Palopo, disaat mentari
mulai meredup. Seperti dulu terminal ini hanya sedikit berubah ditengah
pesatnya perubahan kota dengan berbagai bangunan. Mobil dari berbagai tempat
berkumpul begitu juga dengan penumpangnya yang beragam dari berbagai daerah dan tujuan.
Mesjid telah
meraung-raung memanggil pecinta pemilik-Nya mengingatkan dengan lantunan ayat
untuk sejenak melupakan dunia. Tepat disampingnya berdiri kokoh gerbang
terminal. Gerbang dan terminal yang tak akan terlupakan.
Berpuluh tahun lalu
terminal ini hingga pasar sentral di belakangnya adalah hamparan tanah kebun
masyarakat Palopo. Tanah itu di"bebas"kan hingga nampak seperti
sekarang. Mereka pemilik tanah ini tak akan melupakan pengambilan tanah mereka
yang tak pernah mendapat ganti rugi.
Hingga akhirnya lima
tahun lalu saat semua terasa mencapai puncaknya, pemilik tanah bersama
mahasiswa menutup terminal, menantang kepolisian untuk tembak di tempat demi
tanah yang menjadi hak mereka.
Raungan warga ini
menutup terminal tak ubahnya raungan mobil yang silih berganti keluar masuk
terminal. Cerita masa lalu mereka tentang penebangan pohon-pohon kebun, mereka
pula yang harus menguras tenaga memindahkan kayu-kayu itu dan cerita tentang
janji-janji ganti rugi lahan. Mereka hanya mengingatnya dengan ingatan yang
membekas, wajah dan tubuh yang semakin tua.
Seorang kakek berdiri
dengan lantang ikut berteriak "tanah ini adalah milik kita, bertahun-tahun
saya dan masyarakat pemiliknya berjuang namun hanya janji yang kita
dapatkan". Hingga teriakan itu meraung-raung tiada henti di gedung wakil
rakyat. Siang hingga malam mereka tertidur dengan alas seadanya.
Kini terminal telah di
rehab. Berpuluh truk pasir ditumpahkan untuk menutupi becek yang mengotori
mobil, menutupi lubang-lubang yang tergenang air di saat hujan. Timbunannya
seakan menutupi hak pemilik tanah yang tak pernah diberi. Menutupi
lubang-lubang harapan dan janji pemerintah mereka. Membersihkan kasus-kasus
besar nan kotor di balik tanah ini. Semua coba di kubur.
Tanah gersang yang
setiap hari terinjak kaki dan ban berbaur debu dan asap menyisakan hak-hak
pemilik tanah yang terbang bagai debu dan asap. Tahun berganti tahun kota ini
mengambil PAD dari tanah hak orang kecil yang di rampas. Puluhan pemilik tanah
kini hanya jadi pejual asongan dengan hasil tak seberapa. Miskin diatas tanah
mereka sendiri, berpijak di atas tanah yang setiap hari merasakan panas,
menghirup debu dan asap. PAD "haram" pertahun dari tanah haram yang
di klaim milik pemerintah.
Selepas wafatnya
pejuang masyarakat terminal (Alm. Zainal) raungan bungkam, tinggal mesjid dan
kendaraan yang meraung. Bisu, terkubur bersama hak dan keadilan yang tak pernah berpihak pada pemiliknya.
Belum ada tanggapan untuk "RAUNGAN TERMINAL"
Post a Comment