Revolusioner atau pelaku revolusi
senantiasa di gambarkan sebagai manusia besar yang dikelilingi oleh banyak
pendukung. Mampu menumbangkan kekuasaan dalam waktu yang relatif sebentar
dengan doktrin, strategi, dan orasi-orasi yang memukau. Sekali berdiri di depan
banyak orang dan melakukan orasi, dalam waktu singkat menjadi maghnet dan mampu
menggerakkan ribuan orang yang bahkan rela mati demi sebuah perubahan.
Orang-orang seperti inilah yang
akan tercatat dalam sejarah. Oleh penulis-penulis menggambarkan dengan sangat
indah, dramatis, penuh semangat perjuangan demi sebuah keyakinan terhadap
perubahan yang lebih baik. Sejarah orang-orang inipun tak pernah luput dari
tantangan yang sangat sulit, menciptakan kesulitan-kesulitan sosial. Merasakan
pahitnya meraih lebih ringan daripada mempertahankan dan membangun hasil usaha
dari seorang revolusioner.
Namun apakah manusia-manusia
pilihan atau revolusioner itu hanya sebatas mereka yang mampu menggerakkan
massa dan tergores dalam pena sejarah. Terlalu naif dan diskriminatif ketika
dalam hidup ini siapa saja dapat memilih untuk sebuah tindakan revolusioner
namun namun dalam usaha mereka dapat kita anggap biasa saja. Revolusioner
dengan jiwa perubahan yang tertanam kuat akan sebuah cita-cita bisa saja berada
dalam diri seseorang tanpa harus menggerakkan massa. Real goverment, sebuah
tindakan nyata menjadi sebuah syarat mutlak terhadap orang-orang yang memilih
dan mendedikasikan hidupnya di jalan revolusi.
Seorang yang memiliki keinginan
kuat, berkorban dan konsisten berjalan pada pilihannya dapat dikatakan memiliki
sebuah jiwa yang revolusioner. Walau hanya dengan konsep yang sederhana dan
tidak menggerakan massa.
Seorang lelaki yang tidak
memiliki pendidikan tinggi tinggal dalam sebuah kampung. Pemuda ini memiliki
dua bidang tanah unutk di garap dan salahsatunya berdiri rumah keluarganya.
Salah satu kebiasaan laki-laki ini adala membaca berbagai macam buku dan selebaran,
terkadang juga dia berjalan ke kantor-kantor hanya sedekar mengambil
koran-koran yang hanya di tinggal menumpuk begitu saja di dalam gudang. Bacaan
buku, selebaran, koran dan majalah itulah yang menemaninya setiap hari. Tiada
hari tanpa bacaan, hal itu kemudian menjadi bahan diskusinya dengan beberapa
orang tertentu sebagai bentuk bertukar fikiran.
Besar keinginannya bisa menjadi
seorang seperti tokoh-tokoh yang pernah dia baca dalam buku yang bisa melakukan
perubahan kearah yang lebih baik. Namun dengan kodisi dirinya yang tidak
memiliki pendidikan yang tinggi hanya tamat SMA saja dia harus mengukur dirinya
jika dia tidak ada apa-apanya. Hingga keinginan itu masih tersimpan sekalipun
mengebu-ngebu dalam pikiran dan hatinya.
Suatu malam angin kencang menerpa
kampung itu. Atap rumah banyak yang terbawa angin dan beberapa pohon tumbang.
Namun yang membuat pemuda itu sedih adalah surau di kampung itu yang atapnya
roboh. Kerangka atapnya sudah rapuh termakan usia. Surau yang menjadi tempat
berkumpul masyarakat sekalipun masih memiliki dinding yang kuat namun untuk
memperbaiki atap itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Masyarakat tampak sudah pasrah
surau itu tidak akan bisa di gunakan lagi dalam waktu yang lama. Saat itu masa
paceklik, bencana datang dan masyarakat hanya berusaha memperbaiki rumah tempat
mereka tinggal. Pendidikan di surau itupun terhenti. Jika dulu senantiasa
terdengar lantunan baca Al quran anak-anak dan suara dirinya dan beberapa orang
memberi pelajaran akhlak pada remaja kini tidak terdengar lagi.
Dua bulan berlalu atap yang roboh
itu hanya di tutup dengan terpal untuk shalat jumat saja. Ciut hati pemuda itu
setiap melalui jalan di depan surau. Malam tiba dia di meja baca setelah
membaca sebuah buku namun buku itu dia tutup. Bagaimanapun surau itu adalah
tempatnya selalu mengajarkan pengetahuan kepada anak-anak remaja dan
mengajarkan anak-anak belajar membaca Alqur'an.
Hingga akhirnya dia mengeluarkan
keputusan menjual sebidang tanahnya untuk membiayai pembangunan surau. Sekalipun
kehilangan sepetak tanah pemuda itu tidaklah risau. Baginya pendidikan yang
baik untuk masyarakat melalui surau lebih penting dari harga tanahnya.
Surau di kampung itu kembali
tegak, kini suara-suara panggilan setiap tiba waktu shalat kembali menggema.
Setiap sore terdengar suara anak-anak kecil berlomba-lomba membaca Alqur'an.
Hingga tiba setelah shalat isya tampak pemuda itu memberikan pelajaran fiqih
dan akhlak kepada remaja yang ada di kampung itu. Kini hanya dengan sisa
sepetak tanah yang di milikinya pemuda itu melanjutkan hidupnya.
Bagi kita ini merupakan
pengorbanan luar biasa tapi bisa jadi tidak akan di golongkan sebagai pemuda
yang revolusioner karena tidak ada sedikitpun massa yang mengelilinginya. Dia
bukanlah orator yang dapat mengumpulkan massa untuk merobohkan kekuasaan. Namun
kita lupa surau yang berdiri kokoh kini sebagai tameng terhadap budaya dan
spiritual masyarakat dapat bertahan karena pengorbanan dan kecintaannya. Tindakannya memberi sesuatu yang berarti bukan hanya untuk dirinya tapi juga orang-orang disekitarnya. Sebuah
pemikiran dan tindakan yang revolusioner.
Belum ada tanggapan untuk "REVOLUSIONER (I)"
Post a Comment