KEADILAN YANG BISU DAN SEPI

Sebidang sawah kini kembali basah berlumpur, tampak 2 pemuda beristirahat di pematang. Itulah Arman dan Armin dua kakak beradik pemilik sawah yang luasnya hanya 40 x 20 meter persegi warisan orang tua mereka. Beberapa tahun lalu orang tua mereka wafat karena sakit dan tak ada biaya untuk berobat. Kini dua kakak beradik itu untuk makan dan memenuhi kebutuhan mengandalkan sebidang tanah itu disamping kerja serabutan. Kerja apa saja asal tidak mengemis dan bisa makan yang halal. Kadang mereka menjadi kuli bangunan bahkan menggarap lahan warga lain.
 
Dua pemuda kurus itu tampak semangat memandang sawah mereka yang kini siap untuk ditanam padi. Arman yang sulung berumur 20 tahun adiknya Armin 18 tahun. Lama duduk di pematang Arman melirik pada adiknya yang tampak membersihkan cangkul dari lumpur yang mengering dan memberi nasehat pada adiknya.
"Ingat dik, 6 tahun lalu ayah wafat dan beberapa bulan kemudian ibu menyusul tanah ini adalah warisan mereka yang berharga selain didikan dan budi pekerti yang mereka ajarkan pada kita" kata Arman.
"Saya masih kecil waktu itu kak, walau sudah mengerti yang namanya mati, lalu apa pesan ayah dan ibu dulu?" Tanya Armin.
"Ibu berpesan agar menjaga diri dan kamu dari perbuatan dosa, selalu berbuat baik dan menjaga tanah ini satu-satunya peninggalan yang tidak bergerak, ilmu dan budi pekerti yang baik lebih berharga daripada harta benda" jawab Arman.
Arman dan Armin sekalipun hanya tamat SMP mereka dikenal oleh masyarakat kampungnya karena budi pekerti yang baik, rajin, suka menolong serta mandiri. Walau mereka miskin, makan seadanya, tubuh kurus, namun mereka tak pernah membuat masalah bahkan selalu menolong. Mereka mendiami rumah peninggalan orang tuanya yang masih baik untuk berteduh. Rumah itu berdiri pada sebidang tanah di pinggir sawah mereka.
Beberapa bulan sesudah itu Armin duduk termenung di pemakaman memandang batu nisan yang bertuliskan nama kakaknya Arman. Tanah makam itu masih baru berada disamping makan ayah dan ibunya. Kini dia sebatang kara dan tak punya apa-apa. Dia tidak peduli dengan panas sinar matahari yang menerpa kepala dan tubuhnya. Rasa sayang pada keluarganya yang kini berada dalam tanah lebih memenuhi jiwanya.
Beberapa waktu lalu proyek pembangunan pemerintah datang bagaikan badai yang tak terbendung. Pemerintah daerah dan aparat keamanan datang dengan selembar kertas dari pengadilan mengklaim tanah mereka dan tanah beberapa warga lainnya sebagai tanah milik negara yang akan di bangun pasar dan perumahan.
Masyarakat tidak menerima begitu juga dengan Arman dan Armin. Pada hari eksekusi lahan mereka berhadapan dengan aparat keamanan. Arman yang saat itu sakit dan hanya di rawat dirumah karena tak ada biaya memaksakan diri untuk ikut menghalangi jalannya eksekusi lahan. Dengan kekuatan seadanya masyarakat berhadapan dengan petugas maka terjadilah saling pukul. Saat itu warga kalah jumlah dan senjata saat mereka berlari Arman yang sakit tak sanggup berbuat banyak, sekali pentungan menghantam kepalanya dia langsung tersungkur ke tanah dan terinjak-injak. Dalam keadaan terbaring dengan tubuh yang lemah beberapa aparat yang tak puas tetap menghantamnya dengan kayu dan pentungan bahkan ada yang menginjak-injak tubuh pemuda kurus dan sakit itu.
Armin tak tahu hal itu juga berlari bersama warga. Tak butuh waktu lebih dari 1 jam semua warga yang menghalangi jalannya eksekusi lahan di tangkap dan masuk bui. Namun paginya Armin diminta keluar dan diantar menuju Puskesmas. Saat di persilahkan masuk oleh dokter masuk kedalam ruangan dia sudah mendapati kakaknya Arman yang tak bernyawa.
Alangkah hancurnya hati Armin melihat jasad kakaknya terbujur kaku tak bernyawa penuh dengan memar di wajah. Kini dia sebatang kara, rumah dan tanah peninggalan orang tuanya pun kini bukan lagi miliknya. Dia menangis dan memeluk tubuh kurus kakaknya.
Kematian Arman menyebabkan polisi harus membebaskan semua warga yang di tahan. Eksekusi lahanpun di tunda. Masyarakat membantu Armin mengurusi jenazah Arman. Saat pelaksanaan pemakaman kepala desa dan camat hadir serta. Dalam sepatah kata Camat menyampaikan beberapa patah kata.
"Bapak-bapak dan ibu-ibu peristiwa ini menjadi pelajaran buat kita, pemerintah ingin kampung kita baik dengan berdirinya pasar dan perumahan agar kampung kita cepat menjadi ramai dan modern namun karena kita tak patuh pada aturan jika tanah ini adalah milik negara kita melawan hukum dan inilah akibatnya salah satu keluarga kita wafat, dan wafat karena melawan aturan yang memiliki dasar hukum atas tanah ini".
