SEKELUMIT CERITA DANAU MATANO, KAMPUNG TUA BERSTATUS HUTAN

Luwu Timur sebuah kabupaten di Sulawesi Selatan yang cukup dikenal dunia. Selain karena tambang nikel yang terbesar di dunia, di kabupaten ini juga terkenal dengan tiga danau vulkaniknya, yaitu Danau Matano, Mahalona, dan Towuti, serta dua danau kecil yang berada di sekitarnya, yaitu Danau Wawontoa/Lantoa dan Danau Masapi.  Dari kelima danau itu Danau Matano merupakan danau yang paling unik. Danau ini mendapatkan beberapa predikat diantaranya; danau terdalam dan terjernih se Asia Tenggara.

Selain itu, Danau Matano bagaikan ‘Surga’ bagi biota perairan yang endemik. Endemik adalah sebutan bagi jenis/spesies yang habitatnya terbatas pada daerah tertentu saja dan tidak ada di daerah lain. Beberapa hewan endemik danau matano hidup di danau ini seperti jenis beberapa ikan, burung dan kerang yang tak bisa di temukan di tempat lain.

Matano bukan hanya sebutan untuk danau, namun jauh di Ujung Timur danau yang berbentuk lonjong ini terdapat sebuah kampung tua yang bernama Matano kini menjadi sebuah desa dan dusun.Matano yang masuk dalam kecamatan Nuha Kabupaten Luwu Timur awalnya bukan bernama Matano.

Seorang warga Nuha yang akrab disapa Pak Muara menjelaskan, Matano dulunya bernama Raham Pu’u.  Dalam bahasa lokal, Raham berarti Rumah atau Pondok, dan Pu’u berarti Pertama.  Penamaan ini berawal dari orang tua yang paling pertama mendirikan rumah di tempat itu. Namun dengan ditemukannya sebuah mata air yang disebut dengan “Mata Air Burra-burra” maka Matano yang berarti mata air menjadi nama kampung itu. Menurut masyarakat setempat, mata air ini tidak pernah kering walaupun musim kemarau panjang.

Versi lain menjelaskan dalam bahasa Bugis, Matano disebut dengan Matanna, atau sumber air hingga berselang waktu nama Matano lebih akrab dalam sebutan orang-orang.

Danau Matano sebagai sumber mata air menjadi sumber air bagi dua danau lainnya Mahalona dan Towuti. Jika saja terusan atau sungai yang mengarah ke danau Mahalona ditutup maka air dua danau tersebut akan menyusut. Pada terusan itu pula terdapat pembangkit listrik perusahaan yang menyediakan listrik agar perusahaan tambang tetap berjalan.Sekalipun dikenal sebagai kampung tua yang dulunya jadi tempat para pengrajin besi, seluruh wilayah Matano masih berstatus hutan lindung.

”Tak cukup 50 meter berjalan kaki dari rumah warga yang berada paling atas di desa ini, kita sudah berada dalam kawasan hutan lindung,”ungkap Jhonlis Kepala Desa Matano

Rumah yang dimaksud Jhonlis hanya berjarak 100 meter dari bibir danau. Melihat peta hutan lindung dan Desa Matano melalui peta citra satelit maka kita akan menemukan nyaris semua sumber kehidupan masyarakat Dusun Matano berada dalam kawasan hutan.

Sarifuddin salah seorang penduduk asli Matano menuturkan pahitnya hidup jadi warga Matano. Pria tua ini hampir selalu menelan pil pahit ketika mengusulkan beberapa program pemerintah agar bisa masuk desanya. Akibat aturan yang tumpang tindih, Matano sebagai desa dan kawasan hutan lindung tidak pernah diakomodir dalam program-program pemerintah.

Dengan nada suara lantang dan sedikit jengkel, akhirnya Syafruddin yang juga Kepala Dusun Matano memuntahkan seluruh isi hatinya di hadapan Dinas Kehutanan dan KPHL Luwu Timur yang hadir pada  ”Sosialisasi Penguatan Masyarakat Lokal Dalam Rangka Penataan Daerah Tangkapan Air di Danau Matano,” yang dilaksanakan Perkumpulan Wallacea kerjasama Burung Indonesia melalui Program Critical Ecosystem Partnership Fund Wallacea di Kantor Desa Matano.

Dia tak mesti menggunakan pengeras suara untuk mengungkapkan kepahitannya selama bertahun-tahun di ruangan berukuran 6 x 8 meter tersebut. Keluh kesah bertahun-tahun tinggal di sebuah kampung mendunia namun terpuruk dalam perhatian negeri dan penambang yang menguras habis kekayaan tanah moyangnya.

Tepat di belakang Dusun Matano, di sebuah gunung tandus ditumbuhi rerumputan senantiasa menguning. Butuh waktu setengah jam mendaki gunung hingga sekumpulan batu persegi yang tertata rapi. Masih di gunung yang sama di bagian yang lebih jauh dan tinggi terdapat kumpulan batu yang sama. Kurang tepat mengatakan sekumpulan batu tapi makam. Namun lagi-lagi tanpa pemberitahuan dan entah kesepakatan siapa tempat ini telah masuk dalam area konsesi PT Vale Indonesia yang jelas akan dibongkar untuk kepentingan tambang.

“Sejak zaman Belanda menjajah nenek, orang tua kami telah menggarap tanah ini. Namun ketika negeri ini merdeka baru kali ini ada yang namanya hutan lindung yang melarang kami menggarap tanah yang telah turun-temurun kami kelola untuk hidup” kata Syafruddin.

Pengalaman hidup warga Desa Nuha tidak berbeda dengan warga Desa Matano. Sekitar 200 Kepala Keluarga (KK) yang mendiami Desa Nuha juga merasakan susahnya hidup di desa yang masuk  dalam Kawasan Hutan Lindung.

Pak Muara yang juga Kepala Dusun mengakui telah lama hidup di Danau Matano. Dia cukup memahami apa arti hutan lindung untuk pemerintah dan masyarakat. Namun Muara yang selalu menemani Dinas Kehutanan membuat pal batas hutan dan senantiasa memakan buah simalakama.

Desa Nuha yang diisi lebih dari 200 KK dari bibir danau hingga puncak gunung masih berstatus hutan lindung. Sekalipun sejak beratus tahun jalan desa mereka menjadi akses antar provinsi Nuha dan Morowali.

Muara senantiasa tak bisa berkelit ketika Pihak Kehutanan datang membuat batas baru karena sadar desanya adalah hutan lindung, namun dia juga tak mau jadi bulan-bulanan warga karena mendapat kepercayaan dari masyarakat untuk membebaskan kebun-kebun dari area hutan lindung. Bagi muara hidup dalam keterjepitan itu telah membuat laki-laki yang sudah beranjak senja ini tak mau meninggalkan desanya. Dia tetap mengabdi selama 17 tahun sebagai Kepala Dusun dan akan terus menemani warganya hingga akhir hayatnya.

Pagi itu disaat matahari memancarkan cahaya dari Barat, lebah-lebah hutan berkejaran diantara kelopak bunga menghisap madu. Jalan desa yang tak beraspal telah melaju. Motor-motor warga menuju kebun merica. Tertinggal namun menggeliat dan optimis itulah Matano dan warganya. Seorang kakek yang tetap kuat berjalan tampak memasuki halaman rumah menatap tenang diiringi senyumannya.

Lima menit bersamanya, di atas rerumputan hijau sembari ditemani kopi dan rokok. Kakek ini menceritakan perjalanan 12 tahun keluar masuk  Matano karena konflik pergolakan sosial masa DI/ TII. Awal pemberontakan, Matano dengan hutan lebat dan pegunungan terjalnya menjadi tempat strategis bagi pasukan Kahar Mudzakkar bersembunyi. Dalam kurun satu tahun, semua benda-benda pusaka peninggalan penduduk asli Matano yang dianggap sakral diwajibkan untuk dibuang. Dua meriam buatan orang Matano yang terbuat dari besi dibuang di tengah danau. Begitu pula dengan senjata-senjata mereka. Alasannya sederhana semua benda itu diyakini menjadikan masyarakat syirik.

Hingga saat masyarakat tertekan, maka diambillah keputusan untuk membakar kampung mereka sendiri dan mengungsi ke pulau yang terletak di bagian pesisir sebelah Selatan danau.

