“Mengapa mesti Mencuri Jika Diminta Saja Diberi”
Lari
dari blora adalah sebuah film yang disutradarai sekaligus diperankan oleh
sastrawan legendaris W.S. Rendra. Meskipun film ini termasuk film lawas, namun
pesan dan konteksnya masih relevan untuk masa kini. W.S. rendra _yang biasa
memberikan pencerahan pemahaman melalui karya-karya puisinya yang mengandung
unsur kritikan terhadap nilai-nilai sosial, budaya dan religi yang dipahami
mayoritas masyarakat_ kembali hadir melalui sebuah film untuk memberikan
paradigma baru tentang tata cara hidup menghamba. Bukan sebagai hamba
pemerintah dan segala regulasi-regulasinya yang timpang, dan juga bukan hamba
manusia-manusia yang memproklamirkan diri sebagai wakil Tuhan serta memaksakan
hukum-hukum yang lahir dari pikirannya yang sempit. Akan tetapi sebagai hamba Dzat
Suci nan Sempurna yang darinya bersumber segala kebaikan bahkan dia adalah
kebaikan itu sendiri. Dialah Allah, Penguasa semesta alam.
Film
yang berasaskan kisah nyata ini mengajak pemirsa untuk senantiasa menjaga
nilai-nilai kearifan lokal yang sejatinya nilai-nilai tersebut inheren dalam
diri manusia. Nilai-nilai intrinsik tersebut merupakan gradasi dan cerminan
diri-Nya sebagai sebuah keniscayaan
adanya keidentitakan antara pencipta dan ciptaannya. Perasaan merdeka
menjadikan penduduk Samin (nama sebuah desa) untuk menyatakan kata “tidak’ pada
setiap bentuk perbudakan yang dilakukan manusia terhadap manusia lainnya,
begitu juga dengan hegemoni yang dilakukan oleh kalangan yang merasa dirinya
superior terhadap kalangan yang dalam ukuran mereka sebagai kelompok yang
inferior dan kolot. Kesadaran dan pengenalan diri mendorong mereka untuk
senantiasa menjaga keharmonisan antara manusia, alam dan Pencipta keduanya.
Begitu juga dengan fitrah kebaikan yang meluap-luap dalam hati mereka menjadi
parameter nalar dan tindakan mereka untuk senantiasa menyebarkan kebaikan
keseluruh alam, jauh dari sifat curiga mencurigai, tuduh menuduh, paradigma
lawan-kawan dan lain sebaginya. Fitrah kebaikan ini sampai pada titik klimaks
dimana masyarakat Samin tidak hanya menolong dan berbuat baik pada orang baik
saja, bahkan pada penjahat sekalipun. Merka tidak sungkan untuk menerima para
penjahat yang datang meminta pertolongan. Karena bagi mereka para penjahat
adalah tamu-tamu yang mesti dihormati lantaran mereka datang untuk bernaung
dalam keteduhan dan kedamaian desa Samin yang tidak dimiliki desa-desa lainnya.
Sifat masyarakat Samin ini mengingatkan saya pada salah satu sifat Tuhan yang
termanifestasi dalam kisah nabi Musa as
ketika berseru pada Tuhannya dibukit Thur. berikut kami hadirkan kisah tersebut
sekaligus mengakhiri resensi sederhana ini.
Di
bukit Thur, Musa as berseru, "wahai Tuhan semesta alam". Allah
menjawab "Labbayk" (Ya, Aku menjawab seruanmu).
Musa as
memanggil lagi, "wahai Tuhan orang-orang yang taat". Allah pun
menjawab, "Labbayk".
Lalu
untuk yang ketiga kalinya Musa as memanggil lagi, "Duhai Tuhan para ahli
maksiat". Allah swt menjawab, "Labbayk... Labbayk...
Labbayk...".
Musa as
bertanya, "Mengapa untuk panggilan ini Engkau menjawab sampai tiga
kali?".
Allah swt
menjawab, "Para ahli taat bisa bergantung pada ketaatannya, sedang para
pendosa hanya berharap belas kasih-Ku.
Katakanlah
wahai Musa, bila para pendosa putus asa dengan-Ku, ke mana lagi mereka
bernaung?".
Alfit
Syair (Mahasiswa Univ. Qom Iran)