Armin tak habis pikir mendengarkan hal itu. Teringat Armin nasehat ayahnya dulu tentang pemimpin yang harus mengayomi, membela hak masyarakat yang dipimpinnya. Namun apa yang dilihat Armin sangat berbeda. Tanah yang sejak dari bapaknya kecil hingga wafat dapat diambil begitu saja. Bagi warga lain yang ikut tertangkap mereka punya tanah lain dan sanak keluarga. Namun tidak bagi Armin dia betul-betul telah sebatang kara.
Kesaksian warga mengatakan jika Arman pada saat itu terkena pukulan pentungan aparat di bagian kepala setelah rebah kembali pentungan-pentungan lain menghantam tubuh Arman lengkap dengan injakan sepatu laras aparat yang sudah kalap mata atas nama hukum diatas selembar kertas.
Dokter pun menjelaskan pada Armin jika beberapa tulang rusuk Arman patah, tubuhnya penuh memar hingga bagian kepala seperti terkena benda tumpul. Namun yang membuat nyawa Arman tak bisa  diselamatkan adalah pendarahan dalam di bagian kepala, itulah yang mengakhiri hidupnya.
Setelah peristiwa itu, kematian Arman tak di tangani secara hukum. Bahkan cenderung dianggap sebagai sebuah kecelakaan. Bagi Armin pemerintah dan aparat keamanan tak ubahnya menganggap nyawa kakak kandungnya seperti hewan yang mati dan tak berharga hingga tak ada satupun orang yang dianggap bertanggung jawab dan di tangani secara hukum.
Kini batu nisan bertuliskan"Arman" berada di depan Armin dia menciumnya dan berdoa untuk kedua orang tua dan kakaknya yang telah menghadap Allah. Tak bisa lagi tertahan air matanya tumpah menetesi bumi. Disela-sela tangisnya dia teringat pesan kakaknya yang juga pesan ayahnya.
"Ingat bumi ini masih ada karena adanya keadilan, kedamaian masih ada karena adanya orang-orang yang memperjuangkan keadilan. Jika kelak kau mendapati tak ada keadilan di depanmu lawanlah jika tak sanggup maka tinggalkan tempat itu carilah bagian bumi yang menegakkan keadilan utamanya pada kaum lemah, belajarlah pada orang-orang di tempat itu agar kelak kita menghadap Tuhan dalam keadaan orang-orang yang memperjuangkan keadilan dan orang lemah. Ingat lagi dalam setiap bagian tubuh kita dan apa yang kita miliki ada hak orang lain utamanya yang lebih lemah dari kita dan kita wajib memberikannya".
Sebelum berada di makam keluarganya Armin telah merapikan rumahnya pakaian yang akan dibawanya telah di persiapkan di dalam dua tas. Baginya tak ada lagi keadilan di tempatnya berada, tanah tempatnya berpijak bukan lagi miliknya sekalipun warisan orang tuanya, dia tak tahu mau mengadu kemana selain Allah dan makam bisu keluarganya.
Dia berdiri tekatnya bulat akan meninggalkan tempatnya di lahirkan. Setelah itu dia berjalan menuju rumah kayu kecil dan tanah yang sekarang bukan miliknya. Dia bayangkan rumahnya akan di bongkar dan entah akan dimana lagi mendirikan rumah dari balok dan papan rumahnya.  Barang-barang isi rumahnya yang tak sanggup dia bawa telah di sedekahkan kepada tetangganya.
Kini dia menatap rumah dan tanah itu dengan cucuran air mata mengingat kenangan masa kecilnya bersama orang tua dan kakaknya. Sebuah api menyala dan membakar rumah tempat tinggalnya. Sontak hal itu membuat tetangga-tetangganya kaget dan berkerumun menyaksikan pemandangan itu. Namun mereka akhirnya mengerti serta terharu bahkan beberapa ikut mengucurkan air mata.
Ditengah api berkobar membakar rumahnya Armin melangkah menenteng tasnya. Dengan bekal dari tetangga, sejumlah uang dari kebaikan warga, dia pergi melangkah meninggalkan kampungnya. Pergi entah kemana mencari bagian bumi dimana tempat tegaknya keadilan terhadap orang-orang lemah, papa, miskin seperti dirinya. Dia tak peduli kemana arah yang akan dia tuju untuk mendapatkan tempat dia belajar akan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Nasehat orang tua dan kakaknya seakan terus menghantui dirinya untuk terus berjalan. 
Dia pergi, melangkah meninggalkan makam keluarganya dengan nisan yang bisu, seperti bisunya pemerintah dan aparat hukum yang bisu terhadap hak-hak orang lemah seperti diri dan keluarganya. Dia tak menoleh lagi ke pemakaman dan bekas tanahnya yang sepi, seperti sepinya keadilan dan kemanusiaan yang nyaris hilang untuk orang papa seperti diri dan keluarganya. Dia membawa beban tas di punggung dan tangannya seperti beban amanah di pundak pemerintah dan aparat hukumnya yang tak peduli pada orang miskin seperti diri dan keluarganya. Dia terus melangkah mencari tempat dimana keadilan dan kemanusiaan masih ada di bumi ini.

Postingan terkait:

1 Tanggapan untuk "KEADILAN YANG BISU DAN SEPI"