KOPI, IDE DAN MATERI

Kota yang penuh dengan dendangan zaman, disana sini suara bising tak lagi mengganggu mungkin sudah terbiasa atau memikirkan hal yang lebih penting. Disela-sela dendangan zaman akan ditemui orang-orang yang mencoba mencari tempat yang bisa membuatnya tenang. Tempat yang tidak sepi dari kebisingan namun membuat hati mereka bagaikan sedang menyepi. Mencoba menemui diri mereka yang sebenarnya.

Sebuah mobil terparkir tepat di depan sebuah taman. Seorang laki-laki turun dan berjalan memasuki area taman, dia hendak menikmati hijau dan sejuknya taman pada siang itu. Baru duduk beberapa saat pandangannya tertuju pada seorang laki-laki yang sedang asik duduk menatap layar HP, diatas meja taman tampak tas dan secangkir kopi hitam yang sekali-kali dihirupnya dengan nikmat tanpa mempedulikan keadaan sekelilingnya. Dia mendekati laki-laki itu yang tidak lain adalah temannya saat masih duduk di bangku sekolah SMA.

"Hei Awaluddin, bagaimana kabar kawan masih ingat saya Andre temanmu di SMA" kata Andre menyapa laki-laki yang duduk di depannya.

Awaluddin menghentikan aktivitas membaca di HPnya dan tatapannya tajam mencoba mengingat laki-laki yang berdiri di hadapannya. Kemudian tersenyum tanda mengingat, dia pun menjabat tangan teman lamanya.

"Ya kawan saya ingat, hehehe" jawab Awaluddin sambil mengulurkan tangan.

"Saya baru pulang melaut kawan dan hanya beberapa teman saja yang selalu komunikasi dengan saya" kata Andre lagi

"Maaf kawan mungkin saya agak sibuk, jadi acara reuni saya tidak pernah datang, sudah 5 tahun kita baru bertemu lagi" jawab Awaluddin

Andre langsung memesan secangkir kopi pada penjual kopi taman untuk diminumnya dan bercerita dengan teman lamanya. Suara kedua anak muda itu tampak bahagia. Tak henti-hentinya mereka ketawa mengingat masa-masa sekolah mereka dengan berbagai perilaku yang kadang membuat mereka harus berurusan dengan ruang yang di sebut BK (Badan Konseling).

Sementara mereka berdua asyik bercerita dan berbagi pengalaman datanglah seorang ibu yang menuntun dua anaknya wajahnya sudah agak tua, pakaiannya lusuh menunjukkan sudah beberapa hari tak pernah diganti, wajahnya menampakkan getir kehidupan yang dia alami, matanya sayu, rambutnya yang beruban, kakinya penuh debu dengan sandal jepit yang talinya sudah molor karena terlalu lama digunakan. Sambil melangkah pelan ibu itu meminta belas kasihan pada kedua anak muda itu.

"Nak saya minta sedikit uang untuk makan anak saya, sudah hampir dua hari kami hanya minum air, suami saya juga sakit tidak bisa kerja" kata ibu itu dengan melemas.

Andre dan Awaluddin tak bisa menahan haru melihat ibu itu, Andre langsung membuka dompetnya menyerahkan uang 50 ribu. Namun Awaluddin sejenak diam dia meminum kopinya, kemudian meminta ibu dan kedua anaknya duduk di kursi. Setelah itu Awaluddin membelikan mereka roti dan melontarkan beberapa pertanyaan.

"Ibu, saya bisa berikan ibu uang 700 ribu tapi satu bulan kemudian tolong kembalikan separuh saja, bagaimana bu" kata Awaluddin kepada si ibu

"Bagaimana saya bisa kembalikan nak, untuk makan saja tidak ada apalagi bapak anak-anak saya sakit dan kondisinya sama seperti kami" jawab si ibu dengan kening berkerut

Andre kaget dan menatap heran pada Awaluddin yang sudah tahu jika ibu ini susah malah di berikan beban. Melihat itu Awaluddin tenang saja tak memberikan respon balik pada temannya.

"Bagaimana bu, apa ibu bersedia atau tidak dan ibu juga harus menuruti beberapa saran saya" kembali Awaluddin bertanya

Sambil tertunduk menatap anaknya yang menikmati roti ibu itu menjawab" baiklah nak saya terima"

Awaluddin meminta Andre menghabiskan kopinya. Kemudian dengan mengendarai mobil Andre mereka meluncur menuju rumah ibu tersebut. Hanya sepuluh menit mereka sudah tiba, rumah si ibu berada dipinggiran kota yang terkenal dengan orang-orang pinggiran dengan berbagai pekerjaan. Nyaris semua keluarga yang ada di tempat itu senasib. Rumah-rumah yang sederhana menunjukkan tingkat ekonominya.

Rumahnya beratap daun rumbia, berdinding papan, berlantai semen dan teras yang agak luas. Lingkungannya tidak terlalu kumuh dan ramai di lalui orang-orang. Awaluddin dan Andre masuk kedalam rumah melihat keadaan suami ibu dan memberikan makanan yang mereka beli dalam perjalanan.

Akhirnya Awaluddin menyampaikan maksud ucapannya di taman tadi kepada ibu yang akan di tolongnya.

"Ibu saya beri uang 700 ribu ini, syaratnya adalah sebaiknya uang ini ibu gunakan untuk membuka warung makan yang kecil di teras rumah, apakah gado-gado atau yang lain ibu kan punya perkakas di dapur jadi ibu tinggal beli bahan makanannya saja dan membenahi bagian depan rumah ibu" kata Awaluddin dengan hati-hati.

"Tapi nak apa akan ada yang mau beli jualan saya, saya memang bisa masak tapi saya takut rugi" jawab si ibu dengan agak ragu.

