BUDAYA KEBABLASAN MOTOR TRAIL



Jika hari jum'at sore dan waktu libur kantor cobalah duduk santai di pinggir jalan Gunung Latimojong. Jalan ini membentang dari titik lampu merah kota Belopa melalui beberapa desa dan kelurahan hingga ke kaki gunung Latimojong. Maka anda akan dapatkan motor trail yang berlari kencang lengkap dengan seragam pembalap cross pengendaranya.

Motor trail dengan bannya yang bergerigi, bodi tinggi ramping, dan suara yang memecah telinga jika lewat tak pernah pelan dan menebarkan suara bising, asap, dan debu. Namun siapa sangka jika budaya menggunakan trail adalah sebuah budaya baru di kabupaten induk Luwu raya ini yang di mulai oleh hobi adventure pemimpinnya.


Berawal dari kebiasaan mengunjungi masyarakat pedalaman, siapapun akan salut dengan tindakan Cakka (sapaan akrab Bupati Luwu) yang menyambangi rakyatnya di pedalaman. Menembus jalan rusak dengan penurunan dan tanjakkan. Namun setelah beberapa lama motor ini menjadi program yang dianggarkan dalam APBD sebagai kendaraan dinas.

Selang beberapa waktu tujuan dari kebiasaan menjelajah kawasan penduduk di pegunungan akhirnya bergeser, jika dulunya fungsi trail ada dua yaitu untuk blusukan ala Jokowi ke desa pedalaman dan untuk Polhut memantau hutan. Kini hal itu menjadi eforia dan memantau hutan untuk mencari kebun/ lahan. Eforia jika tidak salah maknanya sama dengan "kaporeang" dalam bahasa Luwu.

Sejenak kita melihat, entah sudah berapa puluh kali Bupati, PNS, orang-orang terdekat (timses) dan anggota DPR melalui jalan-jalan perkampungan itu. Pastilah tak ada yang buta dengan jalanan rusak, jembatan rusak, hutan di rusak, hingga kemiskinan pedalaman menjadi pemandangan di tengah pongahnya motor-motor itu melaju membelah Latimojong.

Hingga akhirnya banyak yang ramai-ramai ingin memiliki motor trail. Maka jangan anda heran jika berjalan ke rumah beberapa PNS anda akan temukan trail terparkir. Begitu pula di saat hari kantor trail tanpa plat kendaraan melalui jalan-jalan aspal kemudia dengan bisingnya terparkir di halaman perkantoran. Seakan kita melihat motor gagah, ribut, dan cepat tapi tidak pada tempatnya.

Belum lagi secara serentak ketika sebuah acara berada di Latimojong maka berjejerlah hingga ratusan meter motor-motor bising itu melalui jalanan berdebu. Di pinggir jalan berdirilah masyarakat melihat kejadian itu. Trail pejabat menerbangkan debu maka tinggallah masyarakat melihat sambil makan debu jalanan.

Budaya, sekali lagi ini adalah hobi seseorang yang kemudian menjelajah pada orang terdekat. Jika menghitung harga trail yang anggarkan dalam APBD maka akan cukuplah menutupi separuh jalan perkampungan yang tidak beraspal. Maka tak heran jika sebuah anekdot muncul di Bajo barat "Jangan harap Bajo barat hingga Latimojong akan di aspal jalannya, karena tempatnya para pejabat main Trail".

"Lho kenapa kamu sewot dengan mereka yang suka naik motor trail" kata temanku suatu hari.

Bukan tidak suka kawan, tapi apa guna sebuah kendaraan dinas dalam bentuk motor trail yang di peroleh lewat anggaran APBD hanya untuk "kaporeang" menerbangkan debu dan masyarakat makan debu. Apakah layak hasil anggaran APBD hanya untuk "kaporeang" di hari libur dan parahnya lagi hutan-hutan yang selalu di lalui senantiasa di gundulkan setiap waktunya namun tak ada mata batin yang melihat jika apa yang nampak kedepannya akan membuat sungai kering di musim kemarau, banjir dan longsor di musim hujan.

Beberapa waktu belakangan ini para trailer ini telah memiliki lahan di pegunungan, jalan-jalan tani di gunung-gunung terbuka. Lalu terdengarlah kabar "lahan ini 1 hektar punyanya ini itu dari dinas ini itu".

Budaya trail telah kebablasan, kendaraan itu menjadi ajang eforia, mencari lahan perkebunan dari hutan penopang air pertanian, hingga mengorbankan APBD ratusan juta hanya untuk kendaraan bising yang terkadang tidak di butuhkan. Lalu dimana efek fositif bagi masyarakat dengan banyaknya motor trail itu. Entahlah..,

Postingan terkait: