Insiden pembakaran Mushallah di Tolikara
banyak yang mencela media mainstream karena dianggap tidak banyak memberikan
informasi tentang fakta-fakta kejadian tersebut. Bahkan cenderung di tuduh
sebagai media bayaran, media yang berpihak dan sebagainya.
Di media jejaring sosial media-media utamanya
yang mengatasnamakan Agama ramai memberitakan dengan memunculkan berbagai fakta
bahkan cenderung menghakimi. Menyudutkan pihak yang membakar mesjid dan
mengeneralkan salah satu umat beragama.
Saya lebih sepakat jika dalam pemberitaan
media hal ini tidak bisa di besar-besarkan apalagi hingga memuat berita
beberapakali. Kalaupun media mainstream di tuduh banyak menyembunyikan fakta
adalah benar sebelum sebuah berita terbit harus terdapat penyaringan informasi
dengan sebuah alasan efek SARA yang akan di timbulkan agar tidak terjadi.
Mengapa? Hal yang harus di fahami seperti
apapun sebuah berita disusun untuk sebuah tujuan, selama masih berada di tangan
wartawan dan redaktur maka berita itu masih milik media. Namun ketika berita
sudah di ekspos maka akan menjadi bola liar yang tidak akan pernah bisa di
kendalikan. Media boleh saja membuat berita yang halus dan melakukan
penyaringan informasi namun pembaca dengan berbagai karakter media terlepas
dari hal itu, utamanya jika sudah melahirkan tindakan nyata dari pembaca
Dapat kita banyangkan andaikan media
mainstream membesarkan kasus Tolikara dengan memunculkan semua fakta. Maka
pembaca seperti karakter masyarakat Indonesia yang cepat terprovokasi akan
cenderung memandang sebagai konflik beragama yang berefek pada konflik yang
lebih besar dan umat beragama minoritas di suatu tempat akan di diskrimanasi
bahkan terjadi pembunuhan atas nama agama.
Zaman ini bahasa memiliki kuasa yang paling
mempengaruhi pola fikir hingga tindakan manusia. Maka media sebagai pengelola
wacana, bahasa, dan informasi untuk masyarakat harus jeli melihat efek-efek
yang dapat di timbulkan dari sebuah berita apalagi jika berbau SARA.