REVOLUSIONER (I)


Revolusioner atau pelaku revolusi senantiasa di gambarkan sebagai manusia besar yang dikelilingi oleh banyak pendukung. Mampu menumbangkan kekuasaan dalam waktu yang relatif sebentar dengan doktrin, strategi, dan orasi-orasi yang memukau. Sekali berdiri di depan banyak orang dan melakukan orasi, dalam waktu singkat menjadi maghnet dan mampu menggerakkan ribuan orang yang bahkan rela mati demi sebuah perubahan.

Orang-orang seperti inilah yang akan tercatat dalam sejarah. Oleh penulis-penulis menggambarkan dengan sangat indah, dramatis, penuh semangat perjuangan demi sebuah keyakinan terhadap perubahan yang lebih baik. Sejarah orang-orang inipun tak pernah luput dari tantangan yang sangat sulit, menciptakan kesulitan-kesulitan sosial. Merasakan pahitnya meraih lebih ringan daripada mempertahankan dan membangun hasil usaha dari seorang revolusioner.

Namun apakah manusia-manusia pilihan atau revolusioner itu hanya sebatas mereka yang mampu menggerakkan massa dan tergores dalam pena sejarah. Terlalu naif dan diskriminatif ketika dalam hidup ini siapa saja dapat memilih untuk sebuah tindakan revolusioner namun namun dalam usaha mereka dapat kita anggap biasa saja. Revolusioner dengan jiwa perubahan yang tertanam kuat akan sebuah cita-cita bisa saja berada dalam diri seseorang tanpa harus menggerakkan massa. Real goverment, sebuah tindakan nyata menjadi sebuah syarat mutlak terhadap orang-orang yang memilih dan mendedikasikan hidupnya di jalan revolusi.

Seorang yang memiliki keinginan kuat, berkorban dan konsisten berjalan pada pilihannya dapat dikatakan memiliki sebuah jiwa yang revolusioner. Walau hanya dengan konsep yang sederhana dan tidak menggerakan massa.

Seorang lelaki yang tidak memiliki pendidikan tinggi tinggal dalam sebuah kampung. Pemuda ini memiliki dua bidang tanah unutk di garap dan salahsatunya berdiri rumah keluarganya. Salah satu kebiasaan laki-laki ini adala membaca berbagai macam buku dan selebaran, terkadang juga dia berjalan ke kantor-kantor hanya sedekar mengambil koran-koran yang hanya di tinggal menumpuk begitu saja di dalam gudang. Bacaan buku, selebaran, koran dan majalah itulah yang menemaninya setiap hari. Tiada hari tanpa bacaan, hal itu kemudian menjadi bahan diskusinya dengan beberapa orang tertentu sebagai bentuk bertukar fikiran.

Besar keinginannya bisa menjadi seorang seperti tokoh-tokoh yang pernah dia baca dalam buku yang bisa melakukan perubahan kearah yang lebih baik. Namun dengan kodisi dirinya yang tidak memiliki pendidikan yang tinggi hanya tamat SMA saja dia harus mengukur dirinya jika dia tidak ada apa-apanya. Hingga keinginan itu masih tersimpan sekalipun mengebu-ngebu dalam pikiran dan hatinya.

Suatu malam angin kencang menerpa kampung itu. Atap rumah banyak yang terbawa angin dan beberapa pohon tumbang. Namun yang membuat pemuda itu sedih adalah surau di kampung itu yang atapnya roboh. Kerangka atapnya sudah rapuh termakan usia. Surau yang menjadi tempat berkumpul masyarakat sekalipun masih memiliki dinding yang kuat namun untuk memperbaiki atap itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

Masyarakat tampak sudah pasrah surau itu tidak akan bisa di gunakan lagi dalam waktu yang lama. Saat itu masa paceklik, bencana datang dan masyarakat hanya berusaha memperbaiki rumah tempat mereka tinggal. Pendidikan di surau itupun terhenti. Jika dulu senantiasa terdengar lantunan baca Al quran anak-anak dan suara dirinya dan beberapa orang memberi pelajaran akhlak pada remaja kini tidak terdengar lagi.

Dua bulan berlalu atap yang roboh itu hanya di tutup dengan terpal untuk shalat jumat saja. Ciut hati pemuda itu setiap melalui jalan di depan surau. Malam tiba dia di meja baca setelah membaca sebuah buku namun buku itu dia tutup. Bagaimanapun surau itu adalah tempatnya selalu mengajarkan pengetahuan kepada anak-anak remaja dan mengajarkan anak-anak belajar membaca Alqur'an.

Hingga akhirnya dia mengeluarkan keputusan menjual sebidang tanahnya untuk membiayai pembangunan surau. Sekalipun kehilangan sepetak tanah pemuda itu tidaklah risau. Baginya pendidikan yang baik untuk masyarakat melalui surau lebih penting dari harga tanahnya.

Surau di kampung itu kembali tegak, kini suara-suara panggilan setiap tiba waktu shalat kembali menggema. Setiap sore terdengar suara anak-anak kecil berlomba-lomba membaca Alqur'an. Hingga tiba setelah shalat isya tampak pemuda itu memberikan pelajaran fiqih dan akhlak kepada remaja yang ada di kampung itu. Kini hanya dengan sisa sepetak tanah yang di milikinya pemuda itu melanjutkan hidupnya.

Bagi kita ini merupakan pengorbanan luar biasa tapi bisa jadi tidak akan di golongkan sebagai pemuda yang revolusioner karena tidak ada sedikitpun massa yang mengelilinginya. Dia bukanlah orator yang dapat mengumpulkan massa untuk merobohkan kekuasaan. Namun kita lupa surau yang berdiri kokoh kini sebagai tameng terhadap budaya dan spiritual masyarakat dapat bertahan karena pengorbanan dan kecintaannya. Tindakannya memberi sesuatu yang berarti bukan hanya untuk dirinya tapi juga orang-orang disekitarnya. Sebuah pemikiran dan tindakan yang revolusioner.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "REVOLUSIONER (I)"

Post a Comment