
Mirip sekali dengan temanku, alergi dan mencari terasi sudah itu membuangnya jauh-jauh. Pelaku reformasi alergi dengan pemerintahan Suharto, mereka teriak mengamuk bagaikan orang kegatalan setelah itu mencari cara menumbangkan. Setelah dapat apa yang membuat alergi bau perjuangannya saat teriak di buang jauh-jauh kini mereka lagi menjadi terasi baunya bikin alergi para juniornya.
Restorasi, saya harus bilang ini sesuatu yang baru. Kata ini jarang terdengar kecuali saat di teriakkan oleh pemilik salahsatu TV di Indonesia. "Restorasi Indonesia". Aku fikir inipun seperti terasi, saat pertamakali di gemborkan semua jadi terpana karna ada sebuah ide baru memberi harapan pada bangsa ini. Namun saat berubah jadi partai banyak yang kecewa. Awalnya menikmati dengan menaruh harapan namun ketika tak konsisten banyak yang kecewa. Sambal sudah masuk perut jadi yang tertinggal hanya bau terasi saat bersendawa. Awalnya lembaga swada masyarakat yang memberi harapan pada masyarakat namun setelah di telan mentah-metah di mata dan berubah jadi Partai Politik harapan hanya tinggal bau terasi dan bunyi sendawa.
Parah lagi si Bapak Restorasi ini sangat alergi pada KPK, saat calon Polri BG terpilih dan ditersangkakan oleh KPK beliau ngotot BG harus di lantik. Kini bau restorasi menjadi tanda tanya, restorasi mengapa ngotot mau melantik tersangka korupsi jadi Kapolri. Sekali lagi terasi, kini ada yang alergi pada KPK dan mau menikamati sambal terasi permainan politik di atas cobek kekuasaan.
Lalu apalah kita ini masyarakat yang hanya nonton, diskusi, dan menanggapi. Alergi pada media, ada yang menikmati media, ada yang biasa-biasa saja. Maka kita sebagai orang kampung bagaikan menikmati terasi yang di siapkan ibu tercinta di atas meja makan. Mereka berebut kekuasaan diatas cobek terasi dengan rasa dan bau setrategi yang khas dan berbeda-beda. Entah dimana akhirnya. Watak asli kekuasaan ternyata ada banyak jenis memiliki cara, ide, tujuan yang berbeda alias khas. Seperti terasi dengan rasa dan aroma yang khas. Ada senang menikmati, ada alergi, ada yang seperti angin berlalu.
Apapun itu Evolusi, Revolusi, Reformasi, Restorasi = TERASI
Banyak lagi contoh terasi sosial seperti Kafirisasi, Bid'ahnisasi, Sesatisasi, semua bagai terasi ada yang toleran, ada yang cuek ada juga yang alergi sampe-sampe alergi bawa nama Tuhan, Rasul dan Neraka. Tuhan saja tidak alergi dengan orang-orang tak mengakui adanya Tuhan.
Belum ada tanggapan untuk "Inilah "TERASI""
Post a Comment