Mesjid Agung Palopo Sumber: http://fotomtq.blogspot.co.id |
Jika kita membaca sejarah islam maka kita
akan menemukan eratnya kursi kekuasaan dan mimbar mesjid. Seorang khalifah atau
raja, tidak akan lengkap kekuasaannya jika tidak berdiri dan memegang otoritas
atas mimbar mesjid. Politik dan agama benar adanya, merupakan dua hal yang tak
terpisahkan sejak dulu.
Lewat mimbar mesjid inilah seorang penguasa
berebut pengaruh, "mengkampanyekan" kebijakan, bahkan mencela lawan
politik dan mengancam masyarakatnya. Dari kondisi ini pula, lahirlah sejumlah agamawan penjual ayat dan
penyebar hadis palsu untuk membenarkan penguasa.
Hal unik juga terjadi di Palopo, baru-baru
ini walikota Judas Amir ikut mengurusi pergantian bahkan susunan pengurus
mesjid Agung Palopo. "Panas" dan "ribut" itulah yang
terjadi ketika sejumlah pengurus lama merasa sedikit terusik atas tindakan Walkot.
Awalnya masalah ini adem bagaikan "angin
panas di musim kemarau", tapi "memanas" setelah Walkot
memanfaatkan mimbar untuk memperjelas kebijakan, tapi ditinggal pergi oleh
jamaah. Terakhir beredar selebaran menolak kepengurusan Mesjid Agung yang dibentuk
Walkot JA.
Bermunculan cerita liar, hal ini murni
kepentingan politik bukan kepentingan umat, sebagaimana pandangan orang awam
tentang mesjid. Tapi benar atau tidak jika ini adalah bagian dari strategi
politik penguasa, hanya Walikota dan "orang dekatnya" yang tahu.
Saya akan sepakat dengan apa yang telah
didiskusikan bersama teman-teman tentang masalah ini. Walikota mencampuri
masalah pengurus mesjid adalah wajar sebagai kepala daerah. Tapi untuk menunjuk
orang-orang yang duduk dalam kepengurusan adalah keliru.
Mungkin rujukan yang paling baik adalah
Keputusan Direktur Jendral Bimbingan Masyarakat Islam Nomor DJ II/ 802 Tahun
2014, pada Bab III bagian D. Mesjid Agung "Kepengurusan di tetapkan oleh
Bupati/ Walikota.....,". Diperjelas kemudian pada standar idarah
"organisasi dan kepengurusan ditetapkan dan dilantik oleh Walikota/
Bupati....,". Maka jelas Walikota hanya menetapkan (dalam bentuk SK) dan
melantik. Bukan menunjuk orang-orang untuk jadi pengurus.
Aturan ini cukup demokratis, karena proses penunjukkan
pengurus mesjid yang akan di tetapkan walikota berdasarkan pada:
"rekomendasi kepala kantor kementrian agama kabupaten/ kota berdasarkan
usulan KUA Kecamatan, lembaga masyarakat, baik organisasi masyarakat maupun
yayasan," dan pada diperjelas pada standar Idarah: "pengurus
merupakan representative dari perwakilan pemerintah, organisasi islam dan
perwakilan masyarakat.
Mudah, pengurus mesjid adalah usulan dari
bawah, kemudian ditetapkan dan dilantik oleh yang berada di atas (bupati/
walikota). Mesjid dan pengurusnyapun adalah perwakilan dan kepemilikan bersama,
bukan milik walikota, kelompok tertentu dan tokoh tertentu.
Masalah mungkin saja ada pada penempatan
wewenang, Walikota memiliki wewenang, masyatakat juga memiliki wewenang.
Dari kejadian di mesjid Agung perlu kembali
membuka aturan, dimana wewenang dan batasan setiap pihak yang merasa
berkepentingan. Termasuk kembali melihat susunan pengurus, apakah sudah
representative sebagaimana bunyi aturan atau tidak.
Terlepas dari isu bahwa tindakan Walikota JA
mencampuri hingga susunan pengurus mesjid merupakan kepentingan politik, untuk
mem-block kepentingan politik orang lain. Posisi agama dan politik memang tak
bisa di lepaskan. Sejumlah kalangan agama merasa berhak atas kepengurusan
mesjid, walikota merasa berwenang, tapi tetap saja kepentingan umat adalah
suara dari ”bawah” yang harus diperhatikan walikota. Tak ada satupun yang boleh
merasa paling berhak.
Masalah ini mungkin perlu diselesaikan dari
“bawah”. Di mana suara-suara lembaga masyarakat, organisasi agama, dan yayasan
bisa menggunakan hak mereka menunjuk pengurus yang bisa menjadi representative
bagi mereka. Kitapun tahu di Palopo yang sempit ini ada banyak organisasi
masyarakat, organisasi agama, yayasan, LSM, dan tokoh-tokoh yang memiliki
kapasitas dapat memberikan masukan. Hingga posisi "pemimpin" politik
JA sebagai walikota berjalan sesuai kapasitasnya dan semua pihak bisa terlibat
aktif menyelesaikan masalah.
Agama dan politik memiliki tujuan yang sama
yaitu "menunjukkan jalan bagi manusia untuk mencapai kesempurnaan”. Namun
jika simbol agama seperti mesjid sudah menjadi wadah untuk mempertahankan
kekuasaan atau jabatan pada pemilu mendatang, maka hal itu tidak dibenarkan.
Demikian pula dengan tokoh agama yang merasa paling berhak atas simbol agama
seperti mesjid juga tak bisa dibenarkan. Karena akan kembali pada tujuan
politik dan agama.
Demikian halnya tujuan dibentuknya pengurus
mesjid, mengemban tugas "suci" semata-mata untuk beribadah dan
kepentingan umat.
Saya jadi teringat pada kalimat "satu
suara" agamawan dan pemerintah "moral masyarakat sudah rusak, maka
semua pihak tak boleh menutup mata." Tapi sebagai masyarakat, melihat
polemik di dalam mesjid Agung Palopo sangat layak kita menutup mata pada
orang-orang yang "bertengkar" itu. Karena apa yang terjadi pada
mereka sangat tak layak di contoh.
Satu pihak memiliki jabatan politik walikota
merasa punya wewenang penuh. Satu pihak merasa terusik dengan semua dasar dan
aturan menurut mereka. Yang seharusnya masalah ini bisa selesai dengan duduk
bersama, melepaskan kepentingan pribadi, politik, kelompok, dan memperhatikan
masukan dan saran dari semua pihak.
Belum ada tanggapan untuk "POLITIK DAN AGAMA MESJID AGUNG PALOPO"
Post a Comment