Jarum jam dinding
menunjukkan pukul 09.30, desa yang beberapa jam lalu tertidur perlahan
terbangun diiringi sinar mentari yang menghangatkan danau. Perahu/ katinti dan
raft lalu lalang di atas danau mengangkut manusia dengan berbagai tujuan.
Di kantor desa Nuha
beberapa lelaki paru baya dan pemuda tampak duduk menunggu. Mereka bercerita
tentang aktivitas mereka sambil menghisap rokok dan menghirup kopi hitam. Tepat
disamping puluhan tiang merica setinggi 2 meter berjejer rapi mengeluarkan buah
yang masih hijau, tanahnya bersih tak
berumput. Sebagian besar desa kini telah didominasi merica yang menandakan
komoditi terbesar warganya. Sementara di bagian samping lain kantor tampak
lahan terbuka dengan pohon-pohon yang sudah rebah yang akan di gunakan sebagai
lahan PLTS.
Fasilitator pemetaan
partisipatif dari Perkumpulan Wallacea Palopo Zainal Abidin dan Afrianto tiba,
masyarakat menyambut hangat dengan senyuman dan berjabat tangan. Pelatihan
pemetaan partisipatif dimulai sejumlah kertas menempel pada dinding sebagai
pengganti papan tulis.
Diskusi di mulai
dengan kisah masyarakat tentang lahan kebun mereka yang bersinggungan langsung
dengan area hutan lindung, tanah yang menjadi sumber kehidupan mereka harus
mereka garap dengan penuh was was. Sekalipun secara administrasi tempat mereka
adalah desa namun diatas kertas peta dinas kehutanan desa dan lahan mereka
adalah hutan lindung.
“ada cara pandang
yang salah selama ini terjadi di pemerintahan kita, selalunya orang-orang
berfikir desa di dalam kawasan hutan lindung yang sebenarnya adalah semua
wilayah Indonesia di bagi dalam beberapa provinsi, kabupaten, kecamatan dan
desa, maka seharusnya hutan berada di dalam wilayah desa” kata Zainal Abidin menjelaskan
kepada warga.
“jadi jika di katakan
desa berada di dalam kawasan hutan, maka kami ini tak ubahnya seperti
orang yang tinggal di dalam hutan” kata seorang warga.
Fasilitator tampak
tersenyum dan memberikan penjelasan dengan tenang hingga warga dapat faham apa,
mengapa dan untuk apa masyarakat perlu melakukan pemetaan. Partisipatif
melibatkan peran aktif warga dalam menata dan merencanakan penataan ruang
mereka. Mereka yang berdiam dalam satu wilayah lebih memahami seperti apa
mengelola dan merencanakan tata kelola wilayah mereka.
Amanah UU desa
mengharuskan dalam penyusunan RPJMDES adanya peta desa yang partisipatif yang
di dalamnya sudah jelas tertera tentang pembagian ruang dan perencanaan desa
beberapa tahun kedepan. Dari 72.944 baru
30% yang telah memiliki peta partisipatif. Saat ini presiden Jokowi tengah
berusaha membuat Kebijakan Satu Peta atau One Map Policy agar tidak terjadi
kesimpangsiuran setiap instansi.
Di
tanah mereka fasilitator tampak tenang memberikan penjelasan dan pencerahan,
tak perlu meja panjang dan kursi-kursi plastik. Duduk melantai di teras kantor
membuat mereka lebih bebas dan tidak kaku dalam menerima materi, berdiskusi,
mengungkap semua harapan, dan sesekali diselingi canda tawa mereka.
Bersama
mereka dalam satu lingkaran dengan kertas bertulis titik koordinat dan
merangkainya menjadi sebuah peta sederhana tak ubahnya sejarah perjalanan
mereka yang berjalan dari satu titik kehidupan menuju titik yang lain, kemudian
merangkai kisah dengan garis-garis sejarah yang saling terkait. Saat bersamaan
mereka kembali merencanakan setiap titik masa depan dan berusaha merangkainya
dengan garis-garis mimpi dan harapan.
Peta
yang mereka hari itu buat bisa saja menjadi sebuah titik kedaulatan atas ruang
yang selama ini mereka idamkan. Setiap waktu generasi bertambah saat itu pula
ruang semakin sempit. Wilayah garap untuk kehidupan dan ruang gerak mereka
rencanakan bukan untuk mereka hari ini tapi untuk anak cucu.
Dari
wajah mereka yang terkadang serius dan kadang senyum tampak harapan besar telah
menanti mereka terhadap penguasaan ruang di beberapa lahan tempat nenek dan
orang tua mereka pernah berkebun yang tak dapat lagi mereka garap dengan sebuah
status laksana jurang kematian yang di sebut hutan lindung.
Belum ada tanggapan untuk "PETA DAN SEBUAH HARAPAN"
Post a Comment