Perda pendalaman materi pendidikan agama mulai diberlakukan di kabupaten Luwu. Sebagai sebuah usaha untuk mencapai visi lebih religius maka hadirnya perda ini untuk menjawab persoalan kondisi moral kalangan remaja/ pelajar di kabupaten Luwu yang katanya sudah memprihatinkan.
Awalnya adalah berita gembira karena di
barengi honor bagi tenaga pengajarnya yang bersumber dari APBD. Tapi setelah
pelaksanaan dengan berbagai susunan materinya maka jadilah sekolah gonjang
ganjing dan beserta pengajar sekolah yang jadi ngeri-ngeri sedap karena
penerapan perda ini.
Materi agama tak lagi mesti di ajarkan oleh
guru agama dalam pendalaman materi selama tiga jam tapi di bebankan pada semua
wali kelas. Maka bayangkan guru yang selama ini tak terlalu memahami muatan
materi pendidikan agama menjadi ngeri-bgeri sedap. Selain dalam prosesnya
membaca ayat Al Qur'an juga ada penghafalan surah-surah pendek dan menjelaskan
makna ayat.
Filosof pendidikan berkata "berilah ikan
pada maka akan membuat makan untuk sehari, ajarkanlah cara memancing maka akan
memberi makan untuk selamanya". Bagaimana mau ngajar memancing dan beri makan
ikan menggunakan alat pancing saja tidak tahu. Itulah realitas yang terjadi
pada sebagian besar walikelas yang "dipaksa" hingga jadi
"terpaksa" menerima Perda mentah-mentah.
Kita yang bukan guru menjadi sedikit gonjang
ganjing memikirkan ini, gimana hasilnya jika seorang guru yang baca Al
Qur'annya tidak sesuai yang di harapkan dan tidak menguasai materi mau
mengajarkan siswa. Apakah tujuan dari perbaikan moral lewat jalan pendalaman
materi agama bisa tercapai atau nantinya anggaran penyusunan hingga pengesahan
dan honor pengajar akan terbuang percuma.
Buru-buru atau memang ini hanya usaha
simbolisasi lebih religius. Namun aneh jika kita mendapati, taman Hijau yang
remang-remang jadi tempat mangkal remaja hingga subuh, cafe yang bertebaran,
dan banyak lagi lingkungan yang tidak mendukung visi lebih religius.
Bacaan Al Qur'an yang baik, banyaknya surah
pendek yang dihafalkan perlu sebuah kajian akademik jika hal yang dimaksud
menjadi standar tercapainya moralitas yang baik sebagai ending dari lebih religius.
Menyusun aturan kadang lebih mudah namun mempersiapkan pelaksanaan kadang
menghasilkan harapan yang bertolak belakang. Hingga pada akhirnya analisis
situasi dan kondisi mesti menjadi perhitungan, termasuk dalam memahami realitas
tentang kebutuhan setiap sekolah yang berbeda-beda.