"Saya yakin bu, akan ada karena orang selalu lalu lalang di depan rumah ibu" kata Awaluddin meyakinkan.

Setelah itu mereka bersama-sama pergi ke pasar membeli bahan makanan dan perkakas lain yang dianggap kurang untuk membuat sebuah warung. Bagian depan rumah diatur sebuah meja panjang dan dua kursi panjang serta sebuah meja pendek di bagian dalam untuk membuat makanan. Andre walau masih heran dan ragu juga memberi tambahan modal dia tak sampai hati melihat si ibu akan menanggung beban dari temannya yang kini dianggapnya kurang berprikemanusiaan pada orang miskin.

Dalam perjalanan kembali ke taman Andre tak bisa menahan keheranannya hingga akhirnya keheranannya tersebut dilontarkan pada temannya.

"Awal, apakah kamu masih punya perasaan dengan memberi hutang pada keluarga tadi" tanya Andre

"Kita lihat saja kawan apa yang terjadi sebulan kemudian, tenang kawan" jawab Awaluddin dengan santai

"Iya, tapi kamu tidak bisa menjamin akankah berhasil atau tidak, kalau ibu tadi rugi bagaimana?" Kembali Andre bertanya

"Kita belum tahu apa yang terjadi, jadi kita tunggu saja" jawab Awaluddin tenang.

Sebulan berlalu Awaluddin dan Andre kembali berkunjung kerumah itu untuk melihat apa yang terjadi. Setelah mereka tiba bagian depan rumah itu tampak beberapa orang makan sebagian asyik minum kopi dan teh. Bukan hanya makanan dan minuman yang di jual tapi juga beberapa makanan ringan dan rokok. Setelah memarkir kendaraan dua anak muda itu dipersilahkan masuk.

Mata ibu itu berkaca-kaca dan terharu demikian juga dengan suaminya yang sudah sehat menyerahkan uang 350 ribu sesuai kesepakatan sebulan yang lalu. Tatapannya seakan mengucapkan terimakasih atas kebaikan Awaluddin dan Andre yang tak hanya memberi mereka uang namun memberinya ide agar terlepas dari kehinaan mengemis-ngemis pada orang lain. Dua anak muda itu tidak hanya merubah hidupnya tapi juga mengangkat martabat dan kehormatan keluarganya sebagai pengemis.

Setelah bercerita Awaluddin dan Andre pamit kepada keluarga itu dan berpesan agar mereka tetap membantu sesama yang juga mengalami kesusahan. Dalam perjalanan Andre tampak diam, entah kenapa setelah melihat kondisi keluarga tadi hatinya menjadi damai kini dia tahu kejeniusan ide temannya. Mobil terparkir di depan sebuah warung kopi Andre mengajak Awaluddin untuk nongkrong menikmati sore di warung itu.

“saya tidak menyangka kawan ternyata idemu seperti itu, fikiran saya tak sampai ke situ ketika kau meminta kembali sebagian uang yang kau berikan dulu pada ibu itu” kata Andre memulai percakapan sambil menghirup segelas kopi dalam genggamannya.

“kawan, tahukah kau kekeliruan yang sering kita lakukan? namun bukan berarti apa yang akan saya ucapkan benar seluruhnya” Awaluddin balik bertanya

“apa itu kawan mungkin saja saya ada salah selama ini” jawab Andre dengan pandangan serius

“kita selalu menganggap dengan memberikan materi dapat membuat orang terlepas dari kemiskinan harta, namun kita lupa memberikan ide pada mereka bagaimana mengelola materi agar mereka tidak selamanya miskin dan menjadi pengemis” kata Awaluddin. Dia berhenti sejenak menghirup kopinya.

“ingat kawan, yang memuliakan diri kita adalah akal bukan materi jika saja tak ada ide maka tak akan ada perubahan di dunia ini kau pun sadar begitu banyak orang-orang hebat bahkan orang yang terkaya di dunia sekalipun awalnya mereka memiliki ide yang cemerlang hingga akhirnya mereka bisa mendapatkan materi yang banyak pula” Awaluddin menambahkan penjelasannya

Andre tersenyum tipis sambil menatap kawannya. Dia tertawa karena mengingat dirinya yang setiap turun dari kapal kadang menghabiskan uang untuk membeli berbagai macam barang namun kadang dia lupa untuk memberikan pada orang lain yang berada di bawahnya.

“betul yang kau katakan kawan, kadang kita begitu tenang menikmati hidup kita dengan meminum kopi ini tapi kita lupa pada orang-orang di luar sana karena sibuk dengan kenikmatannya” kata Andre

“tidak ada yang melarang kita menikmati materi, seperti kopi ini banyak yang bisa membuat secangkir kopi dengan menyiramnya pada pada cangkir, ada yang memasaknya, ada yang menuangkan gula dan susu ke dalamnya namun ada yang membuatnya asal-asalan dan sekedar menikmati saja tanpa ada seni dalam membuat kopi” kata Awaluddin

Mereka sejenak terdiam dengan fikiran masing-masing, diam mereka seakan bertanya apakah yang sudah mereka lakukan selama ini pada orang-orang lemah di sekitar mereka dengan harta yang mereka miliki.

“seni membuat kopi adalah sebuah seni menciptakan rasa dengan takaran dan campuran yang pas hingga bukan hanya sekedar pahit dan hitam namun ada sesuatu yang berbeda, seperti hidup ini kawan materi tetaplah materi namun seni kehidupan yang dipenuhi banyak materi ini terletak pada akal kita terletak pada ide apa yang dihasilkan untuk mengelola dan menggerakkan materi” kata Awaluddin sambil tersenyum menatap temannya.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "KOPI, IDE DAN MATERI"

Post a Comment