1998 mungkin menjadi sebuah sejarah
kesuksesan mahasiswa Indonesia yang berhasil menumbangkan kekuasaan Suharto
selama 32 tahun. Masa yang di kenal dengan Rezim Orde baru (ORBA) ini akhirnya
tumbang oleh teriakan ribuan anak muda yang tumpah ruah memenuhi jalan-jalan
ibukota negara, tak sedikit dari mereka yang harus merasakan terjangan peluru
tajam, peluru karet, gas air mata, pukulan pentungan, tinju hingga tendangan
aparat keamanan. Sesaat kita akan melihat dengan keheranan sambil bertanya
dalam hati, ada apa dengan pemuda-pemuda yang bergelar mahasiswa ini. Almamater
yang melekat pada diri mereka hanya untuk turun berteriak di jalan raya dengan
senjata megaphone dan spanduk, bendera yang terikat di tiang dan paling tinggi
senjata mereka adalah kayu dan batu.
Sebuah dogma yang sangat mungkin berlaku
dalam diri mereka adalah karakter pemuda akan rela membuat sakit dirinya demi
sesuatu yang di yakini. Hal ini identik
dengan sikap anak muda yang sangat radikal dalam berfikir dan berjuang tentang
sesuatu yang ideal menurutnya hingga rela menumpahkan darah bahkan mati demi
memperjuangkan hal tersebut. Ali Syari’ati seorang tokoh intelektual Revolusi
Islam Iran mengungkapkan “dalam setiap Intelektual terdapat tanggungjawab terhadap
orang-orang yang lemah”. Rezim ORBA yang dikenal dengan sikap otoriternya sarat
dengan KKN menjadikan mahasiswa yang dikenal dengan kaum intelektual sudah tak
tahan lagi dengan belenggu otoriter hingga langkah terakhir adalah berteriak
atau memberontak. Bukan berarti hal itu tanpa tujuan dan tidak didasarkan pada pemikiran
yang rasional untuk Indonesia yang lebih baik.
Hampir 20 tahun sejarah reformasi itu jadi
cerita turun temurun dari generasi ke generasi mahasiswa. Lalu apa hasil dari
reformasi semua orang pasti memiliki penilaian yang berbeda utamanya para
pelaku yang dulu berteriak di jalanan.
Era Jokowi kini ditandai gaya dan model baru
seorang pemimpin yang selalu blusukan dan mendapat peliputan media. Berkembangnya
dunia informasi kini menjadikan akses setiap informasi begitu mudah di peroleh.
Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara masa ORBA dan pasca reformasi.
Jika dulu media sangat di batasi oleh Mentri Penerangan dan TVRI menjadi corong
pemerintah dalam hal pencitraan media-media swasta harus mengikuti setiap
intruksi pemerintah dalam hal pemberitaan. Maka tak heran Media Tempo dan Detik
pernah di brendel karena pemberitaan yang terlalu menyudutkan pemerintah. Pasca
reformasi di tandai dengan keterbukaan informasi, dimana-mana media berdiri
dengan bebas menyampaikan informasi kasus-kasus pemerintah di buka sedemikian
rupa kepada publik. Hingga sampai kepada pencitraan yang sangat metapor
sekalipun sangat mudah di dapatkan.
Keberhasilan reformasi menumbangkan rezim
ORBA yang memegang kendali selama 32 tahun kini di gantikan oleh begitu
banyak pelaku reformasi yang masuk menduduki posisi politik dengan alasan
cita-cita reformasi. Namun sangat disayangkan generasi penerus gerakan mahasiswa banyak mengalami
kekecewaan. Sebut saja Mulyana W Kusuma mantan aktivis reformasi yang terjerat
kasus korupsi. Selain itu ada Amien Rais dan Megawati Sukarno Putri yang
menjadi pimpin Partai politik. Sangat membuat kekecewaan kalangan mahasiswa
yang terheran-heran melihat kenyataan itu. Kini dimasa pemerintahan Presiden
Jokowidodo dan Jusuf Kalla pun kita melihat praktek KKN para pelaku reformasi yang
berada dalam jajaran eksekutif, legeslatif, lembaga negara maupun swasta.
Keberadaan dan posisi mereka dalam sistem ternyata Ttidak bisa memberikan perubahan
yang signifikan terhadap kondisi negara saat ini. Alih-alih mau kembali
memunculkan karakter aktivis jalanan mereka, sikap tak bisa berbuat apa-apa
menjadi mereka tak ubahnya pelaku utama dan ikut mengambil bagian kepentingan
dalam kondisi negara seperti saat ini.
Sekali lagi masuk akal jika ada beberapa
mahasiswa yang melontarkan kata-kata untuk berhenti membanggakan cerita
reformasi 98, kini terjadi pergantian generasi dan setiap generasi memiliki masa
dan sejarah sendiri. Kalimat ini terlontar dengan campuran nada kekecewaan akan
sebuah kenyataan ternyata pasca reformasi tak ada perubahan yang terjadi
seperti yang dicita-citakan yang terjadi justru memperparah keadaan.
Kekecewaan terhadap era Jokowi-JK kini kini
bermunculan dimana-mana. Jokowi yang dianggap merakyat dan JK yang dianggap
sebagai tokoh perdamaian di awal pemilihan presiden sempat menjadi harapan
untuk keluarnya bangsa ini dari keterpurukan. Namun rupanya kenyataan
memperlihatkan hal lain. Sadar atau tidak Jokowi yang mantan walikota dan
gubernur ini harus berhadapan dengan kekuatan politik raksasa yang memiliki
kekuatan dan basis dimana-mana. Jokowi seakan kecolongan dengan semua rencananya untuk Indonesia. Revolusi mental rupanya tak terjadi dengan sebuah kebijakan
politik karna sampai hari ini kantor-kantor pusat dari ibukota hingga daerah
masih dihuni oleh pegawai negara yang memiliki mental yang rusak.
