Klaim pemerintah jika penduduk miskin di
Indonesia turun pada tahun 2015 ini patut mendapatkan apresiasi sekalipun dalam
jumlah kecil. Namun hal ini merupakan data statistik semata kita tak tahu
seperti apa kondisi lapangan. Sebagaimana informasi yang kita dapatkan pada
tahun 2013 jumlah masyarakat miskin di Indonesia sebesar 28,6 juta orang atau
sekitar 11,46% dari jumlah keseluruhan penduduk di Indonesia yang melampaui
angka 200 juta jiwa, pada pendataan selanjutnya oleh Pusat Badan Statistik
mencatat pada september 2014 angka kemiskinan turun menjadi 27,73 juta orang
atau sekitar 10,96% (kompas.com).
Berbagai program yang dilakukan pemerintah
tampak memberi hasil sekalipun dalam kurun dua tahun itu kondisi politik dan
ekonomi Indonesia terasa goyang karena berbagai faktor. Diakui atau tidak
penurunan yang kecil ini dikarenakan tidak adanya super khusus. Namun tidak
juga semerta-merta pemerintah pusat yang selama ini menggelontorkan anggaran
bantuan sosial yang besar pada masyarakat menjadi kambing hitam. Selama ini
pemerintah pusat terus berupaya menjaga kestabilan harga kebutuhan pokok agar
tidak meningkat tinggi dan inflasinya rendah. Penduduk kalangan menengah
kebawah sangat rentan terpengaruh pada kenaikan harga kebutuhan pokok.
Kembali kita harus melihat negara ini sebagai
sebuah bangunan rumah, dimana pemerintah pusat adalah atap yang mengeluarkan
kebijakan dan pemerintah daerah hingga tingkat desa adalah pondasi dari sebuah
rumah. Jika sebuah bangunan rumah pondasi yang menaunginya rapuh maka bagian
atasnya akan rawan dan terancam.
Kemiskinan
sebagai “Common Enemy”
Berawal dari pertanyaan apakah kemiskinan
hanya urusan pemerintah? Melalui analogi di atas jawabannya adalah tidak.
Kemiskinan adalah masalah semua orang dalam sebuah negara yang mengikat semua
bagian-bagian dari masyarakat. terkhusus pemerintah daerah yang selama ini
sangat dekat dengan masyarakat miskin harus memiliki arah kebijakan yang jelas
dalam menangani persoalan ini.
Sesuai data Badan Pusat Statistik pada tahun
2014 jumlah penduduk miskin di desa mencapai angka 17,37 juta orang atau 13,76%
sementara di kota sebesar 10,36 juta atau 8,16% (kompas.com). Desa sebagai
sebuah kaki negara menjadi penyumbang masyarakat miskin terbesar.
Terkhusus untuk desa yang hampir semua
penduduknya mengandalkan pertanian membutuhkan kerjasama semua pihak. Hasil
pertanian sekalipun berlimpah namun tanpa kejelasan harga bagi para petani
tetap saja menjadi sebuah persoalan dalam peningkatan kesejahteraan. Tindakan
para tengkulak yang menyebabkan penjualan dengan “sistem pemindahan” ini akan
membuat harga di tingkat petani rendah namun dengan perpindahan penjualan
beberapakali maka harga yang sampai pada perusahaan yang membutuhkan bahan baku
akan menjadi semakin tinggi. Maka jelas terlihat yang kebanyak di untungkan
dengan harga yang tinggi adalah penjual terakhir.
Membangun
Jaringan Ekonomi Daerah
Pemerintah daerah yang memiliki tanggung
jawab besar terhadap masyarakat di wilayah mereka tentu akan memiliki cara
pandang yang sama yaitu menangani kemiskinan. Namun yang terlihat lebih banyak
hasil pertanian di kuasai oleh para tengkulak yang membeli hasil pertanian
dengan harga yang rendah dengan alasan harga turun sekian-sekian di daerah ini
dan itu. Petani yang telah selesai memanen mau tak mau harus menjual hasil
kerja mereka ketimbang tersimpan dan akhirnya tak memiliki harga sama sekali.
Hingga tingkat kesejahteraan petani sama saja terlebih bagi yang miskin akan
sangat merasakan hal tersebut.
Sistem ekonomi terpusat yang di tangani
langsung oleh Pemerintah dapat menjadi sebuah solusi. Kebijakan Pemerintah
daerah dengan membangun kerjasama dengan perusahaan besar baik luar maupun
dalam negeri dapat melahirkan sebuah kesepakatan pada persoalan harga. Lalu
dimana sisi positifnya?
Pemerintah daerah dapat membuat kebijakan
untuk penjualan hasil pertanian dengan sistem satu pintu. Di setiap kecamatan
dapat di bangun koperasi dan gudang penampungan hasil bumi masyarakat. Karena
konsep satu pintu ini maka petani hanya menjual hasil bumi mereka pada satu
tempat saja dengan ketetapan harga yang telah di tentukan atas kesepakatan
antara Pemerintah daerah dan pihak perusahaan yang akan membeli hasil bumi
daerah. selain itu perlu di bangun sebuah koperasi induk daerah dengan gudang
penyimpanan induk yang akan menampung hasil pertanian dari tiap kecamatan.
Hingga untuk penjualan kepada perusahaan juga hanya mengambil pada satu tempat
saja.
Penjualan pada tingkat kecamatan Pemerintah
daerah bisa saja memotong hasil sekian persen (%) dan pada penjualan di
koperasi dan gudang penampungan induk pemerintah juga bisa memperoleh
keuntungan sebagai Pendapat Asli Daerah.
Bagi perusahaan ini akan memberi sisi
positif juga, dengan membeli bahan baku langsung dari tempatnya maka kwalitas
bahan baku bisa jadi pertimbangan tersendiri. Termasuk kemudahan yang di
peroleh dengan hanya membeli pada satu tempat saja. Di beberapa daerah
perusahaan bukan hanya sekedar membeli bahan baku tapi juga turun langsung
dengan memberikan program kepada pemerintah untuk pembinaan bagi petani agar
kwalitas hasil bumi yang mereka beli tetap terjaga.
Bagi petani dengan adanya ketetapan harga
yang jelas maka kejadian-kejadian yang terkadang membuat petani mengeluh dapat
diminimalisir. Hal senantiasa terjadi ketika hasil panen melimpah maka di
iringi dengan turunnya harga. gudang penampung bisa menjadi solusi. Harga yang
turun menjadi penanda jika perusahaan tak membutuhkan banyak bahan baku maka
untuk sementara hasil bumi yang terjual dapat disimpan atau membuka jaringan
pasar di tempat lain. Hingga arah pembangunan ekonomi untuk mensejahterakan
masyarakat khususnya petani dapat tetap berjalan.