Kakek itu kembali mengingat masa itu 30 KK harus menghuni satu pulau yang sempit selama tiga tahun. Sumber kehidupan mereka saat itu berasal dari hutan dan sebuah kampung dekat pulau yang disebut dengan kampung Bure. Kampung ini sejak dulu telah menjadi areal persawahan dan hari ini menjadi sumber beras bagi desa Matano. Kelak masyarakat kampung Bure akan berpindah ke sebuah kaki gunung yang sekarang dikenal dengan Dusun Bone Pute. Jaraknya kurang lebih 12 kilo meter  dari dusun Matano yang masih masuk dalam wilayah Desa Matano.

Setelah tiga tahun menjadi penghuni pulau, kakek ini bersama warga kembali ke Matano, namun karena perintah TNI mereka kembali mengungsi ke Soroako.

Bagai magnet kampung Matano yang telah kosong dan porak poranda karena ditinggal warga kembali didatangi. Tak cukup beberapa bulan menikmati kehidupan, mereka harus kembali masuk ke dalam hutan untuk menghindari kontak senjata antara TNI dan Laskar DI/ TII pimpinan Kahar Muzakkar.

Dua belas tahun setelah mereka meninggalkan tanah kelahiran mereka, dan atas perintah TNI Matano perlahan-lahan kembali didatangi warganya.

Demikian Sang Kakek ini menceritakan, sembari menatap gunung hijau yang dipenuhi merica. Sesekali dia menatap danau seakan kejadian masa lalu begitu tertanam kuat dalam ingatannya.

Orang tua kampung menjadi saksi sejarah, bagaimana penghancuran budaya asli mereka, pembakaran kampung, berpindah dari satu hutan ke hutan lain, dan mengungsi dari satu kampung ke kampung lain tak faham apa arti  Hutan Lindung, tak faham arti area konsesi pertambangan.  Dia hanya tahu dulu bersama orang tua dan warga lainnya bebas masuk hutan memanfaatkan untuk kehidupannya, bebas mengolah tanah untuk menghidupi keluarganya.

Kini dia kembali hanya tahu jika masuk hutan maka akan dikejar dan ditangkap Polisi Kehutanan karena dianggap merusak.

Sore di Desa Nuha, di sebuah teras rumah Pak Muara yang menghadap ke Danau Matano. Mendung sesekali kilat bercahaya di dalam awan, tak lama sebuah pemandangan menakjubkan terjadi tepat di atas Kampung Bure. Hujan turun, dari kejauhan tampak seperti kain putih yang terurai dari awan hingga ke permukaan danau.

Pak Muara ikut menikmati pemandangan itu sembari mengepulkan asap rokok. Tiba-tiba, dia tersenyum seperti mengingat sesuatu dan bercerita tentang sebuah hujan yang tak menjadi berkah bagi masyarakat di sekitar danau.

Entah tahun berapa, setiap musim kemarau sebuah pesawat terbang berkeliling danau, tak butuh waktu satu jam awan mendung dan turunlah hujan. ”Hujan buatan,”  begitulah masyarakat menyebutnya. Awal mula masyarakat tampak gembira,musim kemarau yang panas berdebu harus tersiram oleh air hujan yang mungkin turun tanpa campur tangan Sang Malaikat Mikail.

Namun setelah beberapa bulan kerusakan buah hasil pertanian mulai terlihat, hingga masyarakat harus berdemo agar hujan buatan di hentikan. Aksi mereka dianggap hanya praduga jika kerusakan pertanian karena hujan buatan. Hingga akhirnya penelitian laboratorium yang disampaikan ke masyarakat membuktikan kerusakan tanaman akibat pengaruh hujan buatan.

Pak Muara dan warga masih bersyukur karena, saat itu perusahaan meminta warga di sekitar danau untuk membawa bukti kerusakan dan akan diberikan ganti rugi.

Nun jauh di sana, kepulan asap hitam yang berasal dari cerobong perusahaan tambang telah mengobrak-abrik beberapa gunung. Di saat malam, langit memerah karenanya. Perusahaan yang telah membuat kaya Kanada selama bertahun-tahun ketika masih bernama PT. INCO.


Di malam hari langit di atas Soroako memerah menandakan aktivitas tambang tetap berjalan yang menyadarkan masyarakat di kampung Tua Matano betapa kayanya tanah mereka di atas ketertinggalan kampung tempat mereka lahir dan menatap dunia dari moyang hingga anak mereka selama beratus tahun.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "SEKELUMIT CERITA DANAU MATANO, KAMPUNG TUA BERSTATUS HUTAN"

Post a Comment