“Reformasi Jilid II” kini di kumandangkan
sebagai sebuah kekecewaan terhadap pemerintahan Jokowi - JK. Namun tak ada
salahnya jika mahasiswa sebagai sebuah agen perubahan harus berfikir baik-baik
dan belajar dari pengalaman masa lalu hingga tak jatuh pada lubang yang sama.
Pasca reformasi yang terlihat hanyalah
kejatuhan Suharto namun partai pendukung kekuasaan Suharto dan orang-orangnya
yang memiliki mental yang sama tetap bercokol di dalam sistem. Kenyataan memang
terlihat dengan beberapa perubahan diantaranya para pelaku Reformasi terdapat
beberapa yang menduduki posisi penting, keterbukaan informasi, kebebasan
menyampaikan pendapat, namun dalam hal kepemimpinan ternyata tak ada satu orang pun
yang dipersiapkan untuk melakukan perubahan radikal dan melakukan reformasi
birokrasi. Akibat yang di timbulkan permainan ORBA tetap berlangsung bahkan
dengan mulusnya membuat aturan-aturan baru yang di ciptakan untuk kepentingan
politik segelintir orang.
Reformasi tak ubahnya hura-hura
jalan raya semata setelah itu semua kembali di serahkan pada pemain-pemain yang
selama ini menanti giliran untuk berada kursi kekuasaan tingkat atas. Keadilan
dan tujuan aksi yang memakan nyawa pun harus kembali bertekuk lutut pada
kepentingan yang tidak berpihak pada rakyat. Maka jangan heran jika banyak
orang yang beranggapan kesejahteraan lebih terlihat di masa Suharto menjadi
presiden yang justru sekarang sangat terbalik. Ekonomi yang semakin terpuruk,
masyarakat miskin yang semakin bertambah, kurangnya supremasi hukum, praktek
KKN yang tidak kalah banyaknya di pertontonkan di depan mata masyarakat. Kini
harapan kepada Jokowi yang memimpin Indonesia mulai sirna.
Jika dibanding dengan gerakan-gerakan sosial
di berbagai negara di dunia, dalam banyak aksi selalu melibatkan
masyarakat bahkan dominan masyarakat namun reformasi cenderung berbeda. Aksi-aksi
sosial terhadap kebijakan pemerintah di Indonesia selama ini cenderung di
motorik oleh mahasiswa. Namun hal ini menjadi kelemahan bagi mahasiswa sendiri,
gerakan yang mengatasnamakan rakyat namun tak melibatkan rakyat akan berujung
semu. Masyarakat sebagai objek atau imbas dari sebuah kebijakan jika tak bisa
secara mandiri atau mendukung dalam aksi nyata maka tak akan memberi pengaruh
terhadap sebuah perubahan yang di cita-citakan.
Hal ini memberi indikasi mahasiswa yang
jumlahnya puluhan ribu di Indonesia dan menjadi
garis depan perubahan sangat jauh dari masyarakat. Gerakan mahasiswa
yang berhadapan dengan penguasa sementara masyarakat cenderung menjadi penonton
melalui media. kelemahan ini di tambah lagi dengan posisi media yang juga
cenderung menjadi backup kekuasaan. Media dengan mudah melakukan polarisasi
isu dan wacana hingga menjadikan gerakan mahasiswa yang radikal di lapangan
namun tak memberi pengaruh apa-apa bagi masyarakat untuk memberi dukungan.
Kondisi kampus sebagai tempat mahasiswa untuk
menimba ilmu juga menjadi pertimbangan dalam gerakan. Kampus sebagai sebuah
rumah dimana mahasiswa melahirkan ide-ide untuk masyarakat haruslah memiliki
lingkungan yang mendukung pula. Saat ini budaya apatis dan hedonis mahasiswa
menjadi sebuah virus mematikan yang telah menghilangkan kepedulian mahasiswa
sebagai kaum intelektual. Terlebih lagi dengan cara pandang kampus hanya
sebagai ladang bisnis yang mencetak manusia dengan gelar dan kualitas yang di
tentukan dengan angka-angka. Budaya internal kampus haruslah di bangun dengan
budaya intelektual dan dialog bukan hanya pada bidang akdemik namun budaya analisis kondisi, situasi, dan berbagai ilmu terapan lainnya.
Gerakan tidaklah harus staknan pada titik
tertentu saja atau memanfaatkan moment. Pondasi dasar sebuah gerakan yang
dilakukan mahasiswa sebagai kaum intelektual harus berdasarkan pada nilai-nilai
kemanusiaan, keberpihakan terhadap masyarakat lemah, dan butuh sebuah kehadiran
kalangan intelektual di masyarakat yang dapat memberikan pencerahan pada
masyarakat. Hal ini harus konsisten dan berkelanjutan. Namun masih menjadi
sebuah tanda tanya besar ketika gerakan “Reformasi Jilid II” berjalan di tengah
masyarakat yang apatis dalam posisi lemah terhadap kekuasaan yang terus menerus
melakukan eksploitasi apalagi didasari pada kekecewaan terhadap pemerintahan
Jokowi - JK. Hingga bisa saja hanya dengan analisa terhadap kebijakan tanpa
persiapan matang gerakan mahasiswa akan kembali jatuh pada lubang yang sama.
Belum ada tanggapan untuk "“REFORMASI JILID II” MAHASISWA, SUDAH SIAPKAH?"
Post a Comment